Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Setengah Kata, Setengah Makna


Tadi pagi saya iseng membongkar rak buku untuk menemukan bacaan-bacaan yang sekiranya menyejukkan. Kemudian saya menemukan koleksi buku-buku Gibran yang lama, yang salah satunya berjudul Pasir dan Buih. Buku itu tipis sekali hanya 85 halaman dan ukurannya kecil. Isinya adalah semacam aforisme dari Gibran, seorang penyair asal Lebanon kelahiran 1883, tentang segala renungan mengenai kehidupan. Saya membaca kembali satu per satu dengan teliti setelah lama tidak menyentuh buku tersebut. Ternyata iya, ada beberapa aforisme yang dulu tidak saya mengerti sekarang jadi mengerti (tapi yang dimaksud dengan "mengerti" tentu saja dalam batas pemahaman saya hari ini, sepuluh tahun lagi saya baca aforisme tersebut mungkin akan sadar bahwa dahulu itu saya sebenarnya belum mengerti). Saya tuliskan disini contoh salah satunya:

Setengah tuturku tanpa makna;
namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi mencapai dirimu

Untuk mengetahui bagaimana saya bisa "mengerti" aforisme tersebut, pada akhirnya, saya akan kembali ke masa-masa kemarin ketika saya tengah giat menggumuli hakikat bahasa. Saya menggilai bagaimana Nietzsche berkata tentang "penjara bahasa" dalam aforismenya yang terkenal, "Manusia ingin berkomunikasi dengan sesama namun apa daya terpenjara bahasa." Pada titik itu saya menganggap bahasa adalah problem dalam hubungan antar manusia. Kita dilingkupi oleh kenyataan bahwa bahasa tidak mungkin sanggup merepresentasikan realitas dengan sebenar-benarnya. Ketika segala sesuatu diucap dalam kata, maka segala sesuatu menjadi tidak persis seperti kenyataannya. Untungnya, kehidupan mengijinkan manusia untuk merepresentasikan kenyataan tidak hanya melalui bahasa, tapi juga seni. Seni, dalam pemahaman saya waktu itu, adalah jalan keluar bagi keterbatasan bahasa. Seni adalah penelikungan terhadap rasionalitas yang kaku, sempit, dan kadang arogan.

Namun suatu hari dalam sebuah chatting dengan seorang dosen bernama Bambang Q-Anees, ia menegur ke-euforia-an saya terhadap "matinya bahasa".  Ia bertanya, "Tapi bisakah kita lepas dari bahasa?" Saya lupa apa jawaban saya waktu itu, tapi agaknya saya mengabaikan pertanyaan beliau karena dianggap kurang penting. Pertanyaan yang serupa dengan apa yang dilontarkan oleh Bambang Q-Anees tersebut muncul lagi kemarin-kemarin, di kelas ketika saya mengajar tentang hakikat bahasa di mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Ada seorang mahasiswa bertanya, "Lantas, kalau tanpa bahasa, dengan apa kita menyampaikan gagasan?" Pada titik itu saya tidak gamblang seperti sebelum-sebelumnya dengan langsung menjawab, "Dengan seni!". Saya sekali lagi tidak menjawab pertanyaan mahasiswa tersebut secara memuaskan.

Sekarang, setelah membaca aforisme Gibran tersebut, saya sadar akan sesuatu. Bahwa bahasa tetap penting untuk dikemukakan karena pertama, kita tidak punya pilihan. Bahasa adalah satu-satunya jalan sebagaimana saya menyampaikan gagasan tentang "matinya bahasa" juga lewat bahasa. Kedua, Gibran benar, bahwa biarkan bahasa menjadi setengah dari kebenaran, dan setengahnya lagi adalah makna yang kita harus susah payah untuk menemukannya. Seperti halnya kitab suci yang kita kaji, novel yang kita baca, puisi yang kita nikmati, celakalah jika kita menerima kata demi kata yang ditulisnya sebagai representasi dari kebenaran. Kebenaran yang sejati, sebagian lagi, ada pada dirimu. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1