Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Guriang di Cijaringao

Pada hari Rabu malam tanggal 19 Juli 2018, Kang Ismet Ruchimat, sang pendiri kelompok musik Sambasunda, mengontak saya tepat pukul sembilan. Sambil mengajar kelas filsafat ilmu di Kaka Cafe, saya mengangkatnya dengan terlebih dahulu meminta maaf pada peserta kelas. “Rif,” kata Kang Ismet di seberang telepon, “Ke sini, sekarang juga. Ke Saung Angklung Udjo. Ada hal penting.” Jika Kang Ismet mengatakan itu penting, maka itu benar-benar penting. Saya bergegas menyelesaikan kelas dan meminta maaf untuk kedua kalinya pada para peserta. Tepat pukul sepuluh, saya sampai di Padasuka, tempat Saung Angklung Udjo yang legendaris itu. 

Di sebuah meja, telah duduk beberapa orang yaitu Kang Ismet Ruchimat, Kang Galih Sedayu dari Ruang Kolaborassa, Kang Taufik Hidayat dari Saung Angklung Udjo, Kang Adjie Dunston Iriana, dan beberapa staf Kang Galih maupun Kang Taufik. Inti pembicaraannya adalah ini: Bahwa festival musik internasional bernama Matasora World Music Festival, terancam gagal penyelenggaraannya oleh sebab seorang produser yang kurang bertanggungjawab, sehingga kita adalah orang yang harus tetap membereskannya demi reputasi kegiatan itu sendiri, dan demi dipertahannya Matasora di mata anggaran Kementerian Pariwisata. 

Suasana rapat. Foto oleh Adjie Dunston Iriana.

Pertanyaanku sederhana: Kapan acaranya? Kang Ismet menjawab dengan getir: “Lusa!” Kepala saya langsung berputar. Iya, Matasora World Music Festival akan diselenggarakan seyogianya pada tanggal 21 dan 22 Juli 2018. Tapi apa yang terjadi? Hingga H-3, belum ada satupun hal yang disiapkan. Kalaupun kami mengiyakan, acara ini harus dimulai dari nol dan itu berarti kerja yang tidak hanya keras, tapi nyaris mustahil! Kami menyebut ini seperti kerja Sangkuriang yang harus membuat perahu besar dalam semalam. Tapi Kang Taufik mencoba menenangkan. Katanya, “Jangan samakan kerja kita dengan Sangkuriang. Sangkuriang gagal. Ia tidak selesai. Tapi kita harus selesai, dan kita diberi waktu lebih panjang dari Sangkuriang.” 

Namun kami tidak berlama-lama meratapi keadaan ini. Keesokan paginya, Kang Ismet dan saya langsung berkoordinasi tentang siapa pengisi acara yang akan tampil di Matasora World Music Festival. Sambasunda, Patrick Shaw Iversen, Malire, Ethno-Progressive, Doel Sumbang, Mangule Project, Babenjo, Trio BiGiBas, Mary Jane (mewakili Ruang Putih), West Java Syndicate (mewakili Jazzuality), dan Mirna (mewakili KlabJazz) bersedia untuk tampil di acara yang akhirnya kami putuskan untuk dilangsungkan di tanggal 22 Juli saja (tidak jadi dua hari). 

Kang Galih, di sisi lain, secara sigap sudah langsung menghubungi vendor untuk sound system, panggung, dan tata cahaya. Oh iya, kegiatan tanggal 22 Juli itu akan berlangsung di Cijaringao Hejo Udjo, Kabupaten Bandung, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari Saung Angklung Udjo. Tempat tersebut merupakan tempat yang asri, dipenuhi pohon bambu, dan nyaris tidak ada jarak dengan warga sekitar. Namun itu juga artinya, para panitia harus punya cukup waktu untuk berkoordinasi dengan warga lokal agar kegiatan dengan kekuatan tata suara sepuluh ribu watt nanti, menjadi tidak mengganggu dan bahkan bisa dinikmati bersama. Untungnya, Kang Galih bersama timnya, juga cukup sigap menangani hal tersebut. 

West Java Syndicate. Foto oleh Mia Sjahir.
Selain itu, kami juga tetap menyelenggarakan pertemuan teknis (technical meeting) dengan seluruh pengisi acara. Kegiatan pertemuan tersebut langsung dilakukan di Cijaringao Hejo Udjo dengan harapan pengisi acara dapat mengenal lokasi kegiatan yang notabene belum terlalu dikenal dan mempunyai medan yang relatif cukup terjal (karena jalan yang relatif sempit dan beberapa diantaranya masih berbatu). Dalam pertemuan teknis tersebut dijelaskan panjang lebar tentang mengapa acara ini dilangsungkan dengan mendadak (meski tidak diceritakan detail) dan meminta agar para pengisi acara saling bekerjasama mensukseskan kegiatan ini. 

Hari H acara, tampaknya semua sudah siap. Secara mendadak (lagi-lagi), Kang Galih menghubungi seniman Rosyid untuk mendekorasi secara spontan panggung dan sekitarnya. Upaya itu berhasil, panggung menjadi tampak lebih artistik di tangan seniman yang sehari-hari berkarya di Cigadung tersebut. Kemudian sekitar pukul dua, acara dimulai dengan secara simbolik membunyikan angklung bersama dengan pihak panitia, para penonton, perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan perwakilan dari Kementerian Pariwisata. 

Cijaringao Hejo Udjo memang tempat yang menarik. Area panggungnya luas dan yang menarik, tata ruangnya berbentuk amphiteater yang undaknya terbuat dari tanah dan rumput yang dibentuk secara alamiah. Untuk mencapai tempat yang dikelola salah satunya oleh Saung Angklung Udjo itu memang tidak mudah. Namun siapapun yang berhasil menjangkaunya, tidak akan menyesal dengan tempat yang asri ini. Kemudian berturut-turut pengisi acara naik panggung selama masing-masing tiga puluh menit (kecuali Sambasunda di akhir yang mencapai hampir satu jam). Penampilan seluruh pengisi acara ini tergolong lancar kecuali Trio BiGiBas yang tertunda sedikit karena hujan. Di tengah-tengah kegiatan juga terdapat talkshow bersama Dewan Kesenian Kota Bandung yang diwakili oleh Rahmat Jabaril dan Djaelani. 

Acara ditutup dengan gembira karena hampir seluruh penonton berjoged bersama Sambasunda dan Rita Tila, sang penyanyi, yang menjadi provokator bagi keriuhan ini. Seperti biasa, lagu Bangbung Hideung tidak pernah gagal dalam melarutkan penonton untuk menari bersama. Di tengah-tengah, Patrick Shaw Iversen, pemain flute asal Norwegia, turut bergabung bersama Sambasunda untuk lebih menghidupkan suasana.

Keriuhan selesai, kami semua termangu tak percaya. Tiga hari menyiapkan acara, rupanya berhasil juga. Apakah acara itu bagus atau jelek, tentu saja relatif. Tapi yang pasti, kami menyelesaikannya. Kami langsung teringat cerita Sangkuriang. Ketika ia diberi persyaratan untuk membuat perahu besar dalam semalam oleh Dayang Sumbi, Sangkuriang meminta bantuan para guriang (makhluk halus) untuk membantu pekerjaannya. Perahu sudah hampir selesai sebelum Dayang Sumbi berhasil mengakali seolah-olah fajar merekah di ufuk timur dan itu berarti tugas Sangkuriang gagal. Kemarin kami merasa dibantu oleh para guriang di Cijaringao. Mereka hadir, sampai selesai.

Mary Jane. Foto oleh Mia Sjahir.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1