Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Gambar diambil dari sini. |
Ludwig Wittgenstein adalah filsuf asal Wina dari awal abad ke-20 yang pemikirannya bertalian dengan bahasa dan dituangkan dalam dua bukunya yaitu Tractatus Logico Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953). Buku kedua berjarak 22 tahun dari buku pertama dan isinya justru merevisi pemikirannya terdahulu. Di buku pertama, Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa adalah "gambar fakta". Artinya, jika ada gambar, atau kata, maka ada faktanya. Jika sebuah gambar tidak memiliki basis fakta, maka itu omong kosong, atau lebih baik dikatakan nilai kebenarannya hanyalah psikologis ketimbang logis.
Di buku kedua, Wittgenstein mengakui bahwa dulu dia sangat kaku dalam memahami bahasa. Ia lebih setuju kalau bahasa bukan perkara benar atau tidaknya, melainkan bagaimana penempatannya dalam satu konteks permainan (language game). Jadi kalau kita bilang "Cus!", meski tidak ada relasi logisnya, tapi punya nilai kebenaran dalam permainan capsah.
Namun bukan pemikiran Ludwig saja yang akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan keluarga Wittgenstein yang sangat menarik. Keluarga Wittgenstein terdiri dari sembilan bersaudara dan bisa dikatakan sebagai keluarga terkaya di Wina saat itu. Untuk menggambarkan kekayaannya, bisa diilustrasikan sebagai berikut: Secara reguler, komposer Gustav Mahler dan Johannes Brahms menggelar konser di kediaman keluarga tersebut. Lalu sang ayah, Karl, adalah orang yang rutin membiayai pameran-pameran Auguste Rodin. Lalu adik perempuan Ludwig, Margaret, pernah dilukis oleh Gustav Klimt pada tahun 1905.
Selain Ludwig, kakaknya, Karl, adalah juga "orang sukses", dengan karirnya sebagai pianis bertangan satu - satu tangannya diamputasi karena perang -. Meski demikian, tiga dari sembilan bersaudara keluarga ini meninggal akibat bunuh diri.
Pemikiran-pemikiran mungkin lebih mudah disampaikan dalam konteks sosial-ekonomi-politik yang "menang". Dalam kehidupan kontemporer pun demikian, orang kaya dan berkuasa tampak lebih didengar meski secara argumentatif sebenarnya omong kosong. Pertarungan wacana harus dimenangkan sebelum narasi-narasi disampaikan. Ya tidak artinya harus jadi punya kekuasaan dulu. Wacana bisa dimenangkan lewat idealisme dan konsistensi terus menerus, yang pada akhirnya membuat kekuasaan itu sendiri menoleh dan bahkan tunduk.
Namun kemenangan wacana saja tidak cukup. Ludwig adalah contoh filsuf yang sudah memenangkan pertarungan wacana akibat posisi sosial keluarganya yang tinggi, tapi kemudian ia menulis pemikiran penting, yang dapat dikatakan juga mengandung kerendahan hati (karena itu tadi, pemikirannya bersedia dikoreksi oleh dirinya sendiri). Kemenangan, kekayaan dan kecerdasan adalah tanggung jawab besar bagi kemanusiaan.
Comments
Post a Comment