Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Di Lapang Bulutangkis, Ada Plato dan Aristoteles


Suatu hari Senin, dimana saya dan kawan-kawan bermain bulutangkis setiap jam empat sore, lapangan kedatangan dua orang filsuf terbesar dalam sejarah peradaban Barat. Plato dan Aristoteles. Ya, mereka datang, dan duduk di pinggir lapangan, menyaksikan kami bermain. Sambil bermain, saya mencuri dengar apa yang mereka perbincangkan. Sebetulnya, saya tidak mencuri dengar, karena mereka berbicara sangat keras. Entah dalam bahasa Yunani atau apa, yang pasti, saya memahaminya. Itulah mengapa saya tuliskan disini.


Plato : Wahai muridku, pernahkah engkau berpikir, mengapa orang Brasil nyaris semua penduduknya mahir bermain sepakbola?

Aristoteles: Tentu saja, karena berlatih, Guru.

Plato : Lantas, kau bisa menjawab, mengapa mereka memenangkan Piala Dunia paling banyak? Padahal banyak negara-negara di Eropa, yang juga berlatih keras -mungkin lebih keras-, tapi mereka tetap tidak sekuat Brasil.

Aristoteles : Ini jelas, sebuah proses alam. Tidak ada yang kebetulan. Pasti Brasil punya "sebab formal" mengapa mereka memenangkan Piala Dunia paling banyak. Entah karena pelatih yang baik, taktik yang bagus, atau lawan yang sedang sakit perut, atau penyerang Brasil yang orangtuanya sedang disandera, sehingga ia sangat bersemangat. Pasti ada sesuatu yang mendasarinya, guru. Yang nyata, yang indrawi.

Plato : Apakah kau setuju jika kubilang, mereka semua memang telah hebat bermain sepakbola ketika mereka sudah berada di dunia ide? Di alam jiwa sana? Sehingga ketika mereka menempati tubuhnya, maka itu tak lain dari cerminan apa yang sudah terjadi di dunia ide.

Aristoteles : Guru, dengan segala hormat, aku mempertanyakan padamu, bagaimana kau tahu dunia ide itu ada atau tidak? Bagaimana jika guru ternyata hanya melihat kehebatan sepakbola Brasil, kenyataan mereka berprestasi sepanjang jaman, dan seolah tidak ada yang menandingi, lantas guru seolah menyimpulkan, bahwa Indonesia ini tidak mungkin menjadi juara sepakbola, karena mereka tak pernah hebat di dunia ide? Bagaimana guru tahu itu?

Plato : Bagaimana aku tahu? Semua orang tahu itu! Hahaha.

Aristoteles : Hahaha. Aku serius, Guru.

Plato : Tentu saja dalam dunia ide, segalanya kekal dan ideal. Ketika kita berbicara anak-anak yang sedang bermain bulutangkis ini. Mereka sedang mengingat. Jiwanya mengalami eros, rasa cinta yang membuat mereka mengingat kembali apa-apa yang telah diajarkan di dunia ide, yakni tempat sang jiwa pernah bersemayam. Mereka, anak-anak ini, tidak sedang belajar bermain bulutangkis, tapi jiwanya sedang mengalami kerinduan, bagaimana bermain bulutangkis itu.

Aristoteles : Katakan poinmu, Guru.

Plato : Pernahkah berpikir, mengapa orang Brasil begitu mudahnya menyepak dan memainkan bola di kaki, sama halnya dengan orang Indonesia begitu lihainya memainkan shuttle cock dengan raketnya? Pernahkah berpikir, mengapa Thales mesti lahir di Miletos untuk mempersoalkan alam ini berasal dari mana? Sedangkan nun jauh di Cina sana, Konfusius lahir untuk pertama-tama memaparkan bagaimana memperbaiki negara? Pernahkah, wahai muridku?

Aristoteles : Kau tahu jawabanku, Guru. Ini soal proses alamiah, pasti ada sebab formal mengapa itu terjadi. Dan jangan lupakan juga "sebab terakhir". Seperti hujan turun agar tanaman bisa tumbuh. Tugas kehidupan. Pasti ada sebab mengapa Brasil yang menjuarai Piala Dunia, dan bukan Indonesia. Entah apakah karena Brasil negaranya miskin, sehingga martabatnya bisa lebih terangkat dengan sepakbola.

Plato : Itu sebabnya, kita selalu berselisih paham, muridku. Karena bagiku, dunia ide tetap kekal dan abadi. Ia memuat segala pengetahuan tentang sepakbola dan bulutangkis pastinya. Namun, eros atau rasa cinta masing-masing jiwa berbeda, ternyata. Bagiku, jiwa masyarakat Brasil lebih merindukan sepakbola, sedangkan jiwa masyarakat Indonesia lebih merindukan bulutangkis. Itu sebabnya, orang Indonesia, tak sulit untuk pandai bermain bulutangkis. Setidaknya begitulah bagiku.

Aristoteles: Baiklah, Guru. Kau tahu aku tak sependapat.

Plato : Oke, kita mau nonton saja pertandingan ini, atau jalan-jalan?

Aristoteles : Kita jalan-jalan habis set ini, Guru. Posisi sedang deuce. Seru.


Comments

  1. nice pak moderator!
    kocak namun penuh pelajaran berarti...
    hihihhi...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1