Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Karena Hidupku Seperti Chekov


Semoga kamu tidak bosan jika lagi-lagi saya bercerita tentang orang tua istimewa bernama Awal Uzhara ini. Suatu hari, saya mendapat kabar mengejutkan tentang penyakit stroke yang menyerang Pak Awal. Yang mengherankan kemudian adalah keputusan dari istrinya, Ibu Susi Magdalena, yang tetap pergi ke Rusia selama tiga bulan sesuai rencana awalnya untuk semacam kepentingan studi. Maksudnya, sedemikian tegakah Ibu Susi meninggalkan sang suami yang sudah tua dan sedang sakit? 

Kepergian Ibu Susi adalah hal yang sungguh sulit untuk dibayangkan karena bapak saya pernah berkata bahwa, "Mamah pergi sebentar saja, dua atau tiga hari, saya sudah banyak kebingungan." Mungkin memang begitu, jika sudah berpasangan, akan ada ketidakseimbangan ketika yang satu pergi meskipun sebentar. Apalagi untuk kasus ini, sang suami butuh dukungan besar tidak hanya moral, tapi juga bantuan-bantuan konkrit seperti dibantu bangun dari tidur, ke belakang, makan, dan sebagainya.

Namun kadang kita tidak bisa terlalu cepat melakukan penilaian tanpa memahami seluk beluknya. Sampai suatu hari saya mendapat kesempatan untuk bertanya langsung pada Pak Awal yang sepertinya sedang bergelut dengan kesendirian, "Pak, kok rela membiarkan Ibu Susi pergi ke Rusia?" Sebenarnya itu jenis pertanyaan yang sudah dihaluskan. Pertanyaan sebenarnya adalah, "Pak, kok sampai hati Ibu Susi pergi meninggalkan Bapak?" Namun beliau sambil tersenyum berkata, "Karena saya merasa hidup saya seperti Anton Chekov." 

Kemudian seperti kebiasaannya, Pak Awal melanjutkan ceritanya dengan panjang lebar, "Istri Chekov, Olga Knipper adalah seorang pemain teater ternama di Moskow. Ia tengah berada di puncak karier ketika Chekov mengalami sakit tuberkulosis di ujung hidupnya. Suatu hari Chekov memutuskan untuk mati dengan cara membuka alat bantu pernapasannya sendiri dan berkata pada dokter, 'Dokter, saya mau mati.'." Begitulah dalam cerita Pak Awal, Chekov memutuskan untuk mengakhiri hidup lebih cepat karena tidak ingin menghambat karir istrinya. Pada titik itu saya mengerti sepenuhnya mengapa Pak Awal rela membiarkan Ibu Susi meninggalkannya tiga bulan untuk mengejar karir. Pak Awal, sebagaimana Chekov, justru ingin mengekspresikan rasa cinta yang adiluhung pada Ibu Susi, yakni: Cinta yang membebaskan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me