Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Sejarah


 
Hari-hari belakangan ini, saya sedang disibukkan dengan menulis biografi seorang sutradara senior bernama Awal Uzhara. Saya datang ke rumahnya seminggu dua atau tiga kali untuk mendengarkan bagaimana beliau bercerita tentang sejarah kehidupannya. Dari pengalaman menuliskan biografi itu, saya belajar sesuatu tentang hakikat sejarah. Pertama, dari kenyataan bahwa Pak Awal sendiri sering memilah mana yang pantas dimasukkan ke dalam sejarah dan mana yang sebaiknya dibuang saja untuk kemudian lenyap bersama semesta. Artinya, mencatat sejarah dari penutur pertama itu belum tentu bisa menggambarkan kejadian sebenarnya. Apalagi penutur yang sudah estafet hingga beberapa generasi. Harus diakui bahwa orang yang mengalami sejarah apapun, ketika itu ditransfer pada orang lain, tidak akan bisa persis akurat dengan kejadian sebenarnya baik secara detail peristiwa maupun perasaan ketika mengalami.

Kang Ghani, seorang sejarawan asal UNPAD pernah berkata sesuatu tentang bagaimana ketidakmungkinan sejarah yang objektif tersebut. "Silakan ulangi apa yang kamu lakukan lima menit yang lalu secara persis sama. Apakah bisa? Sekarang bagaimana kamu bisa mengetahui apa yang orang lakukan beribu-ribu tahun silam jikapun ia sendiri, yang mengalaminya sendiri, tidak mampu mengulanginya?" demikian ujarnya. Jadi adakah peluang bagi kita untuk mengetahui apa yang sudah lampau?

Untuk menjawab itu, saya teringat satu perdebatan menarik antara sejarawan Prancis dan sejarawan lokal bernama Hidayat Suryalaga. Sejarawan Prancis itu memperdebatkan bukti-bukti otentik tentang keberadaan Kerajaan Pajajaran yang menurutnya kurang meyakinkan. Namun Pak Hidayat menjawab singkat saja. Katanya, "Tidak penting dia ada atau tidak, yang penting dia ada dalam benak kami." Seolah-olah bagi Pak Hidayat, secara epistemologis memang mustahil bagi kita untuk mengetahui apa yang lampau. Maka itu perdebatan diakhiri saja dengan kenyataan apakah hal yang lampau itu -terlepas dari benar tidaknya- punya dampak signifikan untuk masyarakat hari ini atau tidak. 

Prof. Dieter Mack, seorang musikolog asal Jerman, dalam suatu kesempatan ceramah pernah memperdebatkan pendapat kawan saya, Diecky, yang mengatakan bahwa sejarah Barat lebih sistematis daripada timur. Pak Dieter menolak keras pernyataan tersebut dengan mengatakan, "Jangan membandingkan dua hal yang sangat berbeda. Barat sistematis lewat tulisan, Timur sistematis lewat tuturan. Faktanya, orang Timur sampai sekarang masih bisa memainkan musik seperti leluhurnya. Artinya apa yang lampau baginya tidak putus sekali meski tidak lewat tulisan." Senada dengan apa yang dikatakan Pak Dieter, Bambang Q-Anees pun pernah menyindir kebudayaan Barat yang meski canggih dalam mewariskan via tulisan, tapi sambil bergurau ia bertanya, "Mana ada filsuf Yunani yang beken di saat sekarang? Berarti tidak turun temurun itu kehebatan Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Ya kan?"

Artinya, jika secara epistemologis kita mustahil untuk menyelami yang lampau, kita bisa mengandaikan bahwa apa "yang lampau" itu cukup menjadi daya hidup untuk kita hari ini. Ini mungkin jauh lebih baik dan berguna daripada memperdebatkan eksistensi segala sesuatu yang lampau itu ada atau tidak. Barangkali ini yang jadi argumen kuat kenapa banyak orang masih mau bertuhan meski pemikiran ateisme terus menggurita dan semakin mampu memenangkan debat demi debat soal ketiadaan eksistensi Tuhan. Orang masih bertuhan mungkin karena jikapun ternyata Tuhan tidak ada "di-sana", toh setidaknya ia masih ada "di-sini", di dalam benak orang-orang yang mau ia tetap ada tanpa harus punya landasan kemasukakalan. Kedua, jika sejarah yang diturunkan lewat tulisan ataupun tuturan selalu terkena distorsi, maka dari mana sesungguhnya kita mendapatkan kebenaran? Soal ini saya dengar bapak berbicara, "Sejarah yang paling benar, adalah yang tidak dituliskan dan tidak dituturkan." Dalam arti kata lain, kebenaran sejati selalu tersimpan dalam sunyi. 


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1