Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Perkenalkan, Ini Istriku, Dega



Halo, dunia, perkenalkan ini istriku, Dega. Kami menikah sejak enam tahun silam setelah dua setengah tahun berpacaran. Kami bertemu oleh sebab jasa seorang kawan, namanya Johan. Aku dan Johan sedang dalam persiapan untuk mengadakan resital gitar klasik tahun 2007 dan ketika kami sedang menyusun teks ucapan terima kasih, Johan menyisipkan satu nama: "Dega France". Aku tertarik juga dengan betapa anehnya nama tersebut. Lalu aku tanya-tanya, melihat Friendsternya, dan memutuskan untuk menghubungi. Waktu aku hubungi "Dega France" (yang orang Jakarta), dia awalnya curiga, hingga akhirnya lama kelamaan, nyaman juga kami bicara. Kami berjumpa pertama kali di Jakarta. Dia minta aku bawakan Brownies Amanda dan kaos sepakbola. Tapi aku tidak membawanya, karena alasan yang tidak jelas. 

Sejak aku pertama melihatnya langsung di Jakarta itu, aku langsung suka. Aku hendak mengejarnya sampai dapat. Tapi seperti biasa, aku, yang mudah terdistraksi perempuan ini, melanjutkan petualangan, bersama lalala, bersama lilili. Kontak aku dan Dega hanya sekali-kali karena alasan tadi itulah: aku banyak mendapat distraksi. 

Namun dalam suatu momentum yang aneh, lewat percakapan via Gmail, aku tetiba ingin mengajaknya menikah. Kadang ajakan menikah itu tidak ada hubungannya dengan suatu pemikiran rasional. Aku hanya yakin, perempuan ini yang akan menemaniku hingga akhir hayat. Lalu aku mengajukan proposal, diterima, dan kami melanjutkan proses hingga jenjang pernikahan. Aku pernah mendengar cerita dari Dega, bahwa suatu hari, pernah ada yang mendoakannya: "Semoga ada laki-laki yang kelak mengangkat derajatmu, Nak." Doa itu aku tahu, datang dari ibunda Muna, kawan baiknya. Aku terdorong sekali untuk menjadi laki-laki yang dimaksud itu. 

Kami menikah pada tanggal 4 Februari 2012 di Gedung Sucofindo, Jakarta Selatan. Pernikahan kami meriah dan penuh berkah. Prosesi kami diiringi lagu Prancis berjudul L'Hymne a l'amour yang dimainkan oleh pemain violin Ammy Kurniawan. Pernikahan kami dihadiri banyak sekali orang, baik orang Bandung maupun Jakarta. 

Di awal pernikahan, Dega langsung mengalah dengan pindah ke Bandung dan meninggalkan pekerjaannya yang cukup mapan di perusahaan asing. Ia mau hidup denganku, yang cuma guru gitar dan dosen honorer dengan gaji seadanya. Selang setahun setengah kemudian, pernikahan kami dikaruniai anak yang lucu dan hebat, yaitu Zulaikha Mawlani Sabana. Seiring dengan kehadiran putri kecil kami itu juga, aku diterima sebagai dosen tetap di Telkom University yang berarti kehidupan kami semakin mapan. 

Menjelang enam tahun pernikahan kami, jalan terjal tidak pernah berhenti kami lalui. Tuhan tidak pernah memberi kemudahan, karena Ia tahu betapa kuatnya kami menghadapi cobaan. Dega dan Ayka, panggilan untuk putriku, selalu ada untuk mendukungku dalam berbagai keadaan - termasuk ketika memutuskan berhenti dari Telkom University karena tekanan -. 

Dega bekerja di rumah, dan mungkin ia tidak percaya, betapa aku selalu bangga dengan pekerjaannya tersebut. Bekerja mencari uang di luar adalah bagus, tapi bekerja di rumah adalah membangun peradaban, membangun sebuah fondasi kuat bagi kehidupan. Seorang seniman rupa Malaysia pernah berkata padaku, "Institusi pendidikan terbaik, adalah rumahmu sendiri." Ayka tumbuh menjadi anak yang mandiri dan cerdas. Di sisi lain, aku pun tidak butuh waktu lama untuk kembali dari keterpurukanku pasca mundurnya aku dari Telkom University. Ini semua berkat "tangan tak terlihat" yang disentuhkan Tuhan melalui istriku. 

Seperti semua manusia di dunia, istriku juga punya kelemahan. Kelemahannya adalah karena ia tidak seperti teman-temanku yang berpikiran tentang feminisme, ateisme, sosialisme, atau apalah isme-isme-isme itu. Kelemahan istriku adalah ia berpikir sangat sederhana: bahwa yang terpenting baginya, adalah hidup untuk keluarga. Pengabdian totalnya itu tampak menjadi sebuah kedangkalan pemikiran di tengah arus zaman yang serba kompleks dan pragmatis ini. 

Namun itu dulu. Sekarang, aku menyadari dengan sepenuh hati: Pengabdian adalah hal terpenting dalam hidup ini. Kumbakarna berharga hidupnya karena mengabdi pada negara. Yudhistira berharga hidupnya karena mengabdi pada anjingnya. Iblis dinilai suci akidahnya oleh sufi bernama Al Hallaj karena ketika ia diminta menyembah Adam oleh Tuhan, iblis enggan. Ia tetap mengumumkan pengabdiannya pada Tuhan. Pengabdian adalah hal terpenting dalam hidup ini. Karena demikianlah setinggi-tingginya suatu lompatan iman. 

Terima kasih istriku, atas seluruh pengabdianmu. Sekarang tiba saatnya, aku mengabdikan sisa hidupku, kepadamu. 


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1