Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Tiga tahun silam, saya pernah bercakap dengan seniman asal Malaysia, Juhari Said, di Guangzhou. Kondisi di Tiongkok, bagaimanapun sangat represif terhadap berbagai bentuk pendapat yang mengritik pemerintah, termasuk lewat seni yang halus sekalipun. Hal demikian ternyata kurang lebih serupa dengan di Malaysia. Dibandingkan di Malaysia, kita itu bebas sekali. Berekspresi apapun hampir oke, kecuali komunisme.
Juhari Said kemudian berkata, "Jika seniman ditangkap oleh sebab karyanya dianggap mengritik pemerintah, saya tidak akan menyalahkan pemerintahnya saja, tapi juga si senimannya kurang pintar." Kemudian beliau bercerita satu kisah dari Hikayat Hang Tuah yang berjudul Putri Tujuh Dulang. Kisah itu, secara halus adalah kritik terhadap kekuasaan sultan yang otoriter. Disampaikan secara subliminal lewat perumpamaan-perumpamaan hingga menyebar ke seluruh rakyat. Katanya, begitulah seharusnya seniman bekerja dalam menyampaikan kritik.
Tiba-tiba ingat kata-kata mutiara dari Pablo Picasso: "Learn the rules like a pro so you can break them like an artist." Kalimat tersebut agaknya relevan dengan maraknya seniman (terutama pelaku musik) belakangan ini yang jengah dengan RUU Permusikan. Bukan berarti saya mendukung RUU itu, bukan. Maksudnya adalah: seniman seharusnya punya daya kreasi melampaui aturan-aturan. Semakin aturan itu mengikat, semakin seniman harusnya bisa berkelit menyampaikan pesan melampaui hukum.
Bukankah di situ letak kelebihan seniman? Kalau dia cuma bisa nulis lagu isinya: "Pemerintah goblok, pemerintah tolol." Lalu apa bedanya dia dengan "orang pada umumnya yang tidak diberkahi kelebihan cipta, rasa dan karsa"?
Sudah banyak contoh seniman yang masih bisa berkarya di bawah represi. Di Tiongkok sendiri masih hidup dan berkeliaran, seorang Ai Wei Wei yang menyuarakan kritiknya melalui seni kontemporer. Di masa Stalin, meski banyak yang dieksekusi, Maxim Gorky tetap bertahan dengan sastra realisme sosialis, dan banyak lagi.
Tentu ini bukan semacam dukungan terhadap otoritarianisme ala Stalin. Sekali lagi, seniman tidak usah takut pada RUU. Kalau dia memang kreatif dan tidak kehabisan akal, ia akan terus berkarya sambil memancing emosi penguasa karena tidak bisa mengaitkan aktivitas si seniman dengan pelanggaran pasal secara meyakinkan.
Di sisi lain, kita bisa bersyukur karena mungkin pasal tersebut bisa membuat musik-musik tidak bagus yang menjual sensualitas semata macam yah kita semua tahu, bisa tersingkir dengan sendirinya.
Comments
Post a Comment