Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
(Ditulis sebagai pengantar pameran Ridwan S. Iwonk di Festival Merawat Beda yang diselenggarakan oleh Komuji Indonesia, 22 September – 6 Oktober 2020 di Rumah Komuji, Bandung)
Mari membicarakan paku dari berbagai perspektif. Misalnya, kondisi negeri kita sekarang ini, punya andil benda bernama paku di dalamnya. Iya, kita mencoblos gambar para wakil rakyat, dengan paku yang tajam, seolah-olah kita tancapkan harapan ke dada mereka. Selain itu, jangan lupakan juga dunia klenik di Indonesia, yang menjadikan paku sebagai benda penting untuk dimasukkan pada tubuh orang yang disantet (kelihatannya belum ada perkakas lain yang lebih seram untuk menggantikan paku).
Lebih serius lagi, spiritualitas umat Kristiani dibangun salah satunya oleh benda bernama paku, yang digunakan sedemikian kejamnya, sehingga meneteskan begitu banyak darah Sang Mesias yang bersimbah di sepanjang Via Dolorosa. Darah itu bukan sembarang darah, melainkan darah yang menebus dosa umat manusia.
Kita paksakan untuk membicarakannya di area yang lebih akademis juga bisa. Pada tahun 1950-an, pemikir dan peneliti asal Rumania, Mircea Eliade, mengajukan ide tentang axis mundi, yaitu semacam “pusat” yang menghubungkan dunia manusia dengan “surga” atau “dunia atas” atau apapun namanya yang sekiranya sepadan dengan wilayah transenden. Axis mundi ini dapat berupa gunung, pohon, atau produk-produk manusia seperti menara, pilar, totem, dan sebagainya. Kebudayaan manapun, kata pemikir lainnya, Claude Lévi-Strauss, selalu punya axis mundi ini, dalam berbagai bentuknya.
Konsep axis mundi ini terlihat seperti sebuah paku, yang mana gunung dan pohon tidak hanya yang tampak pada permukaannya saja, melainkan juga tentang apa yang “menghujam ke bumi” untuk menghubungkan “dunia sini” dan “dunia sana”. Kapan-kapan bisa coba berselancar mencari kata kunci “Yggdrasil” dan melihat bahwa axis mundi yang dibayangkan oleh mitologi orang-orang Nordik, adalah begitu menyerupai paku.
Mungkin tidak semua orang senang membicarakan ini, tapi harus dibayangkan bahwa Sigmund Freud pasti akan senang dengan pembicaraan tentang paku. Sebagai seorang psikoanalis yang menganggap bahwa segala tindakan kita dipengaruhi nyaris seluruhnya oleh alam bawah sadar – yang bernuansa hasrat dan insting seksual -, maka ia akan berteriak kencang dan yakin ketika kita berdiskusi tentang paku, “Itu phallus, paku itu phallus!”
Tapi Ridwan S. Iwonk bukan sedang membicarakan paku seperti Eliade, Lévi-Strauss, Freud, atau pemaknaan kita tentang Yesus di Via Dolorosa. Iwonk – begitu ia biasa dipanggil – sebenarnya sedang mengembalikan paku pada dirinya sendiri, yang jika paku itu disuruh bicara, mungkin akan curhat seperti ini: “Selama ini aku dimaknai begitu mendalam oleh para filsuf, politisi, ahli sejarah, dan bahkan ahli nujum. Aku ingin dipandang sebagai diriku sendiri saja, boleh tidak?”
Bahasa kerennya, Iwonk tengah melakukan suatu praktik intersubjektif, dengan melihat paku tidak lagi sebagai objek, melainkan subjek. Iwonk memandangi paku-paku itu setiap saat dan berdialog dengan mereka, “Kenapa kok kamu bentuknya agak bengkok?”, “Kenapa kok kamu agak karatan?”, “Kenapa kok kamu kelihatannya lebih kokoh dan tegar dibanding yang lain?”, dan seterusnya, yang mungkin bukan dilakukan dalam hitungan hari, minggu, atau bulan, melainkan tahunan!
Begitu seringnya Iwonk bercengkerama dengan paku-paku ini, hingga ia merasa bahwa kita semua di sini, harus turut merasakan keintiman Iwonk, yang mungkin terasa ganjil tapi juga “sublim”. Untuk memahami kesubliman tersebut, mau tidak mau kita harus pinjam pemikiran orang lain lagi, yaitu Immanuel Kant. Kant, dalam tulisannya yang berjudul Observations on The Feeling of the Beautiful and Sublime, menggambarkan “yang sublim” sebagai sesuatu yang berbeda dengan “yang indah”. Perbedaan yang Kant berikan ini, mungkin bisa membantu kita untuk turut merasakan apa yang sedang dipresentasikan oleh Iwonk, “’Yang indah’ dirasakan sebagai sensasi menyenangkan yang membuat kita gembira dan tersenyum, sementara di sisi lain ‘yang sublim’ adalah sesuatu yang menimbulkan gairah, rangsangan, tapi mengandung semacam horor juga di dalamnya.”
Iya, bagi yang berharap pameran karya rupa yang ditampilkan Iwonk ini akan menyenangkan hati dan menimbulkan kegembiraan, sebaiknya pergi saja ke taman dan melihat bunga-bunga, atau pergi ke gunung dan melihat kota dari kejauhan (itu juga kalau kotanya tidak tampak kumuh). Sekali lagi, Iwonk tidak mengajak kita pada keindahan, tapi pada kesubliman: Tentang paku yang berbahaya karena ujungnya begitu tajam, yang bentuknya aneh dan sering bengkok-bengkok, yang pada bagian tubuh tertentunya muncul karatan, yang sekaligus perannya begitu besar dalam sejarah, meski kerap dinihilkan, karena itu kan, cuma paku. Iwonk mengajak kita melihat lebih dalam: “Saudara-saudara, tidakkah paku ini indah? Tidakkah ia begitu mengagumkan? Tidakkah ia begitu kecil tapi krusial dalam kehidupan? Perhatikan betapa jeleknya wujud si paku, tapi bisa mengubah peradaban lebih besar daripada kalian yang rajin mematut-matut diri!”
Kerja kesenian Iwonk tidak berupaya menyenangkan hati dan memanjakan mata kita – seni retinal, jika meminjam kata Marcel Duchamp -, tapi masuk pada upaya membangkitkan kesadaran. Iwonk bekerja di wilayah fenomenologis, dengan membangun konstitusi makna yang baru tentang paku, yang selama ini dianggap orang sebagai “ah, paku doang!”. Karya instalasinya juga tidak diposisikan sebagai altar penyembahan yang seolah mesti steril dari tangan manusia – karena terlalu ilahiah -. Kata Iwonk, “Silakan saja sentuh instalasi ini, jangan ragu-ragu, justru itulah yang diinginkan!” Bahkan jikapun ada orang yang merusak karya Iwonk ini, mungkin Iwonk tidak akan bete-bete amat, karena toh, selama ini, imej tentang paku memang sudah dipandang sebelah mata dalam peradaban, biarkan saja mereka yang masih berpendapat demikian.
Namun pasti ada suatu maksud mengapa Iwonk berani memajang karya-karya pakunya ini di suatu tema berjudul “Merawat Beda” yang diusung oleh Komuji Indonesia. Memangnya nyambung? Bukankah konsepsi “Merawat Beda” akan lebih indah jika dipadupadankan dengan karya yang harmonis, cenderung matematis, dan menimbulkan perasaan damai? Pada titik ini, Iwonk secara jeli menempatkan “yang sublim” sebagai interpretasi terhadap “Merawat Beda”. Mungkin, hanya mungkin, perbedaan adalah keadaan yang secara bawah sadar, begitu mengerikan (karena harus selalu dimengerti). Tapi melalui paku-paku itu, kita tahu bahwa hal paling buruk rupa dan berbahaya sekalipun, punya bagiannya yang krusial bagi umat manusia.
Comments
Post a Comment