Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Paku dan Hal-Hal yang Tidak Perlu Kita Ketahui Tentangnya

(Ditulis sebagai pengantar pameran Ridwan S. Iwonk di Festival Merawat Beda yang diselenggarakan oleh Komuji Indonesia, 22 September – 6 Oktober 2020 di Rumah Komuji, Bandung)




Mari membicarakan paku dari berbagai perspektif. Misalnya, kondisi negeri kita sekarang ini, punya andil benda bernama paku di dalamnya. Iya, kita mencoblos gambar para wakil rakyat, dengan paku yang tajam, seolah-olah kita tancapkan harapan ke dada mereka. Selain itu, jangan lupakan juga dunia klenik di Indonesia, yang menjadikan paku sebagai benda penting untuk dimasukkan pada tubuh orang yang disantet (kelihatannya belum ada perkakas lain yang lebih seram untuk menggantikan paku).

Lebih serius lagi, spiritualitas umat Kristiani dibangun salah satunya oleh benda bernama paku, yang digunakan sedemikian kejamnya, sehingga meneteskan begitu banyak darah Sang Mesias yang bersimbah di sepanjang Via Dolorosa. Darah itu bukan sembarang darah, melainkan darah yang menebus dosa umat manusia. 

Kita paksakan untuk membicarakannya di area yang lebih akademis juga bisa. Pada tahun 1950-an, pemikir dan peneliti asal Rumania, Mircea Eliade, mengajukan ide tentang axis mundi, yaitu semacam “pusat” yang menghubungkan dunia manusia dengan “surga” atau “dunia atas” atau apapun namanya yang sekiranya sepadan dengan wilayah transenden. Axis mundi ini dapat berupa gunung, pohon, atau produk-produk manusia seperti menara, pilar, totem, dan sebagainya. Kebudayaan manapun, kata pemikir lainnya, Claude Lévi-Strauss, selalu punya axis mundi ini, dalam berbagai bentuknya. 

Konsep axis mundi ini terlihat seperti sebuah paku, yang mana gunung dan pohon tidak hanya yang tampak pada permukaannya saja, melainkan juga tentang apa yang “menghujam ke bumi” untuk menghubungkan “dunia sini” dan “dunia sana”. Kapan-kapan bisa coba berselancar mencari kata kunci “Yggdrasil” dan melihat bahwa axis mundi yang dibayangkan oleh mitologi orang-orang Nordik, adalah begitu menyerupai paku. 

Mungkin tidak semua orang senang membicarakan ini, tapi harus dibayangkan bahwa Sigmund Freud pasti akan senang dengan pembicaraan tentang paku. Sebagai seorang psikoanalis yang menganggap bahwa segala tindakan kita dipengaruhi nyaris seluruhnya oleh alam bawah sadar – yang bernuansa hasrat dan insting seksual -, maka ia akan berteriak kencang dan yakin ketika kita berdiskusi tentang paku, “Itu phallus, paku itu phallus!” 

Tapi Ridwan S. Iwonk bukan sedang membicarakan paku seperti Eliade, Lévi-Strauss, Freud, atau pemaknaan kita tentang Yesus di Via Dolorosa. Iwonk – begitu ia biasa dipanggil – sebenarnya sedang mengembalikan paku pada dirinya sendiri, yang jika paku itu disuruh bicara, mungkin akan curhat seperti ini: “Selama ini aku dimaknai begitu mendalam oleh para filsuf, politisi, ahli sejarah, dan bahkan ahli nujum. Aku ingin dipandang sebagai diriku sendiri saja, boleh tidak?” 

Bahasa kerennya, Iwonk tengah melakukan suatu praktik intersubjektif, dengan melihat paku tidak lagi sebagai objek, melainkan subjek. Iwonk memandangi paku-paku itu setiap saat dan berdialog dengan mereka, “Kenapa kok kamu bentuknya agak bengkok?”, “Kenapa kok kamu agak karatan?”, “Kenapa kok kamu kelihatannya lebih kokoh dan tegar dibanding yang lain?”, dan seterusnya, yang mungkin bukan dilakukan dalam hitungan hari, minggu, atau bulan, melainkan tahunan! 

Begitu seringnya Iwonk bercengkerama dengan paku-paku ini, hingga ia merasa bahwa kita semua di sini, harus turut merasakan keintiman Iwonk, yang mungkin terasa ganjil tapi juga “sublim”. Untuk memahami kesubliman tersebut, mau tidak mau kita harus pinjam pemikiran orang lain lagi, yaitu Immanuel Kant. Kant, dalam tulisannya yang berjudul Observations on The Feeling of the Beautiful and Sublime, menggambarkan “yang sublim” sebagai sesuatu yang berbeda dengan “yang indah”. Perbedaan yang Kant berikan ini, mungkin bisa membantu kita untuk turut merasakan apa yang sedang dipresentasikan oleh Iwonk, “’Yang indah’ dirasakan sebagai sensasi menyenangkan yang membuat kita gembira dan tersenyum, sementara di sisi lain ‘yang sublim’ adalah sesuatu yang menimbulkan gairah, rangsangan, tapi mengandung semacam horor juga di dalamnya.” 

Iya, bagi yang berharap pameran karya rupa yang ditampilkan Iwonk ini akan menyenangkan hati dan menimbulkan kegembiraan, sebaiknya pergi saja ke taman dan melihat bunga-bunga, atau pergi ke gunung dan melihat kota dari kejauhan (itu juga kalau kotanya tidak tampak kumuh). Sekali lagi, Iwonk tidak mengajak kita pada keindahan, tapi pada kesubliman: Tentang paku yang berbahaya karena ujungnya begitu tajam, yang bentuknya aneh dan sering bengkok-bengkok, yang pada bagian tubuh tertentunya muncul karatan, yang sekaligus perannya begitu besar dalam sejarah, meski kerap dinihilkan, karena itu kan, cuma paku. Iwonk mengajak kita melihat lebih dalam: “Saudara-saudara, tidakkah paku ini indah? Tidakkah ia begitu mengagumkan? Tidakkah ia begitu kecil tapi krusial dalam kehidupan? Perhatikan betapa jeleknya wujud si paku, tapi bisa mengubah peradaban lebih besar daripada kalian yang rajin mematut-matut diri!” 

Kerja kesenian Iwonk tidak berupaya menyenangkan hati dan memanjakan mata kita – seni retinal, jika meminjam kata Marcel Duchamp -, tapi masuk pada upaya membangkitkan kesadaran. Iwonk bekerja di wilayah fenomenologis, dengan membangun konstitusi makna yang baru tentang paku, yang selama ini dianggap orang sebagai “ah, paku doang!”. Karya instalasinya juga tidak diposisikan sebagai altar penyembahan yang seolah mesti steril dari tangan manusia – karena terlalu ilahiah -. Kata Iwonk, “Silakan saja sentuh instalasi ini, jangan ragu-ragu, justru itulah yang diinginkan!” Bahkan jikapun ada orang yang merusak karya Iwonk ini, mungkin Iwonk tidak akan bete-bete amat, karena toh, selama ini, imej tentang paku memang sudah dipandang sebelah mata dalam peradaban, biarkan saja mereka yang masih berpendapat demikian.  

Namun pasti ada suatu maksud mengapa Iwonk berani memajang karya-karya pakunya ini di suatu tema berjudul “Merawat Beda” yang diusung oleh Komuji Indonesia. Memangnya nyambung? Bukankah konsepsi “Merawat Beda” akan lebih indah jika dipadupadankan dengan karya yang harmonis, cenderung matematis, dan menimbulkan perasaan damai? Pada titik ini, Iwonk secara jeli menempatkan “yang sublim” sebagai interpretasi terhadap “Merawat Beda”. Mungkin, hanya mungkin, perbedaan adalah keadaan yang secara bawah sadar, begitu mengerikan (karena harus selalu dimengerti). Tapi melalui paku-paku itu, kita tahu bahwa hal paling buruk rupa dan berbahaya sekalipun, punya bagiannya yang krusial bagi umat manusia.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1