Ini adalah pertemuan saya dengan Piala Eropa kesekian setelah pertama kali menontonnya tahun 1996. Sejak Euro '96 di Inggris hingga Euro edisi kali ini di Jerman, saya tak pernah putus mendukung Itali. Seperti halnya keputusan siapapun dalam memilih tim sepakbola kesayangannya (di luar tim dari kota kelahiran atau tempat tinggal), alasannya seringkali tidak rasional, nyaris seperti jatuh cinta untuk pertama kali. Saya suka Itali karena suka saja. Padahal di Euro '96 itu, Itali gagal lolos dari fase grup setelah mendapat hasil imbang dengan Jerman. Saya menonton langsung di televisi momen Gianfranco Zola gagal mengeksekusi penalti. Padahal penalti tersebut, jika gol, bisa saja membuat Itali melenggang ke perempat final. Itali tersingkir, tetapi saya memilih untuk mendukung Itali. Padahal bisa saja saya mendukung Jerman, tim yang menjadi juara Euro '96 pada akhirnya. Tapi ternyata tidak, entah kenapa. Banyak pemain yang saya tidak tahu di timnas Itali tahun ini. Selain meman
Sedang ramai play-off NBA. Tim-tim saling menyingkirkan. Kekalahan tentu sesuatu yang tidak diinginkan oleh tim manapun, tetapi kita bisa bayangkan: kekalahan adalah sekaligus bentuk kelegaan. Para pemain dari tim yang kalah bisa pulang ke rumah lebih cepat dan menonton sisa musim sambil bersantai bersama keluarga. Mereka tak perlu lagi datang setiap hari ke tempat latihan dengan suasana tegang menghadapi pertandingan demi pertandingan. Para pemain bisa rileks dan bahkan bisa makan sesuka hati karena tak ada lagi pertandingan untuk dua sampai empat bulan mendatang.
Kekalahan adalah istilah yang mengacu pada permainan tertentu yang disepakati. Sebuah tim kalah main basket jika skornya berada di bawah tim lawan. Seseorang kalah dalam konteks sekolahan jika tidak lulus ujian atau menempati ranking terbawah. Partai manapun disebut kalah dalam kontestasi politik jika tidak meraih suara yang cukup untuk mengirimkan wakilnya ke parlemen. Kekalahan berlaku untuk suatu permainan, tetapi belum tentu berlaku untuk jenis permainan yang lain.
Ashleigh Barty adalah eks petenis yang pernah bertengger di urutan teratas dunia. Pernah memenangkan sekali Grand Slam, Barty mendadak pensiun tahun 2022 di usia yang sedang puncak-puncaknya yaitu 26 tahun. Alasannya sederhana saja, dia sudah tidak punya gairah lagi untuk memenangkan gelar. Semangatnya bermain tenis sudah turun. Kita bisa sekaligus simpulkan: Barty punya semangat untuk hal lain, suatu kehidupan di luar tenis. Barty memang tampak kalah, seolah-olah tak berani lagi bertarung sampai habis seperti halnya Roger Federer atau Cristiano Ronaldo yang bertahan setua mungkin hingga tak kuat lagi.
Namun sepertinya Barty tak peduli label kalah semacam itu. Kekalahan baginya adalah kekalahan untuk suatu arena, tetapi tidak untuk arena lainnya. Arena lain yang dimaksud, tentu saja, arena kehidupan yang baginya lebih bermakna, lebih memberikan gairah, ketimbang tenis yang sudah tak bisa memberikan hal demikian lagi.
Hidup dalam arti keseluruhan tak punya sesuatu yang disebut sebagai kekalahan. Kalau ada yang disebut sebagai kekalahan, maka lebih tepat disebut sebagai kekalahan dalam memaknai. Seseorang yang biasa berada di posisi atas, pada akhirnya harus memasuki masa pensiun dan posisinya digantikan oleh orang lain. Apakah dia kalah? Mungkin saja, jika dia mau melihatnya seperti itu. Tapi kekalahan adalah sekaligus kemenangan untuk arena yang lain. Misalnya, waktu berkualitas bersama keluarga atau waktu-waktu untuk memperhatikan kesehatan pribadi, atau melakukan hal yang dia suka saja di sisa usia.
Atau, kita akan lebih santai jika hendak melihat hidup secara keseluruhan sebagai sebuah kekalahan. Kekalahan atas apapun yang cepat atau lambat akan datang. Kekalahan melawan usia, kekalahan melawan pesaing, kekalahan melawan generasi yang lebih muda, hingga kekalahan melawan rasa sepi. Dengan demikian, satu-satunya kemenangan yang tinggal, hanyalah kematian.
Comments
Post a Comment