Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Tentang Hukuman Mati


Baru saja saya menyelesaikan tugas sebagai moderator diskusi hukuman mati. Topik ini sebenarnya tidak pernah menjadi hal yang saya fokuskan. Soal hukuman mati saya selalu mengacu pada cerpen Anton Chekhov berjudul Pertaruhan. Dalam cerpen tersebut, diceritakan bagaimana bankir dan ahli hukum bertaruh mana hukuman yang lebih baik, hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Ahli hukum, yang memilih opsi kedua, bersedia mendekam di penjara selama lima belas tahun dan jika ia berhasil melewatinya, maka lawan taruhannya harus membayarnya dua juta rubel. Bankir yakin akan memenangkan pertaruhan ini karena siapa yang mau secara sukarela mengurung dirinya sendiri di penjara selama lima belas tahun? 

Namun tak disangka-sangka, bankir berhasil membuat dirinya betah bertahun-tahun karena membaca buku. Begitu banyaknya ia membaca buku sehingga ia mendapatkan suatu kebijaksanaan yang membuat pertaruhan tersebut terasa sia-sia. Kita tidak perlu membahas bagaimana akhir dari pertaruhan ini karena takut menjadi spoiler bagi mereka yang berminat membacanya sendiri. Meski tidak tersurat, tetapi saya bisa setidaknya menyimpulkan bahwa hukuman seumur hidup, dalam tafsir saya terhadap cerpen Chekhov tersebut, lebih baik karena memberi kesempatan si terhukum untuk memperbaiki dirinya, berubah menjadi orang yang lebih baik. Sebenarnya alih-alih mengambil hikmah tentang hukuman mati dari cerpen tersebut, saya lebih tertarik membaca kesan si ahli hukum tentang membaca. Dalam cerpen tersebut, Chekhov menceritakan dengan indah bagaimana membaca membuat si ahli hukum dapat mengembangkan pikirannya jauh melampaui tembok-tembok penjara sehingga ia tidak pernah merasa bosan meski mendekam lima belas tahun. 

Meski ditulis dalam bentuk fiksi, argumen Chekhov tentang penolakan hukuman mati, bagi saya, tetap kokoh. Sementara itu, di sisi lain, umumnya mereka yang pro hukuman mati mempunyai sekurang-kurangnya dua alasan yaitu pertama, perkara retribusi atau pembalasan atau sering diilustrasikan dengan "mata dibalas mata". Hukuman mati dianggap "adil" karena mereka yang telah misalnya, membunuh seseorang, mesti juga kehilangan nyawanya. Immanuel Kant bahkan membela hukuman mati dengan mengatakan bahwa hukuman harus dijatuhkan sebagai bentuk penghargaan kita terhadap maksim universal si pelaku kejahatan yang jika ia membolehkan dirinya untuk membunuh, maka sudah sepatutnya kita selaku pengadil membolehkan diri kita juga untuk membunuh si pembunuh. Alasan kedua umumnya berkaitan dengan efek jera. Dengan melaksanakan hukuman mati terhadap suatu kejahatan, maka diharapkan orang menjadi enggan untuk melakukan kejahatan serupa. 

Bantahan terhadap dua alasan tersebut juga sudah sering dikemukakan. Tentang retribusi, kita tidak tahu hingga seberapa jauh pembalasan tersebut dapat terpuaskan. Misalnya, jika seseorang membunuh anak kandung orang lain, apakah orang lain tersebut merasa terpuaskan jika anak kandung si pembunuh juga dibunuh? Atau hal tersebut tidak membuatnya puas dan bisa jadi malah ingin membunuh seluruh keluarganya? Selain itu, alasan retributif juga seringkali gagal secara etis karena mengapa kejahatan seseorang mesti dibalas dengan kejahatan yang sama? Tidakkah kita menjadi "sama" dengan orang jahat tersebut? Sementara terhadap alasan efek jera, umumnya bantahan yang diungkapkan adalah terkait tidak adanya bukti meyakinkan bahwa hukuman mati menekan angka kejahatan. Bahkan bagi orang dengan ideologi tertentu, hukuman mati bisa menjadi suatu kebanggaan, ia merasa telah menjadi martir, yang membuat kelompoknya bertambah semangat. 

Masalah lain pada hukuman mati adalah ketidakmungkinannya untuk merevisi putusan pasca eksekusi dijalankan (karena orangnya sudah telanjur mati). Padahal putusan hakim bisa saja keliru. Selain itu, dalam pelaksanaannya, hukuman mati juga biasanya bias kelas. Umumnya pada orang-orang golongan ekonomi menengah ke bawah atau mereka yang mendapat diskriminasi secara sosial, hukuman mati lebih mudah dijatuhkan ketimbang pada orang-orang kaya dan berprivilese. Terakhir, dalam nuansa yang lebih teologis, kita bisa katakan bahwa negara bukan Tuhan, ia, dan siapapun juga, tidak berhak mengambil nyawa siapapun.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1