Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Siddhartha: Percikan Inspirasi Sang Buddha


Penganugerahan Nobel Sastra bagi Hermann Hesse pada tahun 1946 dibuktikannya dengan sangat baik dalam novel Siddhartha ini. Bagi saya, novel ini tidak hanya indah dan puitis, tapi juga inspiratif dan mencerahkan. Keunikannya terletak dari tidak adanya konflik antar orang, melainkan hanya konflik Siddhartha (sang tokoh utama) dengan dirinya. Ya, ini adalah karya sastra yang bercerita tentang pergulatan batin dan pencarian spiritual seorang Siddhartha, yang diceritakan hidup sejaman dengan Gotama, Sang Buddha (sekitar 600 SM). Penokohannya sendiri sebenarnya cukup menggelikan. Fakta historis mengatakan bahwa Sang Buddha bernama asli Siddhartha Gotama. Namun di novel itu, antara Siddhartha dan Gotama adalah dua tokoh yang sama sekali lain. Gotama adalah Sang Buddha yang ajarannya saat itu tengah naik daun dan sangat digandrungi masyarakat India, sementara Siddhartha justru menolak ajaran Gotama, yang diungkapkannya dalam kalimat yang inspiratif: "Tidak ada seorangpun yang mendapat pencerahan dari sebuah ajaran".
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Siddhartha pun pergi mengelana mencari jati diri, dan bertemu banyak orang-orang yang menstimulus pergolakan dalam dirinya. Mulai dari pelacur cantik bernama Kamala, Kamaswami sang pedagang, juru sampan bernama Vasudeva, hingga sahabatnya, Govinda. Setiap tokoh tersebut memberikan kesan tersendiri bagi perjalanan spiritual Siddhartha. Bagi saya, novel ini memberi kesadaran bahwa hidup itu memang penuh paradoks. Manusia menjadi "baik" tak selalu didorong oleh hal-hal dan gagasan yang "baik" pula, seringkali justru yang "tidak baik" itulah yang menstimulus segala kebaikan.
Siddhartha tidak melakukan demarkasi antara pengaruh Gotama Sang Buddha dengan Kamala sang pelacur. Baginya, kedua orang itu sama sucinya. Saya juga luar biasa terkesan dengan tokoh Vasudeva si juru sampan, yang sangat ahli dalam "mendengarkan". Setiap cerita yang diungkapkan panjang lebar olah Siddhartha, ditanggapi Vasudeva dengan penghayatan yang tinggi, tanpa kata-kata. Bahkan kadangkala Vasudeva memejamkan matanya, dan menganggap setiap kata yang keluar dari mulut Siddharta, seperti rembesan air hujan yang masuk ke akar pepohonan, sangat alami! Saya jadi terpikir, jangan-jangan ada alasan tertentu kenapa manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Jangan-jangan juga memang "mendengarkan" itu adalah pekerjaan tersulit yang bisa dilakukan manusia.
Begitu banyak nilai-nilai moral yang dikandung dalam novel ini, yang sejujurnya sangat merangsang saya untuk lebih memahami tentang apa dan bagaimana itu "Buddha". Saya tutup review ini dengan kalimat yang menyegarkan dari -siapa lagi kalau bukan-Siddhartha: "Pengetahuan dapat diungkapkan, tapi tidak kebijaksanaan. Kebijaksanaan, saat seorang bijak mencoba mengungkapkannya, selalu terdengar bagai kebodohan".



Terima kasih untuk Indra yang sudah merekomendasikan buku ini. Sangat sangat inspiratif.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat