Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Main Bersama Kappalettas


Suatu selasa tanggal 25 kemarin, saya diberangkatkan ke Jakarta naik travel. Jam travelnya cukup malam, yakni jam 19.45. Ada apa gerangan? Saya ternyata mesti main gitar tiga lagu, untuk sebuah kelompok telegram bernyanyi bernama Kappalettas. Dan jam mainnya tidak lazim, yakni menjelang tengah malam. Soal Kappalettas saya pernah menulis sebelumnya, namun saat itu status saya adalah "korban", sedangkan sekarang, saya terlibat dalam Kappalettas sebagai "terdakwa", atau lawannya korban apa ya? Pokoknya kamilah yang mendatangi si korban.

Kappalettas ini adalah kelompok telegram bernyanyi. Jadi kau bisa memesan lagu apa saja (betul nih apa aja, Mba Niken?) untuk kemudian dikirimkan pada target yang kau inginkan. Nantinya si target akan menerima lagu darimu, beserta pesan-pesan lain jika ada, dan boleh juga dengan coklat serta bunga. Yang menarik adalah, lagu dimainkan secara live, memakai format gitar serta vokal (ada biola dan cello sebenarnya, tapi sejauh ini beberapa kali gagal ditampilkan hehe).

Akhirnya sampailah saya di Kartika Chandra, hotel tempat travel itu berhenti. Saya naik ojek menuju kost Christina, yang mana dia merupakan vokalis kami yang berdomisili Jakarta. Berlatihlah kami selagu dualagu tigalagu barang sejenak, bersama gitaris satu lagi, Pepeng, serta ternyata, Urie, eks vokalis band Kuburan. Lagu yang kami latih di waktu sebentar itu adalah To Make You Feel My Love dari Adele, Goodnight dari Melody Gardot, dan All I Want is You dari U2. Tak lama setelah berlatih, datanglah kami menuju rumah si korban. Waktu itu jam setengah dua belas malam, dan kami mendatangi rumahnya yang ternyata tak jauh dari kost Christina. Si korban bernama Kristy, ia mendapat kiriman dari seseorang yang menolak disebutkan identitasnya, meski akhirnya ketahuan.

Di rumah yang cukup besar dan artistik itu, kami memainkan tiga lagu di ruang yang sepertinya ruang tamu. Formasi dua gitar dua vokal di tengah malam, berhasil menimbulkan kekhidmatan yang diwarnai mesem-mesem sang korban. Bergantian Urie dan Christina bernyanyi, sementara saya dan Pepeng main gitar sahut-sahutan. Setiap selesai lagu, terjadi tepuk tangan. Terjadi pertanyaan dari korban, "Siapa sih ini yang ngirim?" Meski demikian, di sela-sela lagu, pengirim misterius menyisipkan kalimat puitis, dan ini ternyata sukses membuka identitas. Kristy sang korban tahu bahwa ini adalah seseorang yang menyukainya, dan sekarang tengah bekerja di Afghanistan. Setelah lagu berakhir, sesuai tradisi Kappalettas, diserahkanlah lirik lagu yang sudah dimainkan, dalam gulungan kertas karton yang sudah dipercantik dengan pita.

Malam itu berakhir damai dan romantis, barangkali seperti setiap akhir cerita buruan Kappalettas lainnya (karena ini pertama kali saya ikutan). Disertai hidangan cake ulang tahun, kami ngobrol-ngobrol singkat dan berbasa basi agak basi, barangkali karena sudah larut. Pulang kami dalam keadaan senang, karena sukses mempermainkan emosi seseorang. Ada lembaran uang, tapi tak jadi soal. Orang bilang ujung segalanya adalah duit. Tapi dari Kappalettas saya belajar: ujung-ujungnya adalah emosi, adalah kepuasan batin. Konon duit bisa membeli itu. Konon.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1