Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Mendarahi Piala Dunia

 

Sejak partai puncak Euro 1996 di Inggris, saya menjadi sangat menyukai sepakbola. Final yang mempertemukan Jerman versus Rep. Ceko tersebut, sangat tertanggal di hati. Saya sampai ingat sebagian besar pemain yang main: Jerman formasi 3-5-2, ada kiper Andy Koepke, libero Mathias Sammer, bek Jurgen Koehler dan Stefan Reuter, pemain tengah Thomas Haessler, serta duet penyerang Jurgen Klinsmann dan Steffen Freund. Ada juga Rep. Ceko dengan formasi 3-6-1 saya ingat kiper Petr Kouba, bek Michel Hornak, kapten Radoslav Latal dan Jan Suchoparek, pemain tengah Pavel Nedved, Jiri Nemec, Patrik Berger, Karel Poborsky, serta penyerang tunggal Pavel Kuka. Ah, jadi pamer ingatan yah, tapi sungguh saya bahagia bisa mengingat semuanya. Saat itu saya kelas 6 SD dan saat menulis ini saya tak sedikitpun mengintip Wikipedia atau situs UEFA.

Sejak itu, saya tak mau sedikitpun melewatkan momen-momen dalam sepakbola, apalagi turnamen besar. Mesti nyangkut di hati, mesti terasa euforianya, terdarahi dalam nadi, bagaimanapun caranya. Di Piala Dunia 1998, saat itu saya 2 SMP, saya melakukan hal yang menurut pandangan saya sekarang, agak sinting. Saya mencatat statistik per pertandingan, semuanya, mulai dari tendangan penjuru, tendangan ke arah gawang, melenceng, peluang menit per menit, hingga persentase penguasaan pertandingan. Semua partai, tak ada satupun yang terlewat. Di akhir turnamen, statistik tersebut saya print dan bundel jadi semacam buku, dan dijual dua puluh ribu rupiah per eksemplar. Alhamdulillah ada yang beli dua orang. Sekarang data-data itu sudah hilang, karena cuma diabadikan dalam floopy disk, dan komputer yang saya pakai jaman itu entah sudah kemana. Sepertinya rusak.

Piala Dunia 2002, tadinya saya menabung, ingin nonton mumpung di wilayah Asia. Tapi tak tercapai entah kenapa, sepertinya karena saya kurang sungguh-sungguh. Bagaimana mendarahinya? Ada dua cara, mendukung Italia favoritku sepenuh hati (jangan ditiru, ini syirik dan bid'ah: ketika menonton Italia, saya sering shalat tahajjud dulu sebelumnya, dan kemudian mengalungkan bendera Italia di leher, meski itu nonton sendiri di rumah) serta cara satu lagi yang juga jangan ditiru biarpun asyik, yakni dengan cara berjudi. Kala itu saya berjudi cuma di babak penyisihan, dan untungnya lumayan, cukup banyak untuk saya yang masih SMA. Tapi kelucuan euforia saya masih terjaga dengan mengkliping momen-momen Piala Dunia yang didapat dari koran BOLA.

Piala Dunia 2006, judi semakin menjadi. Saya semakin menyukainya, dan menganggap itu penting, karena apa? Karena negara kita tidak pernah dan tidak akan lolos ke Piala Dunia. Jadinya kita bingung mau dukung siapa mau bela siapa? Jadi buatlah permainan, belalah yang kita pegang dalam perjudian. Dari situ kita akan terlibat secara emosional dengan para pemain di atas lapangan. Tengok saja, jika suatu hari nanti di kehidupan entah kapan, Indonesia lolos ke Piala Dunia, maka niscaya perjudian soal Piala Dunia akan menurun drastis di Indonesia. Karena masyarakat tahu ada yang dibela dan didukung di sana, dengan darah dan air mata yang murni tak dibuat-buat. Sebagai tambahan, Piala Dunia 2006, agar semakin mendarahi, saya beli video VHS, dan merekam banyak partai penting.

Masuklah kita ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Sebentar lagi, lima hari lagi. Niat saya berhenti judi cukup kuat (mungkin bisa luluh di partai-partai puncak), karena aduh malu, sudah punya rejeki halal hehehe. Tapi saya tetap akan berusaha menyimpan momen tersebut dalam kenangan perjalanan hidup saya. Dengan cara apa? Hmmm saya baru kepikiran, saya akan buat prediksi dan hasil menerawang, tentang siapa yang menang di tiap partai, lolos penyisihan, hingga juara, dan sepertinya akan ditulis di note Facebook hehehe. Mendarahikah? Tentu saja, ini menyenangkan dan mengundang saya berpikir keras setiap hari. Tidak penting? Siapa bilang bersiul itu penting, tapi itu cara untuk menikmati hidup bukan?

Maka simpan filsafat, simpan agama, dalam sebuah laci rapat di kamarmu. Sepakbola tak butuh keduanya, karena seperti halnya Tuhan menciptakan filsafat dan agama yang Ia ridhai, Ia pun menciptakan sepakbola.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1