Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Sedikit Pengetahuan tentang Para Pecinta Keluarga Nabi

Lukisan artis tentang pembai'atan Ali di Ghadir Kum (diambil dari sini)

Dengan Bismillahirrahmaanirrahim, saya akan menulis sesuatu, yang memang selalu saya tuliskan jika dalam hati punya kegelisahan. Ini tulisan bukan tulisan analitik, apalagi tulisan religius (saya berharap tidak ada tendensi kesana). Ini cuma tulisan, alah, semoga cuma biasa-biasa saja dari seseorang yang baru tahu sesuatu. Yang begitu menempel di benaknya sekalimat ujaran dari Foucault bahwa, "Pengetahuan sedikit adalah berbahaya." Dan ini adalah buah tulisan dari pengetahuan yang sedikit, tapi kegelisahan yang besar. Semoga tidak menjadi sesuatu yang berbahaya, dan jika memang ternyata ada perdebatan di dalamnya, maka ijinkan saya menyerahkan pada yang lebih paham ketimbang kemudian memberikan penjelasan yang memperuncing segala.

----

Dalam beberapa bulan terakhir, sejak berkenalan dengan seorang kawan yang sebut saja namanya Hasan, saya jadi mengetahui dan lama kelamaan mengkaji tentang suatu mazhab dalam Islam yang mempunyai perbedaan dengan apa yang saya pelajari selama ini. Saya mengira Islam yang saya kenal belakangan, adalah Islam universal, yang dimana-mana pasti begitu. Islam indah karena punya tatacara yang satu, setidaknya itu yang saya yakini ketika beribadah di Makkah. Tapi ini adalah mazhab yang begitu asing, dan punya kekontrasan dari banyak segi. Saya pernah dengar perbedaan Persis, Muhammadiyah, atau NU, tapi yang ini begitu berbeda, dan bahkan oleh beberapa golongan sering dituduh sebagai kaum rafidhah (meninggalkan) atau ada pula yang menyebut mazhab ini bukan Islam, tapi semacam agama baru.

Dalam pemahaman saya yang sedikit, saya juga sempat menduga mazhab ini seperti yang sesat. Tapi jika kemudian saya mengklaim itu sesat sebelum mengkaji, maka saya terjebak pada fanatisme buta. Maka saya tak ubahnya seperti pastor Terry Jones yang mau membakar Al-Qur'an pada tanggal 11 September dengan berpegang pada argumen-argumen yang menggelikan. Atau FPI yang kerjanya melakukan penghancuran sana-sini tanpa sadar bahwa menyakiti sesama manusia adalah berdosa. Dan berpegang pada keingintahuan, serta pengalaman mempelajari filsafat, -sehingga saya tidak terlalu sulit menerima perbedaan pemikiran- maka saya mulai pelan-pelan mengkaji mazhab ini.

Semuanya berawal dari Rasulullah SAW ketika pulang dari menjalankan ibadah haji beserta tidak kurang dari 120.000 pengikutnya (dalam riwayat lain disebutkan 70.000). Pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 H itu, ketika semua rombongan meninggalkan kota suci Makkah dan bermaksud pulang, tibalah mereka di sebuah sudut padang pasir yang bernama Juhfah, sebuah persimpangan yang memisahkan perjalanan dari satu karavan dari karavan lainnya. Namun sebelum keseluruhan rombongan betul-betul berpisah, Nabi akan menyampaikan semacam risalah, atau bisa dibilang pesan maha-penting. Akhirnya keseluruhan rombongan berkumpul di sekitar sebuah kolam air yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Inilah sepenggal pesan Nabi yang saya kutip dari buku Pesan Terakhir Nabi (SAW.): Terjemahan Lengkap Khotbah Nabi SAW. di Ghadir Khum (18 Dzulhijjah 10 H):

"... Ketahuilah - wahai umat manusia - sesungguhnya Allah telah menetapkannya (Ali) sebagai wali, pemimpin dan imam bagi kalian. Mematuhinya adalah wajib, baik bagi kalangan Muhajirin, Anshar, generasi-generasi yang baik yang datang setelahnya, orang-orang desa, kota, 'ajam (non-Arab), Arab, orang yang merdeka, hamba sahaya, kecil, besar, putih, hitam, dan bagi setiap orang yang menyatakan tauhid kepada Allah (SWT). Keputusan hukum yang diambilnya (Ali) adalah sah. Kata-katanya wajib didengar dan perintahnya wajib dipatuhi. Orang yang menentangnya akan terkutuk, yang mengikutinya akan memperoleh rahmat, dan yang mempercayainya adalah orang yang beriman ...
"

" ... Dan dari setiap ilmu yang kuketahui itu, telah kuajarkan pula secara rinci pada Imam orang-orang yang bertakwa ini. Sungguh tiada ilmu melainkan telah aku sampaikan kepada Ali, sang Imam yang agung ... "

" ... Wahai umat manusia, jangan kalian tersesat karena meninggalkannya; jangan kalian berpaling darinya; dan jangan kalian takabur karena menerima kepemimpinannya ... "


" ... Wahai umat manusia! Utamakanlah Ali, sebab dia adalah manusia yang paling utama setelahku, baik dari kalangan laki-laki ataupun perempuan ..."


Ali yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, anak dari paman Nabi yang bernama Abu Thalib, atau bisa dibilang Ali merupakan keponakan Nabi. Sedangkan tentang kebenaran dari khutbah di atas, Dhiya'-uddin Muqbili pernah berkata: "Seandainya kriteria keshahihan hadits al-Ghadir ini kita tolak, niscaya tidak satu pun hadis-hadis lain dapat kita kategorikan sahih." Adapun hadis diatas dilaporkan oleh 125 perawi, diantaranya sahabat Nabi seperti Abubakar bin Abi Qahafah, Umar bin al-Khattab, dan Uthman bin Affan. Bisa dibilang, merujuk pada jumlah perawi dan orang-orang yang menuliskan tentang hadis kejadian diatas, maka khutbah di Ghadir Kum bukanlah kejadian yang mengada-ada.

Singkat cerita, Nabi pun meninggal dunia, sekitar tiga bulan setelah haji tersebut. Bisa dibilang, khutbah Al-Ghadir merupakan pesan terakhir yang sifatnya massal dari Nabi. Setelah itu terjadilah semacam musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah, semacam tempat pertemuan tertutup, untuk merumuskan masa depan kepemimpinan kaum Muslimin sepeninggal Nabi. Kita, muslimin pada "umumnya", tahu bahwa setelah Nabi, yang naik sebagai pemimpin adalah Abu Bakar bin Abi Qahafah atau terkenal dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jika memang demikian, maka kejadian tersebut bertentangan dengan khutbah Nabi di Ghadir Kum yang mengisyaratkan Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya. Perbedaan cara pandang inilah yang membawa Islam terbelah menjadi dua kelompok besar: Ahlus Sunnah dan Syi'ah.

Ahlus Sunnah atau Sunni, adalah kelompok yang mengakui khulafaurasyidin, atau kepemimpinan pasca wafatnya Nabi adalah berturut-turut kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Uthman, dan lalu Ali. Mereka percaya bahwa kepemimpinan pasca Nabi diserahkan pada musyawarah diantara umatnya. Sedangkan Syi'ah, yang merupakan kependekan dari Syi'ah Ali atau berarti Pengikut Ali, adalah kelompok yang percaya bahwa Nabi mewariskan kepemimpinan pasca wafatnya beliau pada keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Secara lebih luas, dari buku berjudul Dahulukan Akhlak di atas Fikih, Syi'ah adalah kelompok yang memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Quran setelah Rasulullah wafat dipegang Ahlul Bait.

Lalu apa gerangan Ahlul Bait? Ahlul Bait yang diterjemahkan secara harfiah berarti People of The House atau Penghuni Rumah, merujuk pada keluarga dan keturunan Rasulullah. Kaum Sunni dan Syi'ah berbeda pendapat soal ini: Syi'ah berpegang bahwa Ahlul Bait berkisar lima yakni Muhammad sendiri, Ali bin Abi Thalib, putri Nabi, Fathimah Az-Zahra, serta cucu, Hasan dan Husain. Sedangkan dalam Sunni, Ahlul Bait ini luas cakupannya, tidak terbatas pada kelima nama tersebut, melainkan keluarga dalam arti yang lebih luas.

Kembali ke kepemimpinan, dengan naiknya Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah, sedangkan kaum Syi'ah berpegang pada hadits Ghadir Kum, maka cara pandang Sunni dan Syi'ah sangat berbeda terhadap para sahabat. Bagi kaum Syi'ah, bisa dibilang para sahabat ini melakukan perebutan kekuasaan, yang oleh Rasulullah sempat diramalkan dalam ucapan, "Setelah aku meninggal, akan timbul fitnah." Terlebih kaum Syi'ah percaya bahwa Nabi selalu meninggalkan petunjuk bagi umatnya, sekecil apapun, apalagi soal kepemimpinan. Beberapa kejadian juga memperkuat hal ini, misalnya ketika Nabi di ranjang menjelang wafatnya, ia meminta sahabatnya mengambilkan sesuatu untuk ditulisi pesan, kemungkinan semacam wasiat. Tapi kemudian Umar ibn Khattab berkata, "Sesungguhnya telah cukup Kitabullah (Al-Qur'an) diantara kami." Dalam versi Sunni, ucapan Umar ini menunjukkan kewibawaannya dan keimanannya terhadap Al-Qur'an. Tapi bagi Syi'ah, perbuatan Umar ini menghalangi pewasiatan Rasulullah yang sangat mungkin menghalangi para sahabat menuju kekuasaan. Efek dari sudut pandang yang berbeda tentang sahabat ini cukup masif. Syi'ah hanya memegang hadis dari Ahlul Bait, dan menolak hadis dari para sahabat. Pendek kata, Syi'ah lebih selektif dalam menerima hadis, mengecek jalur sanad secara lebih teliti, dan tidak mau dalam jalurnya terdapat orang yang tidak bisa dipercaya, Abu Hurairah misalnya, yang dianggap tidak masuk akal bisa meriwayatkan lima ribuan hadis sedangkan para sahabat saja hanya sekitar seribu kurang. Selain itu, Abu Hurairah juga dianggap dekat dengan Muawiyah, khalifah kelima Sunni yang mana anaknya, Yazid, dikenal dalam peristiwa Karbala karena membunuh Husain (cucu Nabi) dan segenap keluarganya.

----

Saya sesungguhnya belajar beberapa hal juga, tapi pengetahuan yang dipaparkan di atas adalah barangkali yang paling "aman" yang bisa saya bagi. Itupun, kalau boleh jujur, saya tuliskan dengan begadang dua malam dalam keadaan peluh keringat dan ketelitian yang lebay. Karena khawatir ada yang meleset dan menimbulkan salah paham yang merepotkan.

Yang mau saya beri catatan kecil sesungguhnya sederhana saja. Saya mau mengutip ucapan Paul Spoonley yang diambil dari buku Rasisme: Sejarah Singkat karya George M. Fredericksen, katanya, rasisme itu: " ... mencerminkan kemalasan orang Eropa untuk berpikir ketika menghadapi keragaman manusia dalam perjalanan ekspansi mereka." Ini saya mau kaitkan dengan fanatisme. Fanatisme juga semacam bentuk kemalasan dalam mengkaji yang liyan, yang berbeda dari kita. Saya juga punya fanatisme, terutama pada sepakbola. Jika saya memuja Italia, maka saya tak peduli lawan Italia kalah sampai 10-0 dan perasaan mereka hancur lebur. Saya tak mau peduli si pemain lawan punya istri-anak yang begitu sedih ayahnya dipecundangi dan maka itu anak-anaknya jadi diledek oleh teman-teman sekolahnya. Saya tak mau peduli bahwa lawan yang dikalahkan, pelatihnya sudah berpikir keras sampai tidak tidur, tidak makan, atau tidak beribadah. Ini bukti fanatisme: semacam pengerasan diri untuk menutupi kemalasan mengkaji.

Mengkaji tidak sama dengan mengikuti. Mengkaji tidak sama dengan menjadi bagian darinya. Jika membenci berlebihan adalah akibat dari pengkajian yang lemah, maka pengkajian yang lemah juga menyebabkan cinta yang berlebihan. Saya masih seorang Ahlus Sunnah, tapi saya sekarang ikut sedih jika Syi'ah dituduh rafidhah. Bagi saya, meskipun sempat kaget dengan beberapa fikih Syi'ah, tapi saya mencoba melihat hal tersebut dari jarak yang membuatnya terlihat indah. Sungguh perbedaan adalah rahmat. Sungguh jangan-jangan tidak ada yang namanya berbeda itu, yang ada cuma belum terbiasa. Atau fanatisme buta.

Comments

  1. ................................ *mikir*

    maklum pada dasarnya saya bukan seorang pemikir, ataupun yang baca buku tebal2

    namun.. telinga awak ta bisa ditutup mendengar berbagai informasi dari kehidupan sehari hari :)

    1 hal saja mungkin, menambahkan walau mungkin tidak sepenuhnya sejalan, hm.. kesemua mazhab besar, agama-agama langit, agama2 besar, memiliki jalan menuju kebenaran yang hakiki, namun, tiap2 jalan tersebut, kesulitan dan kerumitannya jelas berbeda :)

    jalan terdekat nampaknya awak lihat ada dalam tulisan bung syarif ini :) ketika Rasulullah SAWW adalah manusia terbaik seluruh alam, maka belajar pada keluarganya adalah hal tersingkat, mungkin lebih tepatnya, karena keluarga inti Rasulullah pun sudah diwarisi segalanya, seperti tertuang secara umum pada peristiwa Ghadir kum tersebut hehe :)





    aga' melompat, supaya sedikit misterius hehe :)

    sejak dunia diciptakan, gengsi nampaknya sangat berbahaya :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1