Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Lari dari Kenyataan


"Mereka kemari bukan untuk tidur, tapi untuk bangun."

- Kata Yusef pada Cobb dalam film Inception


Petikan dialog itu hendak menyebutkan bahwa bermimpi tidak sama dengan keadaan tak nyata, jangan-jangan mimpi itulah kenyataan yang sejati. Ide film Inception tentang "kenyataan mimpi" sungguh keren, tapi bukan isu yang baru sebetulnya, bahkan sangat purba. Kepurbaan itu bukan persis soal mimpinya, tapi soal bahwa banyak kaum mencari cara untuk menemukan "kenyataan"-nya.

Dalam mitologi Yunani, ada dua tokoh yang cukup rajin diangkat dalam kefilsafatan Barat, yakni Apollo dan Dionysus. Keduanya anak dari Zeus: Apollo, ia Dewa Matahari, simbol pengetahuan, pencerahan, rasionalitas, keteraturan, dan nilai-nilai kebudayaan. Dionysus, Dewa Anggur, simbol gairah, hasrat, irasionalitas, khaos, naturalisme, insting, serta absurditas. Keduanya sering dipersandingkan untuk menunjukkan semacam paradoks.

Meski demikian, Nietzsche menilai bahwa penyakit peradaban Barat salah satunya karena mereka terlalu Apollonian: terlalu mengagung-agungkan rasionalitas. Terlalu mempertanyakan air yang diminum adalah berasal dari mana, untuk apa, efeknya bagaimana. Padahal yang lebih penting adalah merasakan gelegak air tersebut kala mengalir di tenggorokan. Demikianlah bertindak ala Dyonisus. Mabuklah, dan dengan demikian sekat-sekat kehidupan tak lagi penting, karena realitas sejati cuma satu: merasa.

Apa yang dibayangkan oleh Nietzsche, -meski dalam kontroversi, termasuk ketika kasus sakit jiwa nya di sebelas tahun akhir hidupnya, ia tidak terlihat gembira seperti mabuknya Dyonisus- sesungguhnya memupus bagaimana Barat memandang realitas pasca Descartes. Descartes dengan cogito ergo sum nya, mencoba memilah dengan tegas bahwa realitas, yang nyata, yang ada, adalah kondisi ketika aku bisa berpikir. Maka itu mustahil itu terjadi kala aku dikuasai iblis. Kala aku bermimpi. Sejak era Cartesian, Barat semakin menegaskan mana yang riil, termasuk Hegel dengan seeing is believing nya, atau Kant dengan noumena dan fenomena nya.

Jauh di Persia sana, enam ratus tahun sebelum Nietzsche, terdapati seorang bernama Jalaluddin Rumi. Ia muslim taat, melaksanakan ritual seperti umumnya. Namun sejak bertemu Syamsyi Tabriz, seorang pria yang kelak memberikan pencerahan bagi Rumi, ia melihat dunia tak lagi sama. Apa yang nampak sesungguhnya cuma permukaan, kepalsuan, dan jangan-jangan cuma mimpi. Apa yang sesunggguhnya nyata ada di baliknya, apa yang sesungguhnya realitas, dapat digapai setelah kita mati, atau bisa saat masih hidup, tapi lewat proses perenungan dan transendensi yang kuat. Maka itulah Rumi menciptakan tarian The Whirling Dervish atau Mevlevi Sema Ceremony, terinspirasi dari Abu Bakar Ash Shiddiq yang menari kegirangan setelah mendengarkan salah satu sabda Rasulullah. Tarian berputar tersebut, adalah cara Rumi untuk mencapai kenyataan dibalik permukaan duniawi. Ia mengalami transendensi, tak sadar, dan menemukan realitas sejati, seperti dalam sajaknya:

Seperti gelombang di atas putaran kepalaku
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya

Jauh sebelum tarian sufi Rumi, dan pastinya lebih jauh sebelum era psychedelic-Art yang melanda AS, kebudayaan pra-sejarah Kaspian serta Mesoamerika telah menggunakan jamur jenis tertentu untuk kepentingan spiritual. Mereka biasa mencari hakikat realitas tidak cuma di alam indrawi ini, tapi juga di "balik sana". Dan ah, sesungguhnya masih banyak contohnya, dari dulu hingga kini, manusia masih sama-sama mencari realitas kesejatiannya. Agama-agama banyak menawarkan ide bahwa kenyataan sesungguhnya bukanlah yang kau tinggali disini. Mereka ada disana, di balik semua ini, dan cara mencapainya adalah dengan beribadah. Tapi beribadah, bagi sebagian orang masih belum cukup juga untuk "melihat" apa yang di balik sana. Butuh lebih dari ibadah, untuk melompat kepada kenyataan sejati. Ibadah berkaitan dengan ritual, sedangkan mencapai kenyataan sejati adalah petualangan pribadi yang kadang-kadang tampak konyol jika dimassalkan.

Lewat tulisan ini saya bukan mau bilang: bermimpilah, karena itu kenyataan sejati. Atau jangan percaya realitas yang kau lihat, karena itu cuma mimpi. Tidak, tidak, saya tidak dalam kapasitas itu. Tapi sekedar mengingatkan, bahwa jangan-jangan pemilahan mimpi dan kenyataan adalah murni persoalan bahasa. Sejatinya, mimpi dan kenyataan tak ada bedanya, keduanya satu seperti kondisi ketika setiap manusia dimabuk anggur. Karena sudah sejak pra-sejarah, sudah lumrah manusia mencari kenyataan dari balik apa yang nampak.

Memang iya jika kemudian, terutama manusia sekarang, rajin berkoar soal realita, berkonsentrasi untuk menghadapi kenyataan sejati. Dengan sesumbarnya mereka bilang, "Hadapi kenyataan, Man, jangan lari." Namun bolehlah kuimajinasikan Tuhan sedang tertawa di atas sana sambil berkata, "Man, sesungguhnya kalianlah yang sedang lari dari kenyataan."



Bandung, 30 September 2010, 01:59. Sambil nonton Valencia vs MU. Semoga kau kalah, MU.

Comments

  1. Menarik sekali tulisannya, Rif. Gue setuju dengan kadang itu menuju tempat itu, ibadah enggak cukup. Mungkin gue juga perlu berputar-putar dulu atau headbanging sekalian.

    ReplyDelete
  2. @Nia: Hahahaha.. iya2, lagi merajut link lagi nih.. tapi itu benda yang sangat penting, untuk mencapai transendensi hehehe..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1