Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Kisah Seorang Sufi Bernama Amab


Saya sekeluarga punya semacam tukang pijit terpercaya. Ia datang tak tentu, tergantung panggilan. Tukang pijit ini usianya masih cukup muda, barangkali 24 atau 25, namanya Amab (atau Amap?). Pijitannya boleh dibilang tak sejenis refleksi di pinggir jalan yang cenderung relaksasif dan bikin ngantuk. Amab ini condong pada menyakiti dan bikin kita terjaga selalu akibat kesakitan. Tapi sesudah pemijitan, efeknya lebih terasa. Pegal-pegal hilang, tidur nyenyak, bangun tidur juga enak.

Konon teknik pijit Kang Amab tidak cuma mengandalkan pengetahuan akan titik-titik saraf manusia, tapi juga dimuati tenaga prana yang membuat ia bisa membagikan energinya pada pasien. Saya pribadi ketika dipijit tak pernah jatuh tertidur, tapi selalu menyempatkan untuk mengobrol. Katanya, untuk meraih kemampuan memijat sambil mengobati ini, ada dua pantangan serius dari gurunya. Satu, ia tak boleh bernafsu jika memijat wanita. Dua, ia dilarang memasang tarif atas jasanya ini. Tidak diberi uang tak apa-apa, diberi uang pun tak apa-apa.

Suatu hari ia datang tak cuma untuk memijat, tapi juga membagikan sebuah undangan: undangan pernikahan. Ia akan menikah tanggal 13 September di kampung halamannya, Garut. Topik pernikahan itu jadi tema yang menarik untuk diangkat ketika sesi pemijitan saya. Begini petikan dialognya yang diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia:

"Kang, gimana sih rasanya memijit tanpa ditarif?"
"Ya, biasa aja, kan niatnya mengobati."
"Pernah gak suatu ketika pulang jalan kaki, karena si pasien gak ngasih uang?"
"Lumayan sering hehehe."
"Terus gimana, sengsara atuh, Kang?"
"Ya gak juga kalau ikhlas mah. Yang menawari saya untuk mengelola panti pijat juga ada. Tergantung orangnya itu mah."
"Oh, Kang, kan mau nikah tuh. Ganti profesi gak?"
"Kenapa harus ganti profesi?"
"Kan istri perlu makan, perlu uang."
"Tukang pijit juga bisa, malah saya mau mendalami ilmu batinnya lagi. Sekarang ini kan baru dhahir (fisik -red)."
"Oh gitu, tapi pasti tertarik masang tarif kan ntar mah kalau udah nikah?"
"Gak tuh."

Saya agak terbangun dari pijitan.

"Seriusan Kang?"
"Iya, emang kenapa?"
"Kan, nanti ada kebutuhan, ada makanan, ada uang sekolah anak. Bukannya mesti ada perencanaan keuangan tuh?"
"Iya, tapi kan rejeki bukan dari manusia."

Kau mesti ada disana untuk melihat sendiri bagaimana ia mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia mengucapkannya dengan ketenangan yang menakjubkan, dengan binaran mata yang sulit terkatakan. Membuat saya merasa diskusi selesai, tak perlu ada yang ditanyakan lagi.

Ini semakin membawa renungan saya pada kenyataan: Kang Amab, si tukang pijit itu seolah menampik dengan lembut tapi yakin, dasar-dasar pelajaran ekonomi kita semasa sekolah, bahwa prinsip ekonomi adalah membuat untung sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. Bahwa motif ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terbatas sedangkan alat pemenuhan kebutuhan terbatas. Ia secara sufistik mematahkannya dengan santai: modal bukan dari manusia, pun untung. Sedangkan kebutuhan manusia hakikatnya tak terbatas, tapi batin bisa menyebut "cukup" untuk membendung semuanya.

Dulu, saya yakin ini prinsip fatalisme yang membosankan. Ini yang ditakutkan Marx sebagai candu yang membuat masyarakat enggan maju. Tapi perlahan keyakinan saya meluntur, seiring dengan semakin banyaknya melihat prinsip "fatalis" yang ternyata menebar rona wajah bahagia. Seiring pula dengan semakin banyaknya melihat orang yang memegang prinsip ekonomi umum yang teguh, ternyata malah membuahkan keluhan dan ocehan tentang hidupnya yang serba kekurangan. Ada kawan yang merasa hidupnya terancam karena gajinya yang sepuluh juta membuat ia tak bisa berbelanja sepatu favoritnya. Ada orang yang begitu gelisah melihat tetangganya beli mobil, membangun rumah, lantas ia minder dan kecewa karena mata pencahariannya tak bisa mengonsumsi hal yang serupa.

Seluruh cerita nabi dan orang bijak, adalah seringkali tentang bagaimana ia menyikapi dunia. Dan kebanyakan sikap yang diambilnya, adalah cenderung mengambil jarak, karena banyak yang berpikir bahwa dunia adalah tipu-tipuan belaka. Kita semua tahu kisah Siddharta Gautama, anak raja yang kabur dari gelimang kemewahan istana, lantas hidup miskin papa di hutan-hutan agar mengetahui hakekat alam semesta. Atau Salman Al-Farisi, sahabat Rasulullah asal Persia, yang bahkan di rumahnya ia tak bisa selonjoran saking sempitnya. Kala ditanya, alasannya ialah, "Saya khawatir saya menjadi cinta dunia jika rumah ini besar." Atau seorang sufi, Jalaluddin Rumi, pasca bertemu gurunya, Shams Tabriz, ia langsung menjauhkan diri dari hiruk pikuk dan menyatakan bahwa yang bisa dirasakan indra sesungguhnya cuma permukaan saja. Pun Yesus Kristus, saya rasa penerimaan tulus dia atas siksaan dan penyaliban, adalah bukti bahwa tubuh ini tak ada artinya. Tubuh ini adalah simbol penghubung dengan dunia yang memuat pemenuhan hasrat tiada habisnya. Maka cambuk dan siksalah karena tubuh adalah dosa.

Jadilah Kang Amab menambah satu lagi daftar sufi yang saya ketahui. Mereka yang tubuhnya menancap pada dunia, tapi ruhnya melayang mencari esensi Ilahiah semesta.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k