Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Kisah Seorang Sufi Bernama Amab


Saya sekeluarga punya semacam tukang pijit terpercaya. Ia datang tak tentu, tergantung panggilan. Tukang pijit ini usianya masih cukup muda, barangkali 24 atau 25, namanya Amab (atau Amap?). Pijitannya boleh dibilang tak sejenis refleksi di pinggir jalan yang cenderung relaksasif dan bikin ngantuk. Amab ini condong pada menyakiti dan bikin kita terjaga selalu akibat kesakitan. Tapi sesudah pemijitan, efeknya lebih terasa. Pegal-pegal hilang, tidur nyenyak, bangun tidur juga enak.

Konon teknik pijit Kang Amab tidak cuma mengandalkan pengetahuan akan titik-titik saraf manusia, tapi juga dimuati tenaga prana yang membuat ia bisa membagikan energinya pada pasien. Saya pribadi ketika dipijit tak pernah jatuh tertidur, tapi selalu menyempatkan untuk mengobrol. Katanya, untuk meraih kemampuan memijat sambil mengobati ini, ada dua pantangan serius dari gurunya. Satu, ia tak boleh bernafsu jika memijat wanita. Dua, ia dilarang memasang tarif atas jasanya ini. Tidak diberi uang tak apa-apa, diberi uang pun tak apa-apa.

Suatu hari ia datang tak cuma untuk memijat, tapi juga membagikan sebuah undangan: undangan pernikahan. Ia akan menikah tanggal 13 September di kampung halamannya, Garut. Topik pernikahan itu jadi tema yang menarik untuk diangkat ketika sesi pemijitan saya. Begini petikan dialognya yang diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia:

"Kang, gimana sih rasanya memijit tanpa ditarif?"
"Ya, biasa aja, kan niatnya mengobati."
"Pernah gak suatu ketika pulang jalan kaki, karena si pasien gak ngasih uang?"
"Lumayan sering hehehe."
"Terus gimana, sengsara atuh, Kang?"
"Ya gak juga kalau ikhlas mah. Yang menawari saya untuk mengelola panti pijat juga ada. Tergantung orangnya itu mah."
"Oh, Kang, kan mau nikah tuh. Ganti profesi gak?"
"Kenapa harus ganti profesi?"
"Kan istri perlu makan, perlu uang."
"Tukang pijit juga bisa, malah saya mau mendalami ilmu batinnya lagi. Sekarang ini kan baru dhahir (fisik -red)."
"Oh gitu, tapi pasti tertarik masang tarif kan ntar mah kalau udah nikah?"
"Gak tuh."

Saya agak terbangun dari pijitan.

"Seriusan Kang?"
"Iya, emang kenapa?"
"Kan, nanti ada kebutuhan, ada makanan, ada uang sekolah anak. Bukannya mesti ada perencanaan keuangan tuh?"
"Iya, tapi kan rejeki bukan dari manusia."

Kau mesti ada disana untuk melihat sendiri bagaimana ia mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia mengucapkannya dengan ketenangan yang menakjubkan, dengan binaran mata yang sulit terkatakan. Membuat saya merasa diskusi selesai, tak perlu ada yang ditanyakan lagi.

Ini semakin membawa renungan saya pada kenyataan: Kang Amab, si tukang pijit itu seolah menampik dengan lembut tapi yakin, dasar-dasar pelajaran ekonomi kita semasa sekolah, bahwa prinsip ekonomi adalah membuat untung sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. Bahwa motif ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terbatas sedangkan alat pemenuhan kebutuhan terbatas. Ia secara sufistik mematahkannya dengan santai: modal bukan dari manusia, pun untung. Sedangkan kebutuhan manusia hakikatnya tak terbatas, tapi batin bisa menyebut "cukup" untuk membendung semuanya.

Dulu, saya yakin ini prinsip fatalisme yang membosankan. Ini yang ditakutkan Marx sebagai candu yang membuat masyarakat enggan maju. Tapi perlahan keyakinan saya meluntur, seiring dengan semakin banyaknya melihat prinsip "fatalis" yang ternyata menebar rona wajah bahagia. Seiring pula dengan semakin banyaknya melihat orang yang memegang prinsip ekonomi umum yang teguh, ternyata malah membuahkan keluhan dan ocehan tentang hidupnya yang serba kekurangan. Ada kawan yang merasa hidupnya terancam karena gajinya yang sepuluh juta membuat ia tak bisa berbelanja sepatu favoritnya. Ada orang yang begitu gelisah melihat tetangganya beli mobil, membangun rumah, lantas ia minder dan kecewa karena mata pencahariannya tak bisa mengonsumsi hal yang serupa.

Seluruh cerita nabi dan orang bijak, adalah seringkali tentang bagaimana ia menyikapi dunia. Dan kebanyakan sikap yang diambilnya, adalah cenderung mengambil jarak, karena banyak yang berpikir bahwa dunia adalah tipu-tipuan belaka. Kita semua tahu kisah Siddharta Gautama, anak raja yang kabur dari gelimang kemewahan istana, lantas hidup miskin papa di hutan-hutan agar mengetahui hakekat alam semesta. Atau Salman Al-Farisi, sahabat Rasulullah asal Persia, yang bahkan di rumahnya ia tak bisa selonjoran saking sempitnya. Kala ditanya, alasannya ialah, "Saya khawatir saya menjadi cinta dunia jika rumah ini besar." Atau seorang sufi, Jalaluddin Rumi, pasca bertemu gurunya, Shams Tabriz, ia langsung menjauhkan diri dari hiruk pikuk dan menyatakan bahwa yang bisa dirasakan indra sesungguhnya cuma permukaan saja. Pun Yesus Kristus, saya rasa penerimaan tulus dia atas siksaan dan penyaliban, adalah bukti bahwa tubuh ini tak ada artinya. Tubuh ini adalah simbol penghubung dengan dunia yang memuat pemenuhan hasrat tiada habisnya. Maka cambuk dan siksalah karena tubuh adalah dosa.

Jadilah Kang Amab menambah satu lagi daftar sufi yang saya ketahui. Mereka yang tubuhnya menancap pada dunia, tapi ruhnya melayang mencari esensi Ilahiah semesta.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1