Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Mbah Maridjan

"Guru, apakah yang pertama kau lakukan jika memerintah sebuah negara?"

"Satu-satunya hal yang dilakukan adalah pembetulan nama-nama. Hendaknya seorang penguasa bersikap sebagai penguasa, seorang menteri bersikap sebagai seorang menteri, seorang bapak bersikap sebagai seorang bapak dan seorang anak bersikap sebagai seorang anak."
(Konfusius dari Analek 13:3)


Dihadapkan pada situasi posmodern sekarang ini, kalimat agung Konfusius di atas jelas saja dipertanyakan. Posmodern paling gemar rekonstruksi, dekonstruksi, serta menghancurkan sebuah bangunan konseptual, tanpa membangun apa-apa di atas puingnya. Sasaran gugatan tentu saja: Apa itu "sikap penguasa"? Apa itu "sikap seorang menteri"? Dan seterusnya. Tidakkah segala-galanya tak bisa didefinisikan sesaklek itu? demikian koar posmo.

Tapi Konfusius tak berpikir serumit itu. Bisa jadi ia dianggap kuno, bodoh, karena standar pemikiran Barat: Bahwa sesuatu yang masuk akal, adalah yang terjelaskan dengan kata-kata, explainable. Konfusius hanya menjelaskan banyak pemikirannya dengan takaran moral yang disebut jen (kata yang kemudian mati-matian ditafsirkan oleh banyak pemikir karena Konfusius sendiri tak pernah menjelaskan artinya). Dalam suatu situs, jen diartikan sebagai: human heartedness; goodness; benevolence, man-to-man-ness; what makes man distinctively human (that which gives human beings their humanity). Maka itu, jika ditanya, apakah yang dinamakan "sikap penguasa"? Konfusius kira-kira akan menjawab, ya mereka yang sesuai dengan jen.

Konfusius tidak asal bicara. Di masanya ia hidup, sekitar 500 tahun Sebelum Masehi. Situasinya kurang lebih sama dengan negara kita sekarang, carut marutnya. Ia kemudian merumuskan, bahwa keseluruhan penyebab kekacauan negara ini semua, adalah tidak betulnya nama-nama. Seorang menteri tidak bersikap seperti seorang menteri lagi. Karena nama, bagi Konfusius, menggambarkan identitas. Dalam nama, ada batasan bersikap dan jua tanggungjawab. Ketika sebagian besar individu tak lagi melakukan tindak-tanduk sesuai nama yang disematkannya, tunggu waktunya kehancuran terjadi.

Jauh, ribuan tahun pasca wafatnya Konfusius. Ada seorang sepuh bernama Mbah Maridjan. Jabatannya bukan guru besar seperti Konfusius dengan muridnya yang berlimpah serta ajaran yang diikuti sekaligus ditakuti penguasa. Mbah Maridjan posisinya juru kunci, yakni semacam penjaga tempat-tempat keramat. Tempat yang ia jaga adalah Gunung Merapi, sebuah gunung vulkanik aktif di kawasan Yogyakarta. Orangnya bersahaja, sederhana, dan taat pada apa-apa yang dititahkan Sultannya. Pengabdiannya tak main-main, ia menjabat juru kunci sejak tahun 1982, atau 28 tahun lamanya. Dan dalam masa tugasnya yang alamak itu, ia sering dipuji Sultan sebagai abdinya yang setia, dapat dipercaya, dan menunaikan tugas dengan baik. Satu-satunya "dosa" Mbah Maridjan barangkali ketika membintangi iklan extra joss beberapa tahun lalu. Toh, uang hasil iklan itu tetap ia gunakan untuk membangun masjid di desanya di lereng Gunung Merapi.

Sisanya, ia tetap harum dalam statusnya sebagai juru kunci Merapi. Ia tak melakukan tugas itu dengan merasa diri teralienasi. Beda dengan penduduk perkotaan yang kerja kantor tiga bulan saja kadang kesadarannya telah tertimbun rutinitas. Meski situasi Mbah Maridjan jauh lebih robotic, ia tak mengeluh. Ia gembira, besar hati, dan bertanggungjawab. Hal itu juga yang ia tunjukkan kala tempat keramat yang ia jaga, ternyata membebaskan dirinya dari tugas itu selama-lamanya. 27 Oktober 2010, Mbah Maridjan wafat, di tengah situasi genting letusan Gunung Merapi. Ia tidak turun gunung, bebal seperti biasanya: tak mau turun kecuali dipaksa tim SAR. Mbah tidak mencari heroisme buta, tidak mencari pengikut. Toh ia tetap meminta warga mengevakuasi diri, ikut pemerintah. Mbah sendiri tetap teguh, besar hati, dan tinggal. Jika memang dia juru kunci, tidakkah sesungguhnya ia tahu pertanda letusan itu jauh lebih awal? Entah lewat wangsit atau tanda-tanda alam. Tidakkah, jika ia mau, ia bisa saja mengungsi duluan, bahkan sebelum BMKG mencium sinyal bahaya?

Mbah bisa, tapi kenyataannya ia enggan. Sultan telah memintanya turun, demi keselamatan nyawa, sejenak meninggalkan tugas suci juru kuncinya, dan berlebur bersama manusia umumnya. Mbah bisa, tapi ia tak mau. Ia mengemban amanat, ia mengemban nama, baginya tak ada yang lebih mulia dari itu. Tak ada yang lebih mulia dari meninggal dalam keadaan pengabdian loyal, pada apapun yang ia percaya. Predikat mati konyol bukanlah kata miring yang akan masuk dalam telinganya. Mbah Maridjan merumuskan kematiannya adalah gembira: hanya jika ia secara hakiki melaksanakan tugas sesuai dengan nama yang disematkannya.

Meninggalnya Mbah adalah bukti simbolisme keheroikan "pembetulan nama-nama" Konfusianis. Hanya saja, satu Mbah Maridjan saja tak cukup untuk negeri ini. Tidak cuma juru kunci yang betul namanya, tapi juga presiden, anggota DPR, gubernur, walikota dan banyak lainnya. Ketika keseluruhannya telah melaksanakan tugas sesuai dengan nama yang disematkannya, maka selamatlah bangsa ini dalam versi Konfusius. Anggota DPR, terutama yang sedang pelesir ke Yunani, pastilah bertanya balik dengan angkuhnya, jika disodori buah pikir Konfusius ini, "Lah, saya sedang menjalankan tugas saya sebagai anggota dewan kok!"

Mereka barangkali betul, tapi mari kembalikan pada konsep jen: Adakah ia berperikemanusiaan? Adakah ia bersikap heartedness? Adakah ia dengan tegas mau membedakan dirinya dengan binatang lewat sikap-sikap manusiawinya?

Saya tak mau menjawabnya. Lebih baik marilah kita sama-sama mengangkat derajat heroisme Mbah. Mendoakan agar ia mendapatkan maqam yang baik di sisi Allah SWT. Sebaik-baiknya manusia adalah Muhammad SAW. Dan ciri derajat luhur Muhammad adalah dia tak pernah secuilpun melenceng dari amanah yang diembankan baginya. Muhammad adalah sebetul-sebetulnya nama yang disematkan baginya. Semoga kelak Mbah dapat diperjumpakan dengan Al-Mustafa.



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat