Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Puisi Substitusi


Ada yang tak tergantikan oleh emoticon, yakni lesung pipit dan guratan wajah yang menua.

Ada yang tak tergantikan oleh mobil, yakni jalan kaki sambil meneriakkan sebaris kalimat dari Gibran, "Kura-kura bercerita lebih banyak tentang jalan daripada kancil!"

Ada yang tak tergantikan oleh SMS Lebaran, yakni perjuangan untuk berjumpa dan sekedar merasakan kulit tangan kala bersalaman.

Ada yang tak tergantikan oleh Playstation, yakni kesabaran untuk menantikan pergantian musim demi main layangan.

Ada yang tak tergantikan oleh E-book, yakni bau debu dari rak dan buku tua.

Ada yang tak tergantikan oleh marmer dan pendingin di antara bukit Safa dan Marwa, yakni perjuangan Siti Hajar demi anak-anaknya.

Ada yang tak tergantikan oleh telepon seluler, yakni perasaan deg-degan ketika dikunjungi tamu, tanpa lebih dulu menerima SMS, "Gue udah di depan."

Ada yang tak tergantikan oleh e-mail, yakni guratan tangan yang merepresentasikan perasaan, serta kesabaran menunggu pak pos membunyikan bel sepeda.

Ada yang tak tergantikan oleh televisi, yakni kebenaran yang tampak oleh mata kepala sendiri.

Ada yang tak tergantikan oleh Blackberry, yakni kehangatan duduk bersama di meja makan. Membicarakan apa yang baru saja terjadi di sekolah.

Ada yang tak tergantikan oleh McDonald, yakni nikmatnya menanti hidangan sambil berbincang, tanpa khawatir diteror waiting list.

Ada yang tak tergantikan oleh alat musik harpa sekalipun, yakni dinamika angin yang berhembus piano serta gelegar petir yang fortissimo.

Ada yang tak tergantikan oleh gedung pencakar langit, yakni rumah beratap jerami yang tak pernah khawatir oleh gempa.

Ada yang tak tergantikan oleh asuransi kesehatan, yakni perasaan orang gila yang tak pernah sakit meski memakan segala.

Ada yang tak tergantikan oleh Facebook, yakni mendalami pribadi manusia dari percakapan tatap muka. Bukan foto-foto dan profil yang sudah dipilih sedemikian eloknya.

Ada yang tak tergantikan oleh lampu, yakni kesabaran menanti matahari yang pasti akan terbit kembali.

Ada yang tak tergantikan oleh kamera, yakni usaha menggali kembali ingatan dan kenangan yang lebih hidup dan nyata karena tersimpan sejati di dalam hati.

Ada yang tak tergantikan oleh sekolah tinggi-tinggi, yakni kesadaran bahwa pengetahuan hakiki berasal dari pemaknaan pribadi.

Ada yang tak tergantikan oleh Sorabi Enhai, yakni hangatnya pembakaran sorabi di tengah tusukan angin subuh.

Ada yang tak tergantikan oleh tahu-tahu dengan pengawet, yakni Tahu Cibuntu di dalam panci yang baru diangkat langsung dihidangkan.

Ada yang tak tergantikan oleh Kangen Band dan Putri Ayu, yakni The Beatles, Led Zeppelin, Metallica, dan mereka-mereka yang mau berjuang demi pencitraannya sendiri.

Ada yang tak tergantikan oleh wahyu Ilahi pada Muhammad, yakni wahyu Ilahi pada seluruh manusia lewat tuturan semesta.

Ada yang tak tergantikan oleh bahasa, yakni kedalaman tatapan mata.



Udah ah, cape..

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat