Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Catatan Galau Seperempat Abad: Untuk KlabKlassik Tercinta

KlabKlassik akan berusia kelima tahun ini, tepatnya 9 Desember. Untuk itu, di usia seperempat abad ini, akan saya ucapkan terima kasih bagi tempat yang selalu membantu memanusiakan saya. KlabKlassik adalah komunitas terbuka yang siapapun boleh ikut. Ia non-profit, ia jauh dari komersil, dan Insya Allah segala uang yang masuk adalah untuk menghidupi perjalanan komunitas itu sendiri. Temanya memang musik klasik, tapi jika menggeluti komunitas ini lebih jauh, ternyata yang saya punguti justru jauh lebih kaya daripada itu.

KlabKlassik adalah tempat dimana saya menemukan diri saya sebagai manusia seutuhnya. Utuh dalam artian: Syarif yang tampil sebagai Syarif. Keseharian rutinitas yang cenderung materialistik sukses menjauhkan manusia dari totalitas dirinya sendiri. Waktu diukur dengan uang, keringat diukur dengan uang, bahkan tidur pun diukur dengan uang. Seketika kala kegiatan nongkrong bersama klab mau dengan tulus dijalani, ternyata ketahuan juga bahwa ada sesungguhnya dalam hidup ini, yang lebih berharga daripada uang. Yang lebih berharga dari waktu. Yang lebih berharga dari tidur. Yang, bisa dibilang, ternyata tak seluruhnya hal mesti "penting". "Bersiul itu pun tidak penting, tapi toh menyenangkan," demikian kata Goenawan Mohamad.

Isi kegiatan klab, jika mau objektif, tak lebih dari sekedar hura-hura. Kami berbincang, membahas, ketawa-ketiwi, kadang berbau analitik-akademis yang serius tapi diseringi candaan. Tak pernah ada satu kurikulum atau aturan yang terlampau berat mengikat. Jam berkumpul pun sangat lentur dan tidak ada pengumuman yang sifatnya menekan. Semua datang seenaknya, dan tak ada yang disetrap karena keterlambatan. Barangkali yang beginilah, yang menjaga kemanusiaan manusia. Bahwa pada dasarnya manusia memang bisa dan harus diikat oleh sesuatu (jam kerja, jam tidur, norma-norma). Tapi ada kalanya ia dilepaskan seenaknya, mempunyai momen dimana tali kekang tak mengendalikannya. Di klab jua ada norma, tapi sebatas bahwa kita menjaga perasaan sesama. Tak saling menghina, tak saling menghujat, itu adalah harus dijunjung dimanapun berada. Namun sisanya kau adalah manusia yang menghirup kebebasannya barang sejenak saja dari seminggu yang penat.

Saya pernah ditanya, "Apa bedanya mendapatkan ilmu di klab dengan di kelas-kelas?" Lalu dijawab, "Di kelas, gurumu membawa 'lima', dan kau adalah 'nol'. Selesai belajar, kau membawa pulang 'lima'. Sedang di klab, andaikata ada lima orang, kita masing-masing membawa 'satu', dan 'satu' itu dibagi-bagikan sehingga masing-masing bisa sama-sama membawa 'lima'." Artinya apa, belajar di kelas dan nongkrong di klab, barangkali punya kadar ilmu yang setara. Hanya saja prosesnya berbeda. Di kelas kau akan dapati situasi dimana si guru dalam posisi serba-tahu yang harus kau patuhi. Sedang di klab kau dalam posisi memberi dan menerima yang sejajar dengan lainnya. Yang menentukan seberapa banyak pengetahuan yang kau dapat, adalah tentang seberapa banyak kau mau membuka telingamu untuk mendengarkan.

Secara spesifik, akan saya sebut beberapa contoh kepribadian yang telah memperkaya saya di klab. Yang telah sangat-sangat membantu saya menyadarkan bahwa dunia ini beragam adanya, keinginan untuk menyatukan dunia dalam satu konsep adalah konyol dan utopis belaka.
  • Tidak akan saya temukan di tempat lain kecuali di klab, orang yang mau hadir jauh-jauh dari Subang, hanya untuk duduk bersama kami ketawa-ketiwi belaka. Konon ia mengaku mau datang karena mendapatkan ilmu di tempat ini, tapi kenyataannya, kamilah yang mendapat pengajaran darinya, bahwa: jarak bukan alasanmu untuk malas mencari ilmu.
  • Tidak akan jua saya temukan di tempat lain kecuali di klab, orang yang menyadarkan bahwa klab bukan sekedar proyek duniawi belaka. Ia harus bersinggungan dengan situasi-situasi transenden yang menyejukkan. Seperti sedekah, silaturahmi, perbaikan akhlak, dan peduli sesama. Ketika konser-konser mulai padat, acara komunitas terlampau bikin stres, maka ada yang senantiasa mengingatkan, "Pada akhirnya, ujung segalanya adalah bagaimana kau menghargai orang lain sebagai manusia. Bukan kepentingan-kepentingan semu semata."
  • Tidak akan jua saya temukan di tempat lain kecuali di klab, orang yang mau berjuang, dari tadinya bicara pun malu-malu, sekarang sudah mampu merealisasikan dirinya dalam performa klasik yang menuntut keberanian. Yang membuat saya sadar, sesungguhnya jika kau tak bisa dikenang Guiness Book of World Records, atau Wikipedia, atau koran-koran lokal, maka kau sesungguhnya bisa cukup dikenang di hati seorang manusia. Cukup satu, tapi berarti selama-lamanya.
  • Tidak akan jua saya temukan di tempat lain kecuali di klab, seorang akademisi yang begitu cinta mati akan pengetahuan. Deklarasinya berani, bahwa ia tak akan mengambil sepeser pun dari ilmu yang ia bagikan. Ia percaya bahwa ilmu yang bermanfaat adalah pahala tiada putusnya. Baginya, membagikan ilmu adalah mengobati kehausan batinnya sendiri. Untungnya kami cukup paham dengan kerapkali mentraktirmu kopi.
  • Tidak akan jua saya temukan di tempat lain kecuali di klab, kebersamaan yang tulus dalam suka dan terutama duka. Bahwa sahabat sejati bukan ia yang ada ketika kita bahagia dan jaya, tapi juga kala butuh dan jatuh. Ukuran-ukuran hubungan bukan lagi berdasarkan acara-acara konser yang digelar periodik, tapi di luar itu kita rajin berjumpa. Membicarakan kehidupan, membicarakan cinta, membicarakan tuhan, kebenaran, atau apa-apa yang kau tak dapatkan dalam kehidupan praktis disana.
  • Tidak akan jua saya temukan di tempat lain kecuali di klab, kesan yang selalu tertinggal dimanapun ia berada. Ada di Amerika, ada di Italia, ada di Jakarta, ataupun sibuk entah kemana, bahwa selamanya mereka dengan pancaran cintanya, turut membesarkan klab dari kejauhan. Semoga pancaran cinta klab pun sampai pada kalian yang sudah berjauhan. Insya Allah.
Masih banyak lagi keunikan yang mustahil terspesifikasikan. Ini belum termasuk para punggawa yang bersama-sama menanggung duka komunitas ini dengan gembira. Sesungguhnya cita-cita saya kali ini sederhana saja: Bahwa KlabKlassik seyogianya adalah rumah bagi mereka yang mau berteduh. Dan sebaik-baiknya rumah, bagi saya, adalah tempat dimana kau bisa berteriak seenaknya, menjadi dan menjadilah dirimu sendiri. Ketika penghuni rumah yang lain terganggu, tinggal minta maaf dan kalian bisa bergurau kembali.

Terima kasih KlabKlassik.



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1