Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Berkurban dan Mengatasi Tubuh


"Para pendiri agama dunia menyepikan diri, menjadi manusia soliter, mengambil jarak dari desakan 'daging', merenungkan kebenaran (arya satyani) dan 'jalan' (dharma, Tao, Din)." (Sepenggal paragraf dalam handout di ECF Filsafat oleh Alois Agus Nugroho)

Dalam Al-Qur'an, ada beberapa ayat yang menerangkan tentang kurban, diantaranya Al-Kautsar ayat 2, Al-Hajj ayat 27-28, 34 dan 36. Meski secara syar'i sudah jelas hukumnya, lalu secara praktis juga sudah jelas gunanya (yakni agar kaum dhuafa bisa merasakan daging yang mungkin bagi mereka langka), namun semoga Allah tidak marah jika ayat-ayatnya diinterpretasi ulang secara filosofis. Karena demikianlah nalar menjadi berguna, dan memang ayat Al-Qur'an seolah membuka ruang interpretasi luas oleh sebab kemultitafsiran bahasanya.

Pertama, jika pendiri agama dunia menyepikan diri, soliter, dan mengambil jarak dari desakan 'daging', berarti ada sesuatu yang bermasalah dengan kebertubuhan manusia. Mari mundur sejenak, ke era dimana Plato mengemukakan buah pikirnya. Ia percaya soal dualisme, bahwa manusia ini terbagi atas tubuh dan ruh. Tubuh ini hidup di dunia bentuk (form) yang sifatnya sementara, berubah-ubah, dan tak lain merupakan cerminan dari dunia ideal (Plato menyebutnya sebagai dunia ide). Sedangkan ruh, ia ideal, pernah hidup di dunia ide dimana keseluruhan pengetahuan terungkap secara sejati. Ruh lahir ke dunia dibonceng oleh tubuh, dan maka itu ruh lupa segala-galanya dan memulai perjalanan "mengingat kembali" apa yang telah diajarkan di dunia ide. Maka itu, kata Plato, tidak ada pengetahuan yang betul-betul baru di dunia ini. Manusia sesungguhnya cuma mengingat kembali masa lalunya ketika mereka belum lahir ke dunia.

Artinya, Plato 'menyalahkan' tubuh sebagai biang keladi kealpaan ruh. "Tubuh adalah penjara ruh," demikian kata Plato. Apakah Plato satu-satunya orang yang menyalahkan tubuh? Tidak, masih banyak sesungguhnya. Beberapa dari kita ingat buku Da Vinci Code, dimana karakter Silas rajin memecuti tubuhnya hingga berdarah-darah. Semata-mata agar ia merasakan penderitaan Kristus dan menahbiskan bahwa tubuh adalah biang dosa. Kaum Syi'ah di beberapa tempat menyakiti dirinya agar jiwa serta batinnya ikut bersatu dengan penderitaan Imam Husain kala menjadi martir di tangan Yazid bin Muawiyah. Beberapa orang dari umat Buddha dan Hindu mempraktekkan meditasi agar mencapai moksha, yaitu lepas dari siklus abadi duniawi yang berlabel samsara atau kesengsaraan. Islam juga punya, yakni shalat dan berpuasa. Berpuasa ada pada hampir semua agama besar, tapi shalat adalah ciri umat Muslim. Mengapa shalat dianggap kegiatan 'menyalahkan' tubuh? Karena dalam shalat, tubuh diatur, didisiplinkan, dilatih, dan dikondisikan agar tidak bergerak mengikuti dorongan 'daging' semata. Pemimpin Islam di masa awal seperti Muhammad SAW, Salman Al-Farisi, atau Ali bin Abi Thalib mempraktekkan 'kemenangan' mereka atas tubuh dengan hidup zuhud atau sederhana. Kesemua kegiatan tersebut digolongkan sebagai asketisme. Yakni 'latihan' yang disasarankan pada tubuh, tapi bertujuan mencapai kepuasan ruh atau transendental.

Jika demikian adanya, maka tak terlalu sulit mengaitkan kurban dengan asketisme. Kurban adalah simbol tubuh, dan tubuh adalah sesuatu yang mesti ditundukkan. Islam, dalam hal ini, menjadikan asketisme tidak eksklusif milik para "petinggi agama". Asketisme menjadi hal dasar yang bisa dijalankan bersama-sama. Tidak perlu penghayatan sekelas Sufi atau Bhiksu, pemeluk agama yang "biasa-biasa saja" pun diperkenankan menundukkan tubuhnya. Dan baiknya Islam adalah (saya berkata subjektif, sebagai pemeluk Islam), ia tidak mengorbankan tubuh si empunya tubuh, melainkan mentransfer makna pada tubuh si kambing atau sapi. Merekalah simbol pengorbanan daging demi nilai-nilai spiritual. Yang seyogianya adalah contoh bagi kita, para manusia.

Wallahu A'lam.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1