Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Ultras dan Fundamentalisme

Kapten Genoa, Marco Rossi, mengumpulkan kaos rekan-rekan satu timnya yang diminta dilepas oleh Ultras.


 
Saya tidak pernah betul-betul memperhatikan gerak-gerik Ultras, sampai kemarin mendengar berita tentang pergerakannya di Stadion Luigi Ferraris, markas Genoa. Akibat tertinggal 0-4 dari Siena, Ultras mengamuk dan memaksa para pemain Genoa melepas kaosnya. Alasannya, mereka tak pantas memakai kaos tersebut setelah permainannya dicap terlalu buruk. Walhasil, satu per satu pemain mencopot kaosnya, beberapa diantaranya menangis karena merasa menyesal maupun terhina. 

Tifo. Karya khas dari Ultras.
 
Ultras dikategorikan sebagai kelompok pendukung sepakbola yang fanatik. Fanatiknya seperti apa, ada beberapa ciri. Selain akrab dengan barang bawaan seperti flare atau obor, mereka kerap membuat tifo, semacam rangkaian kertas yang dipegang oleh masing-masing suporter, tapi jika dilihat dari kejauhan bisa berupa gambar atau tulisan yang  besar. Tidak semua Ultras menggunakan kaos atau merchandise tim kesayangannya. Itu bukan hal yang paling esensial dari Ultras. Yang terpenting adalah semangat mendukung yang keras, bernyanyi sembilan puluh menit lamanya, memberi spirit agar tim kesayangannya memenangkan pertandingan. Satu ciri yang cukup penting lainnya dari Ultras, adalah posisi duduknya yang biasa di wilayah "lekuk" dari stadion atau biasa disebut curva.  

Sisi lekuk dari Stadion Olimpico yang ditempati Ultras klub Lazio. 

 
Fenomena Ultras tidak hanya terjadi di wilayah Eropa sebagai salah satu kiblat sepakbola. Di kiblat lainnya, Amerika Latin juga ada dengan nama Barra Brava. Lebih jauh lagi, Indonesia juga punya, Bandung juga punya. Sejatinya, hampir semua tim sepakbola punya pendukung fanatiknya yang paling keras. Kekerasan ini tentu saja mengandung dua sisi, yang pertama memberi semangat itu pasti. Namun sisi lainnya adalah yang kemudian dialami para pemain Genoa, Ultras mengambil kendali atas sepakbola itu sendiri. Tidak hanya memberi dukungan, Ultras kemudian merasa berhak menghakimi pemain dan mempermalukannya.

Perilaku ala Ultras bukanlah melulu ada di sepakbola, yang seperti ini terjadi dalam sendi kehidupan kita dimanapun itu. Selalu ada kelompok yang merespon perbedaan dengan cara membuatnya jadi satu, atau mengeliminasinya sekalian. Basis pemikiran ala Ultras bisa macam-macam: Boleh jadi akibat kecemasan, boleh jadi akibat romantisme masa silam, boleh jadi akibat ketidakpercayadirian dalam menyikapi perubahan. 

Agama tentu saja adalah contoh terbaik dimana sikap-sikap ala Ultras sering muncul. Kelompok macam itu biasa disebut para fundamentalis. Ini adalah kelompok yang berpegangan pada dahan pohon tua sementara arus kehidupan sudah sedemikian deras dan sulit lagi diikuti. Dahan pohon tua itu adalah romantisme masa silam. Melihat masa lalu sebagai hal yang paling ideal untuk dikonstruksi ulang di masa kini. Islam misalnya, kerap menyinggung zaman Nabi Muhammad sebagai era keemasan, ditambah lagi Era Abad Pertengahan dengan kegemilangan saintis macam Ibnu Sina, Al-Kindi dan Ibnu Rusyd. Seringnya, kelompok seperti ini menutup mata terhadap kecepatan dunia kontemporer yang "tak tertahankan lagi". Efeknya justru kontradiktif, mengkafirkan Barat dan Yahudi misalnya, tapi memakai produk-produknya. Ini adalah sebagaimana Ultras Genoa: Mendukung tapi kemudian mencela.

Sikap macam Ultras adalah sikap praktis dan seringkali politis. Yang terpenting adalah tujuannya tercapai, apa yang menghalangi tujuannya, dianggap mesti disingkirkan. Tim sepakbola dukungannya harus menang meskipun lawan tampil lebih bagus dan lebih layak menang. Dalam Ultras tidak ada objektivitas antara dua kubu, karena pendapatnya satu: Milik dirinya lebih baik dan harus paling layak untuk menang. Perbedaan adalah gangguan, atau merupakan sarana untuk ditaklukkan. Perbedaan bukan rahmat atau bahkan sesuatu yang bisa diambil manfaat. Bagi seorang Ultras, cederanya pemain lawan bisa jadi berkah, bukan melihatnya sebagai manusia yang tengah kesakitan. Pun demikian dalam agama, ketika kematian seseorang yang berbeda pendapat dianggap sebuah kebaikan!

Sikap Ultras agaknya menjadi bahaya ketika dialog tidak lagi mempan. Kasus yang saya alami sendiri ketika berdebat dengan seorang Ultras (agama), adalah ia tidak mau menerima kenyataan tentang konsep-konsepnya juga mempunyai kelemahan. Pendukung fanatik tersebut berpikir bahwa jika orang-orang tertentu yang memeluk agama Islam berbuat salah, maka kesalahan itu ada pada orangnya, bukan konsep agamanya. Sebaliknya, ia menuduh bahwa jika orang Kristiani berbuat kesalahan, maka itu adalah akibat konsep agamanya, bukan orangnya. Sama seperti: Barcelona dituduh curang karena gol Abidal ke gawang Casillas adalah offside, tapi menolak mengakui bahwa gol Khedira ke gawang Victor Valdes adalah juga offside.

Namun ketika fenomena Ultras harus diakui terjadi di seluruh sendi-sendi kehidupan tak hanya agama, tapi juga filsafat, sains, dan seni, pada titik ini kita mesti berterimakasih pada sepakbola. Hanya dalam sepakbola, fenomena Ultras menyuguhkan tak hanya kekerasan, tapi juga spirit dan keindahan. Tuhan menciptakan sepakbola karena cuma dalam tempat itu fanatisme diperbolehkan.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me