Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Akhirnya Tercapai Juga ...

Sewaktu kecil, saya pernah membaca tentang Rene Descartes. Dengan pemahaman seadanya -waktu itu masih kelas 3 atau 4 SD- saya mengingat-ngingat jargon sang filsuf: Aku berpikir maka aku ada. Waktu itu saya coba merumuskan sendiri apa artinya kalimat aneh tersebut. Bapak mencoba menjelaskan tapi saya tidak kunjung paham. Meski demikian, ketertarikan akan Descartes adalah awal mula saya haus akan ilmu pengetahuan. Sejak itu saya membaca tumpukan ensiklopedia dan mengoleksi buku biografi para penemu seperti Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Alexander Graham Bell, Wright bersaudara hingga Margaret Mead.

Selalu ada anggapan umum bahwa "Belajar sesuatu itu ada waktunya". Ketika kawan-kawan sebaya mengoleksi lagu Bondan Prakoso dan Enno Lerian, saya dicekoki jazz, The Beatles, dan Michael Franks. Ketika kelas 4 SD -di waktu bebas setelah ujian- teman-teman rata-rata membawa Lego atau mobil-mobilan, saya membawa mikroskop. Semuanya hanya menunjukkan bahwa saya telah menyukai sesuatu yang "tidak pada waktunya". Di mata orang dewasa, saya hanyalah anak yang patut dikasihani karena tidak mengalami satu masa kecil yang penuh kewajaran.

Memang anggapan "belajar sesuatu itu ada waktunya" ada betulnya. Artinya, perangkat pemahaman kita akan berkembang seiring pertumbuhan fisik. Ketika perangkat pemahaman itu semakin lama semakin berkembang, kita akan sanggup memahami sesuatu yang makin kompleks. Namun di sisi lain, saya pun merasa bahwa kalaupun istilahnya bukan belajar, namun ada yang terserap pelan-pelan ke dalam tubuh. Hal yang demikian pun saya tidak merasa tepat menggolongkannya pada memori. Yang diyakini: Tubuh kita, seluruh tubuh kita mencerap dan menyimpan apa-apa yang pernah jadi asupan keseharian. Pada titik ini, apa yang saya cerap sejak kecil tidak terbuang begitu saja seperti buang gas. Kesemuanya mengkristal, membatin, mengendap dan "bersiap untuk dipanggil kapanpun mereka siap".

Akhirnya tercapai juga ... satu cita-cita yang saya incar sejak kecil dulu sebagai bentuk eksternalisasi apa yang sudah dicerap. Cita-cita itu hadir melalui kesempatan yang diberikan oleh Kang Zainal Abidin di kelas pengantar filsafat. Di Fakultas Psikologi tersebut, saya diberi kepercayaan untuk mengajar delapan puluh mahasiswa selama kurang lebih satu jam lima puluh menit. Saya berbagi materi tentang para filsuf alam, Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan gaya yang pernah saya impikan dulu: Memegang mikrofon, mengacungkan telunjuk sesekali, dan dengan sepenuh hati "mengikhtiarkan kebenaran". Pada titik ini, tubuh yang sudah pernah diisi oleh pelbagai pengalaman masa kecil menggeliat dan mengeluarkan sari-sari pengetahuan dengan sangat indah. 

Kamis ini adalah masa yang berharga. Kenapa? Karena saya mengajar materi yang pernah saya kenali sekitar lima belas tahun lalu: Tentang Descartes dan Cogito ergo sum-nya yang fenomenal. Kegembiraan ini bukan hanya sebatas cita-cita yang akhirnya tercapai. Tapi di dalamnya juga terselip doa: Ya Tuhanku, semoga aku termasuk ke dalam orang-orang yang selalu bergairah; menghadapi segala sesuatu seolah-olah untuk pertama kalinya. Melihat daun seolah-olah untuk pertama kali aku melihat daun. Mencium istri seolah-olah untuk pertama kali aku menjalankan ciuman pertama di kala remaja. Karena dunia ini sesungguhnya selalu baru. Setiap saatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat