Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Untuk Andika Budiman: The Medium is The Message

Malam itu, orangtua tiba-tiba berkata sesuatu tentang kartupos. Katanya, "Ada kartupos untuk kamu dan Dega." 

Istri saya mendapatkan kartupos dari kawannya, orang Prancis, yang sedang berlibur di Turki. Sedangkan saya sendiri? Ada kartupos, tapi bukan dari seseorang nun jauh disana. Yang mengirimkannya adalah orang Bandung juga. Namun yang demikian justru membuatnya tambah spesial. Hari ini ada banyak cara untuk menyampaikan pesan baik lewat SMS, Facebook, Twitter, E-mail ataupun telepon. Tapi orang yang secara geografis sangat dekat untuk kemudian "mempersulit diri" dengan berkomunikasi via sesuatu yang sudah "tidak musim" dan perlu perjuangan menulis dengan tangan, adalah hal yang mengharukan.


Isinya sendiri -seperti yang semoga terbaca dari gambar di atas- adalah semacam apresiasi dari konser musik klasik yang diselenggarakan tanggal 6 Oktober kemarin di Auditorium IFI-Bandung. Selain sedikit mengomentari performance, tulisan di atas juga bercerita tentang kesan si penulis terhadap Ibu Lusi. Siapakah Ibu Lusi? Beliau adalah orang yang bekerja di IFI selama sepuluh tahun, yang kebetulan konser kemarin bertepatan dengan hari pensiunnya. Konser tersebut, yang salah satu pengisi acaranya adalah anak tunggalnya, menjadi momen sangat spesial bagi Ibu Lusi. Karena selain berbarengan dengan hari pensiun, hari itu juga adalah ulangtahunnya. Kata si penulis, "Kesan saya pada beliau: Orangnya tidak suka basa-basi, efisien, dan sedikit mengintimidasi."


Penulis, adalah seorang kawan, namanya Andika Budiman. Ia rajin bergerak, namun dalam diam. Saya menjulukinya apresiator jempolan karena tidak pernah secara vulgar mendatangi penampil dalam konser untuk bicara secara blak-blakan. Namun jika ditanya pada situasi yang lebih pribadi, ia akan sanggup mengomentari konser tersebut dengan jernih sekaligus tajam. Seringkali memang ada apresiator yang gatal untuk berkomentar tanpa diminta, agar mungkin ia kelihatan pintar karena sudah melontarkan kritik.

Apa yang ditulis oleh Andika, mengharukan bukan hanya disebabkan oleh apresiasinya. Namun media yang dipilihnya untuk menyampaikan pesan. Rasanya sudah lumrah, atas nama kepraktisan, orang berkirim pesan dengan apa saja yang ada di hadapannya: Kebetulan sedang main Twitter, inget si anu, kirimlah pesan lewat Twitter;  sedang main Facebook, ingin colek si anu, menyoleklah ia via wall. Namun ketika segala macam media canggih tersebut bertebaran di hadapannya, Andika memilih untuk menjauhi semua itu dan bersusah payah menulis tangan yang mungkin secara umum menjadi kegiatan nomor dua setelah mengetik. Inilah yang disebut Marshall McLuhan sebagai "the medium is the message". Konten di dalam kartu pos itu sendiri bisa dituliskan via media apapun dengan isi yang tidak berbeda sama sekali. Namun Andika memilih medium kartu pos, dan pilihannya tersebut bagi saya menjadi terasa emosional. Mustahil bagi saya untuk mengabaikan pilihan medium semacam ini ketika yang penting dari pengiriman pesan hari ini adalah soal kecepatan alih-alih sentimentalitasnya.

Terima kasih, Andika! 
Atas apresiasi, tulisan, dan kartuposnya yang begitu berarti!

Comments

  1. Kurang lebih dua minggu lalu saya dateng ke diskusi buku kumpulan cerpen yang saya suka, oleh penulis yang rupanya saya suka juga. Saya punya pertanyaan, tapi rupanya diskusi lebih berat membicarakan proses kreatif. Padahal saya ingin tahu soal tema (seperti biasa). Lalu, saya ciut mengajukan pertanyaan saat sesi diskusi. Ketika sesi tandatangan, saya menumpahkan semua pertanyaan saya pada giliran saya. Namun, karena tegang dan buru-buru (T.T) pertanyaan itu keluarnya seperti meracau ... Penulis hanya menjawab dengan senyum. (!) Lalu beralih ke peminta tanda tangan selanjutnya. Karena penasaran, saya tempel terus dia. (!!) Sampai dia kelihatan tidak nyaman dan saya pun mundur teratur.

    Sebetulnya banyak contoh lain di mana saya mengemukakan pendapat tanpa diminta. Hehehe.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1