Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge-scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget. Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat. 
 
Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kita, pada akhirnya, hanya punya diri kita, untuk dirangkul, untuk diajak bicara. Kesendirian bukan perkara ada teman atau tidak, kesendirian adalah perkara diri yang sunyi di tengah keriuhan, atau malah: diri yang riuh di tengah kesunyian. Yang pasti, kesendirian bukanlah apa yang selama ini kulakukan: kemana-mana sendiri, tapi tak pernah merasa nyaman, sehingga senantiasa memerlukan distraksi. 
 
Sebagai contoh, aku suka membaca berlama-lama, tapi pertama, tak pernah terus-terusan fokus pada bacaan tersebut, pasti perlu "gangguan" sebentar-sebentar. Kedua, aku baru sadar, tak sepenuhnya aku membaca demi kenikmatan membaca itu sendiri. Membaca palingan karena diundang jadi pembicara, atau perlu untuk menulis sesuatu, atau dipamerkan lewat Twitter/ X. Aku tak bisa menghayati membaca sebagai dialog sunyi dengan diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa seperti itu, dan hal ini baru aku sadari belakangan-belakangan ini, kala hidup benar-benar sendiri, yang tak ada jalan lain kecuali menikmatinya. Menikmatinya ini bukan dengan cara mencari-cari hiburan atau kesibukan yang dibuat-buat, melainkan dengan cara menghayatinya, membuat diri menjadi nyaman. 
 
Selama ini, aku selalu takut akan kesendirian. Padahal kesendirian adalah fondasi eksistensi kita: lahir sendiri, mati sendiri. Bahkan sepanjang hidup pun, pada hakikatnya, kita sendirian. Meski di sekeliling ada banyak teman, keluarga, mahasiswa, atau pengikut media sosial, mereka tak akan benar-benar menyelamatkan kita jika kita tertimpa kesulitan. Iya mereka bisa saja membantu kita, tapi mereka akan memikirkan keselamatan dirinya dulu, mereka pun ada diri sendiri yang mesti dijaga, baru setelah itu, mereka akan mulai memikirkan orang lain (itupun sembari memikirkan apa untungnya orang lain tersebut bagi diri mereka). Jika memang hal demikian begitu alamiah dianut oleh setiap orang, kenapa kita tidak mendahulukan diri kita sendiri juga? 
 
Kesendirian juga adalah semacam momen-momen berbincang dengan apalah itu namanya Tuhan. Aku baru sadari, dalam kesendirian, kita lebih dekat dengan "hati", dan konon dalam "hati" itulah bersemayam sang ilahi. Tapi Tuhan sekaligus tahu, manusia takut sendiri, maka dibuatlah suruhan untuk berkumpul dalam sebuah jemaah, mengarahkan sesembahan pada sesuatu yang "di luar", supaya mudah bagi manusia, yang enggan menenggelamkan diri pada yang sunyi. Begitu baiknya Tuhan, sampai-sampai mengizinkan manusia untuk mencari Dia dalam keriuhan, padahal Dia juga ada dalam kesunyian. Dalam kesendirian, doa senantiasa kupanjatkan: Tuhan yang sunyi, tak perlu sering berkata-kata. Berilah aku pengertian. Berilah aku pengertian.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me