Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Rasionalitas dan Teknologi



 
Kemarin saya dikejutkan oleh berita tentang anak bungsunya musisi pop Ahmad Dhani, Abdul Qadir Jaelani alias Dul, yang membuat tewas lima orang akibat mobil yang dikendarainya di jalan tol. Yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa Dul masih berusia tiga belas tahun atau jauh di bawah syarat untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM).

Kita tidak akan membicarakan soal bagaimana tanggungjawab Ahmad Dhani soal ini. Kita bisa lebih jauh menyalahkan teknologi yang pada perkembangannya selalu mengandung dua sisi. Di satu sisi, ia membantu kehidupan manusia karena biasanya teknologi selalu mengandaikan ke-masuk-akal-an. Dalam arti kata lain, ketika teknologi diciptakan, tentunya ia sebisa mungkin dapat diakses orang sebanyak-banyaknya dan semudah-mudahnya -Itu sebabnya mengapa gadget masa kini seolah tidak mempunyai batas usia. Karena bagi anak-anak, gadget itu masuk akal untuk mereka mainkan-. Di sisi lain, ke-masuk-akal-an itu yang justru menjadi problem ketika penilaian-penilaian metafisis seperti "kesehatan jiwa", "kematangan berpikir", "penemuan jatidiri", dan hal-hal lain yang tak masuk akal dan tidak punya alat ukur objektif, dibuang jauh-jauh dari prasyarat pemakaian teknologi.

Mari kita ambil contoh dari teman saya yang sedang keranjingan buku The Secret dan menyebut ajarannya, yakni Law of Attraction, sebagai sesuatu yang sangat manjur. Ajaran Law of Attraction kira-kira berisi tentang bagaimana jika kita sungguh-sungguh memikirkan sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi -baik itu positif maupun negatif-. Sayangnya, dia (dan juga banyak orang lainnya) menggunakan prinsip Law of Attraction itu dengan cara yang sama seperti Dul menyetir mobil. Mereka menggunakannya sebagai alat yang kaku dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang non-rasional. Seperti kata teman saya itu, "Kalau kamu sakit, jangan dipikirin deh. Pikirin yang bagus-bagus saja agar sembuh." Mungkin hiburan semacam itu ada benarnya, tapi kita juga harus pertanyakan: Pikiran semacam apa yang bisa memberi dampak positif? Tentu saja berbeda antara pikiran seorang anak SD dengan pikiran seseorang yang sudah menjalani hidup 80 tahun dengan pengalaman segudang, meski sama-sama positif. Tentu saja berbeda antara pikiran orang yang sudah membaca seribu buku dengan macam-macam jenis dengan pikiran orang yang baru saja membaca The Secret

Kita bisa melihat teknologi di sekeliling kita hari ini sungguh mudah untuk digunakan: Motor, mobil, kulkas, latop, ponsel, televisi, LCD, dan sebagainya. Prasyaratnya hanyalah sebatas urusan asal secara fisik bisa terjangkau atau tidak. Keseluruhan teknologi itu sudah dibuat sedemikian rupa agar secara rasional bisa diterima dan digunakan secara praktis sejak usia dini. Buku-buku petunjuk tentang usia berapa seharusnya seseorang memakai benda-benda tersebut rasanya menjadi hal yang diabaikan dewasa ini. Kemudahan-kemudahan semacam itu secara otomatis meniadakan "teknologi-teknologi" purba yang sering dianggap punya efek membantu kehidupan manusia tapi tidak rasional seperti doa, sembahyang, telepati pikiran maupun perasaan, hingga pawang hujan. Mereka dianggap usang dan harus dibuang ke tong sampah karena semata-mata, "Tidak masuk akal, tidak bisa digunakan segala usia. Mungkin mereka yang bisa pun hanya mengada-ada saja."

Doa, sembahyang, dan lain-lain tersebut mungkin saja menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan jika dilakukan dalam penghayatan dan kematangan jiwa di fase tertentu yang barangkali tidak punya barometer objektifnya. Hal yang sama juga bisa kita tudingkan pada kenapa Dul bisa celaka padahal secara teknis ia sudah memenuhi syarat untuk menyetir. Ini bukan semata-mata soal usia -sesuatu yang sebenarnya masih sangat objektif dan rasional-, melainkan persoalan-persoalan metafisis yang sudah kita buang jauh-jauh konsepnya dari dunia kehidupan modern, yakni "kesehatan jiwa", "kematangan berpikir", dan "penemuan jatidiri".

Keseluruhan paparan di atas mungkin bisa dirangkum menjadi: Pepatah Timur mengatakan bahwa "Pohon tumbuh tidak tergesa-gesa." Barat kemudian memodifikasinya menjadi "Tapi kita bisa membuat pohon lebih cepat tumbuh dengan segala teknologi".

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me