Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Kemarin saya dikejutkan oleh berita tentang anak bungsunya musisi pop Ahmad Dhani, Abdul Qadir Jaelani alias Dul, yang membuat tewas lima orang akibat mobil yang dikendarainya di jalan tol. Yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa Dul masih berusia tiga belas tahun atau jauh di bawah syarat untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM).
Kita tidak akan membicarakan soal bagaimana tanggungjawab Ahmad Dhani soal ini. Kita bisa lebih jauh menyalahkan teknologi yang pada perkembangannya selalu mengandung dua sisi. Di satu sisi, ia membantu kehidupan manusia karena biasanya teknologi selalu mengandaikan ke-masuk-akal-an. Dalam arti kata lain, ketika teknologi diciptakan, tentunya ia sebisa mungkin dapat diakses orang sebanyak-banyaknya dan semudah-mudahnya -Itu sebabnya mengapa gadget masa kini seolah tidak mempunyai batas usia. Karena bagi anak-anak, gadget itu masuk akal untuk mereka mainkan-. Di sisi lain, ke-masuk-akal-an itu yang justru menjadi problem ketika penilaian-penilaian metafisis seperti "kesehatan jiwa", "kematangan berpikir", "penemuan jatidiri", dan hal-hal lain yang tak masuk akal dan tidak punya alat ukur objektif, dibuang jauh-jauh dari prasyarat pemakaian teknologi.
Mari kita ambil contoh dari teman saya yang sedang keranjingan buku The Secret dan menyebut ajarannya, yakni Law of Attraction, sebagai sesuatu yang sangat manjur. Ajaran Law of Attraction kira-kira berisi tentang bagaimana jika kita sungguh-sungguh memikirkan sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi -baik itu positif maupun negatif-. Sayangnya, dia (dan juga banyak orang lainnya) menggunakan prinsip Law of Attraction itu dengan cara yang sama seperti Dul menyetir mobil. Mereka menggunakannya sebagai alat yang kaku dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang non-rasional. Seperti kata teman saya itu, "Kalau kamu sakit, jangan dipikirin deh. Pikirin yang bagus-bagus saja agar sembuh." Mungkin hiburan semacam itu ada benarnya, tapi kita juga harus pertanyakan: Pikiran semacam apa yang bisa memberi dampak positif? Tentu saja berbeda antara pikiran seorang anak SD dengan pikiran seseorang yang sudah menjalani hidup 80 tahun dengan pengalaman segudang, meski sama-sama positif. Tentu saja berbeda antara pikiran orang yang sudah membaca seribu buku dengan macam-macam jenis dengan pikiran orang yang baru saja membaca The Secret.
Kita bisa melihat teknologi di sekeliling kita hari ini sungguh mudah untuk digunakan: Motor, mobil, kulkas, latop, ponsel, televisi, LCD, dan sebagainya. Prasyaratnya hanyalah sebatas urusan asal secara fisik bisa terjangkau atau tidak. Keseluruhan teknologi itu sudah dibuat sedemikian rupa agar secara rasional bisa diterima dan digunakan secara praktis sejak usia dini. Buku-buku petunjuk tentang usia berapa seharusnya seseorang memakai benda-benda tersebut rasanya menjadi hal yang diabaikan dewasa ini. Kemudahan-kemudahan semacam itu secara otomatis meniadakan "teknologi-teknologi" purba yang sering dianggap punya efek membantu kehidupan manusia tapi tidak rasional seperti doa, sembahyang, telepati pikiran maupun perasaan, hingga pawang hujan. Mereka dianggap usang dan harus dibuang ke tong sampah karena semata-mata, "Tidak masuk akal, tidak bisa digunakan segala usia. Mungkin mereka yang bisa pun hanya mengada-ada saja."
Doa, sembahyang, dan lain-lain tersebut mungkin saja menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan jika dilakukan dalam penghayatan dan kematangan jiwa di fase tertentu yang barangkali tidak punya barometer objektifnya. Hal yang sama juga bisa kita tudingkan pada kenapa Dul bisa celaka padahal secara teknis ia sudah memenuhi syarat untuk menyetir. Ini bukan semata-mata soal usia -sesuatu yang sebenarnya masih sangat objektif dan rasional-, melainkan persoalan-persoalan metafisis yang sudah kita buang jauh-jauh konsepnya dari dunia kehidupan modern, yakni "kesehatan jiwa", "kematangan berpikir", dan "penemuan jatidiri".
Keseluruhan paparan di atas mungkin bisa dirangkum menjadi: Pepatah Timur mengatakan bahwa "Pohon tumbuh tidak tergesa-gesa." Barat kemudian memodifikasinya menjadi "Tapi kita bisa membuat pohon lebih cepat tumbuh dengan segala teknologi".
Doa, sembahyang, dan lain-lain tersebut mungkin saja menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan jika dilakukan dalam penghayatan dan kematangan jiwa di fase tertentu yang barangkali tidak punya barometer objektifnya. Hal yang sama juga bisa kita tudingkan pada kenapa Dul bisa celaka padahal secara teknis ia sudah memenuhi syarat untuk menyetir. Ini bukan semata-mata soal usia -sesuatu yang sebenarnya masih sangat objektif dan rasional-, melainkan persoalan-persoalan metafisis yang sudah kita buang jauh-jauh konsepnya dari dunia kehidupan modern, yakni "kesehatan jiwa", "kematangan berpikir", dan "penemuan jatidiri".
Keseluruhan paparan di atas mungkin bisa dirangkum menjadi: Pepatah Timur mengatakan bahwa "Pohon tumbuh tidak tergesa-gesa." Barat kemudian memodifikasinya menjadi "Tapi kita bisa membuat pohon lebih cepat tumbuh dengan segala teknologi".
Comments
Post a Comment