Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Ketika kawan Erie Setiawan mengirimkan buku Imagi-Nation: Membuat Musik Biasa Jadi Luar Biasa dari Yogya, saya langsung menghabiskan buku setebal kurang lebih seratus halaman itu dalam sehari. Namun bukan ketipisan buku itu yang membuat saya sanggup membaca cepat. Entah oleh sebab sang penulis, Vince McDermott, atau kelihaian sang penerjemah, yang pasti kata-kata dalam buku ini amat renyah, lincah, dan sepertinya sudah dibuat sedemikian rupa agar tidak membuat pembaca ketakutan dengan topiknya.
Apa yang dibahas oleh McDermott sesungguhnya tidak semudah gaya bahasanya. Ia menyuguhkan banyak hal mendasar tentang musik yang justru merupakan topik yang tidak populer -bahkan di kalangan akademisi musik sekalipun?-. Hal yang mendasar ini bukan berarti menyoal teori atau praktik dasar dalam bermusik. McDermott memulai bukunya dengan membahas apa itu estetika, apa perbedaan estetika barat dan timur, hingga memperdebatkan apakah musik kemudian harus ditransfer kembali pada kata-kata untuk menjawab pertanyaan orang awam, "Musik yang dimainkan barusan, maknanya apa ya?" Ini jelas merupakan bahasan yang tidak menyenangkan untuk praktisi bahkan teoritisi musik khususnya di Indonesia -buktinya, buku yang membahas hal semacam ini sangat jarang beredar-. Mungkin mereka bisa melemparkan tanggung jawab atas persoalan estetika pada bidang kajian filsafat saja.
McDermott kemudian dengan perlahan memberikan panduan bagi para komposer untuk pertama-tama mempertanyakan ulang maksud dari pelbagai ciptaannya, hingga akhirnya masuk pada dimensi musik yang lebih kompleks seperti dinamika, frase, energi, bentuk, ritme, repetisi, tekstur, lapisan, harmoni, tempo, transisi, warna, hingga instrumen. Dalam pemaparan demi pemaparan, McDermott sama sekali tidak bersikap menggurui atau bahkan memberikan tips-tips sederhana (seperti yang sedikit tersirat lewat judulnya). McDermott rupanya ingin lebih tepatnya memberikan panduan. Ia tidak mau "penyair bunyi" (istilah yang McDermott ambil dari sebutan Beethoven bagi para komposer) manapun mengabaikan sejumlah peraturan dalam mencipta. Hal ini tersirat dalam pemaparannya mengenai musik jazz dan hubungannya dengan improvisasi:
Bahkan, dalam gaya improvisasional seperti "free jazz" atau "musik kebetulan" (chance music) sekalipun, tetap ada pembatas. Pemusik-komponis memiliki ide-ide tertentu yang ingin mereka sajikan, dan tujuan mereka adalah ide-ide itu. Dengan demikian, mereka sengaja membatasi fokus mereka.
Meski "keras" dalam memberikan batas-batas mencipta, McDermott tetap mengatakan bahwa yang menjadi penentu pada akhirnya adalah kreativitas, keberanian untuk berpikir maju, dan petualangan menuju "yang sublim". Seni bukan rutinitas, seni itu pencarian. Ia mengajak mereka yang sudah berpikiran ke depan agar jangan melupakan fondasi bangunan musik seni yang baik. Sebaliknya, mereka yang sudah menguasai pelbagai fundamen dasar dalam bermusik, jangan hanya membuat "musik biasa yang mengenyangkan perut" saja. Jangan takut menciptakan musik yang sanggup dijadikan santapan rohani juga.
Comments
Post a Comment