Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Gadis Kretek: Antara Kretek, Sejarah, dan Stereotip (Saya) yang Terselamatkan


Harus diakui bahwa saya bukanlah penikmat karya sastra lokal, kecuali jika itu menyoal karya-karya dari angkatan lama. Skeptisitas saya sebenarnya boleh dibilang tidak beralasan. Mungkin lebih tepatnya disebabkan karena trauma setelah membaca Dwilogi Padang Bulan, Sembilan Matahari, dan Negeri Lima Menara yang banyak berkelit dengan kemahatahuan si penulis padahal ujung-ujungnya menyisipkan pesan yang pasti laku di negeri kita: Tentang sikap pantang menyerah agar cita-cita kita, setinggi apapun, dapat tercapai. 

Ketika saya disodori Gadis Kretek oleh rekan kerja untuk dibaca, saya tidak langsung mengiyakan. Saya bertanya ini-itu terlebih dahulu sekadar memastikan bahwa buku karya Ratih Kumala ini bukanlah buku motivasi. Katanya, baca saja, akan menegangkan terus sampai halaman terakhir. Ternyata memang iya, novel Gadis Kretek setebal 274 halaman tersebut memang pandai sekali menciptakan kepenasaranan bagi pembacanya. Dari awal hingga akhir sulit sekali untuk menebak jalan cerita mau ke arah mana. 

Gadis Kretek ini ditulis secara bergantian dari sudut pandang orang pertama dan orang ketiga dengan latar kekinian dan masa lalu -menunjukkan kemampuan teknis penulis yang lumayan-. Pertama, "aku" adalah Lebas, putra ketiga dari juragan rokok kretek bernama Soeraja. Meski Lebas dijadikan sudut pandang orang pertama, namun ia tidak sentral. Mungkin Lebas dijadikan "aku" hanya semata-mata karena ia adalah seorang remaja nanggung yang sering melontarkan celetukan-celetukan tak jelas. -Lebas barangkali adalah jalan masuk bagi penulis untuk lebih sering mencairkan suasana sekaligus menjaga tempo pembacanya-. 

Sentral cerita adalah nama "Jeng Yah" yang dilontarkan oleh Soeraja di ranjang kematiannya. Penasaran dengan siapa itu yang disebut dengan Jeng Yah, ketiga anak laki-laki dari Soeraja mencoba menelusurinya sampai dapat. Penelusuran itu membawa cerita ke masa lalu (sekitar tahun 1942 hingga 1965) yang penulis sengaja membuatnya agak rumit. Kisah mengenai Idroes Moeria, Roemaisah, Soedjagad, Lilis, Dasiyah, dan sebagainya, diceritakan dengan jalinan yang baik sehingga pembaca terus menerus menebak dari orang yang manakah Jeng Yah dimunculkan.

Bagian flashback inilah yang sebenarnya menonjolkan kemampuan si penulis. Meskipun saya setuju dengan beberapa reviewer lainnya yang menyebutkan ia sering salah ketik, salah nama, dan salah penempatan logika cerita, tapi kesalahan-kesalahan tersebut sama sekali tidak mengendurkan penilaian saya akan riset yang dilakukannya. Ia tidak hanya sungguh-sungguh menelusuri sejarah industri kretek di Indonesia, tapi juga mengaitkan secara manis dengan situasi historis di sekitarnya. Meskipun akurasinya tentu saja baur dengan pengaruh cerita fiksi, namun tetap muatan pengetahuan plus nuansa perubahan dari jaman ke jaman cukup terasa setidaknya bagi saya pribadi. Hal inilah yang membuat saya cukup nyaman membaca Gadis Kretek tanpa sedikitpun rasa sebal seperti ketika membaca Dwilogi Padang Bulan, Sembilan Matahari ataupun Negeri Lima Menara.

Di sela-sela kesibukan, saya sukses menamatkan Gadis Kretek ini dalam dua minggu. Ketika menutup karya sastra tersebut, saya memejamkan mata, mencoba merasa, hingga akhirnya mendapat kesimpulan: Buku ini menarik, menghibur, punya muatan pengetahuan, tapi kurang menimbulkan kesan mendalam. Mengapa kurang? Saya tidak bisa sebutkan karena perasaan kurang itu muncul berdasarkan pengalaman estetis saya yang pastilah subjektif dan berbeda dengan apa yang kalian semua alami. Meski demikian, saya tetap senang karena akhirnya stereotip buruk saya tentang novel lokal terselamatkan sedikit. Tak semua dari para penulis kita punya tendensi untuk memanfaatkan formula kesukaan pasar yang harus bermuatan motivasi. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1