Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Proporsionalisme



Sekarang, orang yang mempunyai banyak kemampuan, berpotensi dikenai tuduhan tidak profesional. Bapak saya adalah seorang seniman, tapi juga sekaligus atlit pingpong. Oleh kawannya, ia sempat dikomentari, “Seniman kok olahraga!” Bapak saya menanggapi hal tersebut dengan tertawa. Katanya, “Mungkin teman saya itu punya stereotip bahwa seniman adalah orang yang merokok, minum kopi, dan bajunya penuh cipratan cat setelah habis berkarya. Citra olahraga tidak pernah melekat dalam diri seorang seniman.” 

Dunia modern sukses melahirkan konsep profesionalisme. Kemungkinan ia lahir dari sistem akademik yang percaya bahwa seorang individu sebaiknya hanya menjadi pakar di satu bidang. Untuk apa? Agar ia bisa fokus dan bidang yang ia tekuni dapat berkembang. Tapi kita bisa tengok Aristoteles, filsuf Yunani dari sekitar empat ratus tahun sebelum masehi. Oleh dunia kita hari ini, ia disebut sebagai seorang polymath atau seorang serba bisa. Kita tidak bisa mencap Aristoteles dengan satu sebutan saja antara filsuf, saintis, ahli retorika, seniman, atau guru. Aristoteles mencakup keseluruhan sebutan-sebutan tersebut karena memang ia mendalami semuanya. 

Dunia hari ini mungkin semakin langka melahirkan orang-orang semacam itu. Label-label buruk sudah disiapkan untuk orang-orang yang serba bisa, seperti “orang tidak profesional” atau “intelektual selebriti”. Agaknya menjadi tabu jika orang mampu membicarakan atau mengerjakan sesuatu lebih dari satu bidang saja. Padahal selain Aristoteles, dunia Timur pun mengenal istilah “orang pintar” untuk orang-orang yang memang pandai secara rasional, tapi juga pandai secara “irasional” –tabib di Cina, bhiksu dalam tradisi Buddhisme, dan sebagainya-. Bahkan Nabi Muhammad pun pada dasarnya adalah seorang polymath. Selain ia ahli dalam soal ekonomi, ia juga piawai soal politik dan juga strategi perang. 

Kita tidak usah terlalu menengok orang-orang besar yang sudah kuat terpatri dalam sejarah. Kita bisa membayangkan secara sederhana fenomena orang-orang di desa, di sekitar kita. Sangat mungkin mereka mempunyai jadwal sebagai berikut: Bekerja di sawah, menabuh gamelan, belajar di sekolah, hingga melukis. Keseluruhannya itu tidak dalam rangka menjadi intelektual selebriti atau haus akan sebutan polymath. Kita bisa menganggap bahwa kegiatan demi kegiatan tersebut ia lakukan demi kepenuhan dirinya sebagai manusia. Agar kehidupan ini lengkap dan juga kemanusiaan ini lengkap, seseorang semestinya tidak hanya berkutat di satu hal sepanjang hidupnya. 

Musashi adalah contoh yang baik tentang apa yang kita akan sama-sama sebut sebagai “proporsionalisme”. Ia pada dasarnya adalah seorang samurai yang sudah sepantasnya menenteng pedang, bertarung, dan membela tuannya. Tapi Musashi sadar bahwa hidup tidak hanya sekadar profesionalisme kaku semacam itu. Ia juga sekaligus melukis, merangkai bunga, serta membantu pembangunan sebuah desa dari mulai mengangkut kayu hingga menanam benih pohon. Musashi melakukan semua itu karena tujuan hidupnya bukan menjadi samurai yang baik, melainkan manusia yang baik. Bapak saya, di waktu yang lain, mengatakan hal yang serupa, “Jadi seniman itu mudah, yang sulit adalah menjadi manusia.”

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me