Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kebahagiaan dan Alam Sana

 
Kata Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Alam Pikiran Yunani, orang yang belajar filsafat adalah orang yang bahagia karena ia hidup di alam lain. Apa maksud perkataan itu tidaklah jelas. Juga diantara kita, yang tidak menyukai filsafat, tentu saja juga mempunyai kebahagiaannya sendiri. Mungkin malah sebaliknya. Mereka yang belajar filsafat tampak seperti orang-orang yang bingung, gelisah, dan murung. Jadi, apa maksud kata-kata Mohammad Hatta tersebut?

Belakangan ini saya kerap menemukan cerita-cerita dari sekitar. Isinya seputar konflik dan kesedihan. Mulai dari rumah tangga yang kurang harmonis, lingkungan kerja yang menyebalkan, hingga pencapaian dan target hidup yang tak terpenuhi. Keseluruhan cerita tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah kebahagiaan itu sebenarnya? Apakah jika hal-hal diatas teratasi, kita bisa menjadi bahagia? Pertanyaan yang mengerikan adalah: Apakah saya bahagia? 

Pertanyaan yang terakhir adalah yang paling menggelitik. Juga untuk menjawabnya, tidak terlalu mudah. Kehidupan saya tidak selamanya mulus. Sebagaimana halnya manusia pada umumnya, saya kadang mengalami kegembiraan, kadang mengalami kesedihan. Kadang mengalami komedi, kadang mengalami tragedi. Namun jika kembali pada pertanyaan, apakah dengan keseluruhan dinamika tersebut, saya bahagia? Saya akan menjawab: Iya, saya bahagia. Saya sebahagia Diogenes, seorang filsuf sinisme, yang hidup di dalam tong dan menjalani kehidupan tanpa keinginan macam-macam.

Untuk menjawab mengapa saya bahagia, adalah hal yang juga tidak sederhana. Namun kata-kata Bung Hatta di atas membantu banyak. Iya betul. Saya bahagia karena hidup di alam lain. Saya bahagia karena sanggup melarikan diri dari realitas dan berkubang dalam alam imajinasi. Saya, sebagai penyuka filsafat, menemukan hal yang kurang lebih mirip pada mereka yang menyukai seni, sains, dan juga agama. Namun kebahagiaan versi sains misalnya, bukan kebahagiaan ketika mereka membeli gadget atau laptop. Kebahagiaan yang ada mungkin timbul ketika membayangkan alam semesta dan segala misteri yang melingkupinya, serta cita-cita untuk memecahkan teka teki maha besar tersebut. Kebahagiaan versi agama juga, bukan kebahagiaan ketika dapat memenuhi hajat untuk membeli kue atau baju baru di saat lebaran. Kebahagiaan yang ada mungkin timbul dari keyakinan bahwa surga itu ada dan Tuhan itu ada. 

Artinya, realitas tidak memberi kita kebahagiaan. Keterikatan kita pada benda-benda yang riil tidak memberi kita kebahagiaan. Yang memberi kebahagiaan justru adalah alam yang tidak riil, alam "sana" yang diterbitkan dari pikiran kita sendiri. Mengapa begitu? Mungkin karena dengan hidup di alam "sana", kita dapat melihat kehidupan dari kejauhan dan ketinggian. Kita bisa menata hati dengan tenang sambil melihat realitas yang terus berubah. Tapi tetap ada perbedaan antara orang yang hidup di alam "sana" dan mengontrol kehidupan dari kejauhan, dengan orang yang berpikir tentang alam "sana", tapi kemudian membenturkannya kembali dengan realitas. Untuk yang nomor dua itu, bisa jadi justru ia mengalami ketidakbahagiaan. 

Kata-kata saya tersebut mungkin tidak melalui riset sungguhan. Saya hanya memperhatikan lingkungan sekitar. Mereka yang sungguh-sungguh menyukai sastra, sungguh-sungguh menyukai seni, sungguh-sungguh menyukai agama (bukan fanatik, tapi memeluk seluruh agama beserta spiritualitasnya), sungguh-sungguh menyukai filsafat (bukan hapal sejarah filsafat beserta pemikirannya, tapi ia yang berfalsafah dan menerapkan suatu kebijaksanaan dalam hidupnya), tampak lebih bahagia dari yang lain. Saya dapat melihat seorang tukang sapu yang selalu bahagia karena setelah ditanya, ia tidak berpikir soal uang dapat berapa. Yang penting adalah ia terus menyapu sebagai bagian dari rasa syukurnya terhadap kehidupan. Saya juga lihat seorang ibu yang membesarkan anaknya dan tampak bahagia. Kebahagiaan itu bukan disebabkan oleh realitas seorang anak di hadapannya. Tapi karena ia juga hidup di alam "sana". Dalam dirinya terkandung suatu harapan anak ini kelak menjadi apa; juga suatu kenangan tentang masa lalu si anak dari mulai ia lahir hingga hari ini. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me