Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Kata Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Alam Pikiran Yunani, orang yang belajar filsafat adalah orang yang bahagia karena ia hidup di alam lain. Apa maksud perkataan itu tidaklah jelas. Juga diantara kita, yang tidak menyukai filsafat, tentu saja juga mempunyai kebahagiaannya sendiri. Mungkin malah sebaliknya. Mereka yang belajar filsafat tampak seperti orang-orang yang bingung, gelisah, dan murung. Jadi, apa maksud kata-kata Mohammad Hatta tersebut?
Belakangan ini saya kerap menemukan cerita-cerita dari sekitar. Isinya seputar konflik dan kesedihan. Mulai dari rumah tangga yang kurang harmonis, lingkungan kerja yang menyebalkan, hingga pencapaian dan target hidup yang tak terpenuhi. Keseluruhan cerita tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah kebahagiaan itu sebenarnya? Apakah jika hal-hal diatas teratasi, kita bisa menjadi bahagia? Pertanyaan yang mengerikan adalah: Apakah saya bahagia?
Pertanyaan yang terakhir adalah yang paling menggelitik. Juga untuk menjawabnya, tidak terlalu mudah. Kehidupan saya tidak selamanya mulus. Sebagaimana halnya manusia pada umumnya, saya kadang mengalami kegembiraan, kadang mengalami kesedihan. Kadang mengalami komedi, kadang mengalami tragedi. Namun jika kembali pada pertanyaan, apakah dengan keseluruhan dinamika tersebut, saya bahagia? Saya akan menjawab: Iya, saya bahagia. Saya sebahagia Diogenes, seorang filsuf sinisme, yang hidup di dalam tong dan menjalani kehidupan tanpa keinginan macam-macam.
Untuk menjawab mengapa saya bahagia, adalah hal yang juga tidak sederhana. Namun kata-kata Bung Hatta di atas membantu banyak. Iya betul. Saya bahagia karena hidup di alam lain. Saya bahagia karena sanggup melarikan diri dari realitas dan berkubang dalam alam imajinasi. Saya, sebagai penyuka filsafat, menemukan hal yang kurang lebih mirip pada mereka yang menyukai seni, sains, dan juga agama. Namun kebahagiaan versi sains misalnya, bukan kebahagiaan ketika mereka membeli gadget atau laptop. Kebahagiaan yang ada mungkin timbul ketika membayangkan alam semesta dan segala misteri yang melingkupinya, serta cita-cita untuk memecahkan teka teki maha besar tersebut. Kebahagiaan versi agama juga, bukan kebahagiaan ketika dapat memenuhi hajat untuk membeli kue atau baju baru di saat lebaran. Kebahagiaan yang ada mungkin timbul dari keyakinan bahwa surga itu ada dan Tuhan itu ada.
Artinya, realitas tidak memberi kita kebahagiaan. Keterikatan kita pada benda-benda yang riil tidak memberi kita kebahagiaan. Yang memberi kebahagiaan justru adalah alam yang tidak riil, alam "sana" yang diterbitkan dari pikiran kita sendiri. Mengapa begitu? Mungkin karena dengan hidup di alam "sana", kita dapat melihat kehidupan dari kejauhan dan ketinggian. Kita bisa menata hati dengan tenang sambil melihat realitas yang terus berubah. Tapi tetap ada perbedaan antara orang yang hidup di alam "sana" dan mengontrol kehidupan dari kejauhan, dengan orang yang berpikir tentang alam "sana", tapi kemudian membenturkannya kembali dengan realitas. Untuk yang nomor dua itu, bisa jadi justru ia mengalami ketidakbahagiaan.
Kata-kata saya tersebut mungkin tidak melalui riset sungguhan. Saya hanya memperhatikan lingkungan sekitar. Mereka yang sungguh-sungguh menyukai sastra, sungguh-sungguh menyukai seni, sungguh-sungguh menyukai agama (bukan fanatik, tapi memeluk seluruh agama beserta spiritualitasnya), sungguh-sungguh menyukai filsafat (bukan hapal sejarah filsafat beserta pemikirannya, tapi ia yang berfalsafah dan menerapkan suatu kebijaksanaan dalam hidupnya), tampak lebih bahagia dari yang lain. Saya dapat melihat seorang tukang sapu yang selalu bahagia karena setelah ditanya, ia tidak berpikir soal uang dapat berapa. Yang penting adalah ia terus menyapu sebagai bagian dari rasa syukurnya terhadap kehidupan. Saya juga lihat seorang ibu yang membesarkan anaknya dan tampak bahagia. Kebahagiaan itu bukan disebabkan oleh realitas seorang anak di hadapannya. Tapi karena ia juga hidup di alam "sana". Dalam dirinya terkandung suatu harapan anak ini kelak menjadi apa; juga suatu kenangan tentang masa lalu si anak dari mulai ia lahir hingga hari ini.
Comments
Post a Comment