Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Belajar dari Mengajar

 
Sampai hari ini, ketertarikan terbesar saya masih pada bidang filsafat. Filsafat adalah hal yang tidak saya pelajari secara resmi -jika definisi resmi adalah jurusan di masa kuliah-. Akibat tidak belajar di universitas mengenai hal tersebut secara spesifik, terang saja butuh tenaga lebih untuk comot ilmu sana-sini demi meredakan dahaga yang tidak pernah habis-habis. 

Sumber pertama, saya mencomot ilmu filsafat dari buku-buku filsafat, tentu saja. Dengan tertatih-tatih, saya mencoba mencerna buku-buku semacam Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dan Petualangan Filsafat: Dari Sokrates ke Sartre karya T.Z. Lavine. Kedua, saya ikut kursus filsafat di Unpar dengan nama Extension Course Filsafat (ECF). Di sana, saya mengalami banyak pencerahan terutama dari paparan orang-orang yang mempunyai ethos tinggi seperti Bambang Sugiharto, Franz Magnis Suseno, dan Goenawan Mohamad. 

Ketiga, ini juga tidak kalah penting, adalah berbincang dengan bapak saya. Ia sepertinya senang dengan kegiatan filsafat yang saya lakoni sehingga mau meluangkan waktu berbincang panjang lebar segera setelah saya mulai mengungkapkan apa-apa yang baru diterima dari buku maupun kursus. Bapak berfungsi untuk menetralisir sehingga cara berpikir saya tidak menjadi terlalu ekstrim dan senantiasa berada di jalur tengah. Keempat, adalah aktivitas saya di Tobucil bersama Madrasah Falsafah Sophia dan Klab Filsafat Tobucil. Komunitas tersebut membuat saya mendapatkan perspektif baru karena filsafat ternyata menjadi hal yang lain sekali ketika didiskusikan secara melingkar. Ada dorongan untuk tidak lagi berkutat pada filsafat sebagai sebuah idealisme rasio, melainkan menjadikannya sebagai falsafah atau panduan menuju hidup yang baik dan benar. 

Tanpa meremehkan keempat sumber belajar saya yang lain, saya akan menceritakan lebih tentang sumber nomor lima. Sumber ini berasal dari pertemuan dengan Rosihan Fahmi di suatu malam. Menurutnya, ia ingin mengajak saya untuk membuka kelas filsafat untuk umum -berbeda dengan Madrasah Falsafah Sophia dan Klab Filsafat Tobucil yang berbentuk melingkar, kelas filsafat berarti ada pemisahan antara guru dan murid yang tegas-. Tidak lupa ia mengatakan bahwa ada nama Bambang Q-Anees (nama yang sering saya dengar) juga turut serta dalam kelas ini. Saya mengiyakan saja karena sepertinya saya hanya menjadi guru cadangan (tentu saja nomor tiga setelah Kang B-Q dan Kang Ami -demikian saya memanggilnya-) sehingga beban akan lebih banyak diserahkan pada dua orang tersebut. 

Namun ketika kelas berjalan, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Pada delapan pertemuan yang bertemakan tentang filsafat Yunani, baik Kang B-Q maupun Kang Ami, keduanya hanya hadir di pertemuan pertama dan terakhir. Enam pertemuan di tengahnya, mereka tak pernah menunjukkan batang hidung, bahkan tidak bisa dikontak sama sekali. Walhasil, saya mengajar sendiri sambil gelisah dan cemas, takut tidak mampu menaklukkan diri sendiri dan juga tidak mampu menaklukkan peserta -yang jumlahnya, kalau tidak salah, empat orang-. Entah bagaimana hasilnya, namun akhirnya saya mampu melewatinya. Kang B-Q dan Kang Ami datang di akhir kelas dengan mata seolah berkata, "Rasain kau!"

Di akhir pertemuan tersebut, saya bertanya dengan penasaran mengapa Kang B-Q tidak pernah hadir? Ia menjawab dengan cara yang aneh sekali, yaitu lewat cerita semacam ini: Suatu hari, ada seorang pemuda yang memasuki hutan sangat gelap. Di tengah hutan tersebut, ia berpapasan dengan dua orang yaitu kakek tua dan bocah cilik saling bergandengan. Pemuda tersebut membiarkan keduanya berlalu sambil bertanya pada Tuhan, "Ya Tuhan, mengapa Engkau biarkan kedua orang tersebut saling bergandengan di tengah hutan yang berbahaya ini?" Tuhan lalu segera menyahut dengan keras, "Kan ada kamu!"

Jawaban sufistik semacam itu tentu saja tidak memuaskan saya pada mulanya. Namun lama kelamaan, saya merasa bahwa cara mereka menjerumuskan itulah yang membuat saya hingga sekarang tetap jatuh cinta secara konsisten pada filsafat. Tidak hanya itu, saya juga punya keberanian untuk berbagi tentang apa yang saya pikirkan pada orang lain baik dalam forum resmi maupun tidak resmi. Itu semua diawali dengan belajar dari mengajar. Tidak sekadar mengajar yang dipersiapkan, saya ternyata diajari tentang bagaimana mengajar yang tidak dipersiapkan. Atas semua itu, saya mengucap terima kasih pada Kang B-Q dan Kang Ami. 


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me