Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Mendengar takbir bergema di malam Idul Adha, harus diakui, dalam diri saya timbul semacam rasa haru. Inikah yang dinamakan iman? Saya tidak mau menyimpulkan terlalu cepat. Tapi ada satu hal yang saya pikir masuk akal: rasa haru akan malam takbiran, adalah rasa haru akan masa kecil. Ketika malam takbiran, itulah momen berkumpul bersama keluarga, bersiap menggunakan baju baru di keesokan harinya, dan memperoleh uang dari saudara-saudara untuk ditabung kemudian dibelikan kaset SEGA.
Namun saya tiba-tiba teringat novel Albert Camus berjudul Orang Asing yang ditulisnya tahun 1942. Novel ini berkisah tentang seorang bernama Meursault yang hidup dengan begitu santai seolah tidak takut dengan konsekuensi apapun: tidak menangis di pemakaman ibunya, mau menikah dengan pacarnya karena pacarnya yang memintanya demikian (ia sendiri tidak peduli dengan rasa cinta), membunuh orang Arab, diadili dan tidak membela diri, divonis hukuman mati dan bahkan menolak untuk bertaubat di saat akhir. Pertanyaan besarnya: Apakah ia sedemikian bedebah sehingga sangat tidak peduli pada sekeliling dan termasuk pada dirinya sendiri? Lalu apakah kebedebahan itu terjadi karena ia notabene tidak menyandarkan dirinya pada agama, Tuhan, dan jenis spiritualitas apapun?
Pertama, Camus hendak mengajarkan pada kita untuk hidup dengan berani (dalam bahasa Camus: hidup dengan menerima seluruh absurditasnya). Satu-satunya yang membatasi tindakan kita, adalah konsekuensi dari tindakan itu sendiri, dan konsekuensi adalah hal yang tidak boleh ditolak. Jadi, kalau kamu sudah membunuh dan divonis hukuman mati, maka hadapilah tanpa rasa takut. Jangan sampai jadi orang yang membunuh tapi kemudian berkelit sedemikian rupa sehingga divonis tidak bersalah dan kamu gembira karenanya. Jadi, Meursault bukan sedang menjadi bedebah. Justru ia, dalam kacamata Camus, adalah manusia absurd yang sempurna karena toh, sebagaimanapun kita hidup baik dan berbudi, pada akhirnya menjadi sia-sia di hadapan kematian. Jadi kita bebas melakukan apapun, selama konsekuensinya kita hadapi dengan gagah berani.
Kedua, Camus menolak segala sandaran pada agama maupun Tuhan. Ia menyebut hal seperti itu sebagai sikap menyerah terhadap hidup (ia samakan dengan bunuh diri). Bersandar pada agama maupun Tuhan, adalah bunuh diri eksistensial yang memalukan. Jadi, jikapun manusia perlu "sesuatu" untuk mengisi kekosongan batinnya, Camus menawarkan jalan: spiritualitasmu, berasal dari kenangan akan masa lalu. Lewat kenangan akan masa lalu, batin kita terisi, tersenyum pada segala macam memori, dan menjadi punya semangat untuk melanjutkan hidup. Demikianlah ketika Meursault menjelang ajalnya, ia tiba-tiba teringat sesuatu, sebagaimana dilukiskan oleh Camus di bagian akhir Orang Asing: Suara-suara dari perdusunan naik sampai kepadaku. Bau-bau malam, tanah, dan garam, menyegarkan keningku kembali. Kedamaian yang menakjubkan dari musim panas yang tertidur itu merasuk ke dalam diriku seperti air pasang. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku memikirkan Ibu.
Maka itulah pada malam takbiran, tidak jarang saya menitikkan airmata, meski tidak serta merta hal tersebut terkait dengan Sang Khalik yang nun jauh di sana. Atau lebih adil jika saya mengatakan: Mungkin Tuhan itu, bukan sesuatu yang kita temui di masa yang akan datang, melainkan sesuatu yang tertanam di benak kita, dari waktu ke waktu, menjelma menjadi kenangan yang indah.
Untuk apa menunggu Tuhan? Kata Nietschze.
ReplyDelete