(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Satu lagi toko buku bagus tutup. Kemarin Reading Lights, sekarang Lawang Buku. Anehnya, keduanya adalah toko buku yang tidak sekadar toko: keduanya mempunyai semangat memajukan literasi secara umum. Reading Lights kita tahu, mereka pernah secara rutin memfasilitasi kelompok yang dinamakan dengan writer's circle. Mereka berkumpul setiap minggu untuk menulis dan kemudian membacakan hasil tulisannya pada peserta yang lain untuk diapresiasi. Walau saya baru datang ke komunitas ini dua kali dan itupun sekitar lima tahun silam, tapi kenangan atasnya begitu membekas.
Semangat Lawang Buku dalam memajukan literasi tampil dalam diri individu, sang pemilik kios, Kang Deni. Kita bisa datang ke Lawang Buku (yang letaknya di Baltos) dan mendapat ragam informasi mengenai buku yang dipajang. Kang Deni pernah berbagi tips, "Penjual buku yang baik harus mengerti produknya. Ia juga harus rajin membaca." Dapat kita bayangkan: Lawang Buku tidak menjual buku-buku biasa. Sebagai contoh, saya pernah membeli majalah Uni Soviet yang terbit di Indonesia pada sekitar tahun 1950an dan juga buku karya Nikolai Chernishevsky ejaan lama yang diterbitkan sekitar tahun 1960an. Itu belum termasuk buku-buku bertema kebangsaan, yang sering disusupkan oleh Kang Deni, ke diskusi Asian African Reading Club yang diadakan setiap Rabu di Museum Konperensi Asia Afrika. Jadi dapat dibayangkan, kita bisa datang ke Lawang Buku, melihat-lihat, dan ngobrol dengan Kang Deni tentang hal ikhwal itu semua. Persoalan jadi beli atau tidak, toh Kang Deni akan tetap melayani pelanggannya dengan obrolan penuh wawasan. Karena mungkin, baginya, yang penting adalah semangat literasi yang harus terus diperjuangkan.
Kabar itupun akhirnya saya baca di Facebook. Kabar bahwa Lawang Buku hanya akan beroperasi via daring dan sesekali ikut pameran buku. Saya tulis ini tanpa menglarifikasi Kang Deni karena tulisan ini saya buat jam dua pagi sambil sedih, marah, dan kecewa. Sebagaimanapun saya mencoba tidur, saya tetap galau karena macam-macam pertanyaan: Mengapa mereka, yang punya semangat memajukan literasi, yang akhirnya harus tutup kios? Mengapa bukan mereka, yang menganggap buku sebagai komoditi belaka, tak peduli kedalaman, yang penting sampul bagus -kita beri plastik agar tangan-tangan kotor pembaca yang coba-coba baca tanpa berniat beli tidak menodainya-, yang tersingkir?
Inilah yang membuat Pak Awal Uzhara, ketika kembali dari Rusia setelah lima puluh tahun tidak bisa pulang atas alasan politik, langsung jatuh sakit ketika melihat mahasiswa-mahasiswa Indonesia di tempat yang beliau ajar. Katanya, "Mengapa mereka malas sekali membaca? Di Rusia, anak-anak SMP sudah terbiasa membaca buku-buku Tolstoy dan Chekov. Sekarang apa yang mau saya ajarkan kalau mereka tidak pernah membaca?" Hal sama juga saya rasakan ketika berhadapan dengan mahasiswa di kelas. Pertanyaan, "Kamu membaca buku apa?" Adalah jenis pertanyaan yang nampaknya sulit. Hal yang lebih elementer yang bisa kita tanyakan adalah, "Apakah kamu membaca buku?"
Memang saya tidak punya data, tentang apakah secara umum literasi di Indonesia ini meningkat atau tidak. Tapi satu hal yang dapat ditarik kesimpulannya berdasarkan kejadian di atas, adalah kenyataan bahwa tempat bernaung para pegiat literasi, lambat laun mundur dari peradaban. Mungkin ini ada kaitannya, dengan paperless society yang diidam-idamkan masyarakat praktis-ogah ribet-yang ingin memampatkan segala sesuatunya dalam tablet. Bapak saya dari dulu sudah sering meramalkan dengan nada suara bergetar karena membayangkan betapa sedihnya jika itu benar: suatu saat, buku-buku hanya akan dapat kita temukan di museum.
Memang iya, buku-buku yang dijual Lawang Buku pada akhirnya beralih ke daring. "Ah, cuma ganti medium saja. Tidak usah dramatis," mungkin begitu hibur seseorang. Tapi pastilah tutup kios itu punya kaitan juga dengan biaya sewa yang mencekik, disertai pembeli yang tidak-sebanyak-toko-buku-besar-yang-memuat-buku-buku-motivasi. Dan juga, bagaimanapun, meski buku tetap bisa dihadirkan di dunia maya, tetap ada hal yang hilang: obrolan penuh wawasan dari Kang Deni, yang dari sorot matanya, dapat kita ketahui bahwa ia tidak hanya sekadar jualan untuk kantongnya sendiri. Ia jualan untuk kemajuan peradaban.
Foto:
1. Artikel saya di Pikiran Rakyat sekitar setahun lalu tentang Komunitas Kebangsaan, yang salah satunya bercerita tentang Lawang Buku sebagai toko buku yang rajin memajang buku-buku bertema nasionalisme.
2. Karya instalasi dari Jorge Mendez Blake berjudul The Castle. Menunjukkan bagaimana sebuah buku dapat memberi perubahan bagi dinding yang tebal -disebut The Castle karena buku yang digunakan adalah buku Franz Kafka dengan judul itu-.
Comments
Post a Comment