Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Philofest ID, Pencapaian yang Hakiki


Pada tanggal 7 - 13 Desember lalu, kami mengadakan semacam acara. Kami yang dimaksud adalah sejumlah komunitas pengkaji filsafat di Indonesia, dan acara yang dimaksud adalah festival filsafat bernama Philofest ID. Inisiasi ini dilakukan sekitar tiga bulan sebelumnya, dan saya bisa katakan bahwa semuanya berlangsung hampir bersamaan, seolah-olah sudah menjadi kegelisahan bersama. Saat Kelas Isolasi menjelang edisi ke-100, Nino dan saya memutuskan untuk mengisi materi kelas dengan ajakan kolaborasi dengan berbagai komunitas seperti Schole ID, Akademi Aliarcham, Ze-No Centre for Logic and Metaphysics, LSF Discourse, dan Komunitas Mikir. Ide ini kemudian saya bicarakan dengan Martin Suryajaya dan dia menyambut dengan begitu antusias. Katanya, ia juga sudah memikirkan bahwa ekosistem filsafat harus dibenahi dengan saling berkolaborasi. Bahkan alangkah lebih baik jika medan sosial filsafat juga seperti sastra, punya berbagai sayembara, penghargaan, dan festival.

Hampir bersamaan dengan itu pula, Romo Albertus Joni mengontak Kelas Isolasi lewat DM Instagram dan mengajak kami untuk bergabung dalam sebuah WA group bernama Mikir-Mikir, yang isinya sudah ada beberapa orang perwakilan dari Schole ID, Logos ID, LSF Discourse, Betang Filsafat, A Being is Asking dan Idesnacks. Semua peristiwa tersebut akhirnya mengerucut pada kesimpulan bahwa kita semua mesti berkolaborasi dan momen pandemi ini adalah saat yang tepat karena acara filsafat dapat digelar secara daring - sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya besar -. Awalnya, kami berencana membuat semacam website terpadu, yang isinya adalah semacam portal informasi terkait dunia filsafat di Indonesia. Namun akhirnya kami memutuskan untuk mengadakan sebuah festival daring selama seminggu (ide awalnya hanya tiga hari). Nama festivalnya, setelah hasil voting, maka mengerucut pada dua: Philofest ID dan Biennale Filsafat Indonesia. Namun karena Biennale Filsafat Indonesia, dari segi namanya, berimplikasi pada penyelenggaraan dua tahunan, maka forum memutuskan sebagai berikut: tahun 2020 akan diadakan Philofest ID sebagai "pemanasan" dan mulai tahun 2021, akan diselenggarakan Biennale Filsafat Indonesia, begitu seterusnya per dua tahun. Forum juga kemudian mempercayakan saya untuk menjadi ketua panitia Philofest ID 2020, hal yang saya bayangkan akan sangat melelahkan dan menguras tenaga. Saya memutuskan untuk mengemban tugas ini hanya karena saya pikir, tidak ada lagi orang yang akan mau melakukannya.

Komunitas yang terlibat dalam penyelenggaraan ini awalnya ada sebelas komunitas dari sejumlah daerah di Indonesia yaitu Schole ID (Jakarta), Logos ID (Jakarta), Ze-No Centre for Logic and Metaphysics (Yogyakarta), A Being is Asking (Jakarta), Betang Filsafat (Pontianak), Ideasnacks (Jakarta), LSF Discourse (Malang), LSF Cogito (Yogyakarta), Masyarakat Filsafat Indonesia (Jakarta), Antinomi (Yogyakarta) dan Kelas Isolasi (Bandung). Namun pada akhirnya, jumlah penyelenggara menjadi sepuluh karena satu dan lain hal, Ideascnacks tidak lagi terlibat. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah terkait dana. Iya, Philofest ID diselenggarakan tanpa sponsor dan hanya mengandalkan donasi jemaat yang dikumpulkan oleh Romo Albertus Joni. Terkumpul uang sekitar 33 juta rupiah dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan operasional acara seperti misalnya sewa tempat untuk server, transportasi dan akomodasi panitia lapangan, serta honor bagi beberapa pembicara. Saya sendiri, selama penyelenggaraan Philofest ID, tinggal di Jakarta suntuk memudahkan koordinasi dengan kawan-kawan seperti Martin Suryajaya, Samuel Jonathan, Amadea Svastika, Immanuela Chyndi, Yogie Pranowo, Adha Gozali, Nathanael Pribady, Alexander Aur, Harristio Adam, dan lainnya. 

Isi acara Philofest ID, sebagaimana kita ketahui, terdiri dari kuliah umum, debat, bedah karya, diskusi, dan forum yang isinya terdapat berbagai komunitas, penerbit, dan para presenter gagasan. Mungkin, hal yang menarik dari festival ini pertama, kami mengajak sejumlah komunitas filsafat yang selama ini cukup aktif menggelar diskusi, dan hal tersebut menjadi bagian dari perhatian kami terhadap gerakan filsafat di "alam liar" - artinya, filsafat tidak hanya terbatas di kampus-kampus saja -. Kedua, dengan tema yang diusulkan oleh Martin, yaitu "Dunia Setelah Pandemi: Filsafat dari Masa Depan", kami juga mengajak orang-orang untuk merespons wacana tersebut melalui artikel dan presentasi. Ketiga, program Polemik Filsafat, yang berisi debat atau adu gagasan, ternyata begitu digemari. Orang-orang senang melihat bagaimana keilmuan diperdebatkan dan jangan-jangan tradisi semacam itu sudah makin kabur di dunia pendidikan tinggi kita. Oia, saya harus memberi kredit pada Martin yang mampu menyelesaikan puluhan TOR Polemik Filsafat hanya dalam semalam! 

Philofest ID, meski dilakukan dengan cukup berdarah-darah (terutama karena semuanya serba mepet dan diselenggarakan untuk pertama kali), tetapi hasilnya sepertinya lumayan baik untuk sebuah festival filsafat perdana yang melibatkan cukup banyak pengisi acara (jika tidak bisa dikatakan paling banyak dalam sejarah penyelenggaraan kegiatan filsafat di Indonesia). Barometer yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan mungkin bisa dengan melihat jumlah penonton di Youtube dan juga kenyataan bahwa kami semua memutuskan Philofest ID diselenggarakan kembali tahun 2021 di Malang. Jadinya, karena sudah terlanjur Philofest ID ini cukup menimbulkan kesan, maka ide tentang Biennale Filsafat Indonesia kelihatannya tidak akan dilanjutkan dan ke depannya, nama Philofest ID saja yang akan dipakai. 

Terakhir, saya akan menuliskan kesan-kesan saya dalam "mengatur" para filsuf (sebut saja begitu, untuk memudahkan). Saya kira ini pengalaman luar biasa karena para filsuf ini tentulah orang-orang kritis yang tidak bisa begitu saja diinstruksikan macam-macam. Hal terpenting adalah senantiasa melakukan adaptasi dalam berkomunikasi: Bicara dengan Banin Diar Sukmono, tentu berbeda dengan Amadea Svastika; bicara dengan Martin Suryajaya, tentu berbeda dengan Nathanael Pribady, dan seterusnya. Mereka harus dibiarkan untuk aktif berkontribusi sesuai dengan porsinya saja - tidak perlu dipaksakan harus sesuai job description -. Jika yang bisa dilakukannya hanya mengontak pengisi acara, maka biarkan itu dilakukan dengan sebaik-baiknya dan beri mereka rasa nyaman untuk mengerjakannya. Karena ini hal yang positif dari para filsuf saat mereka menjadi panitia: Mereka setidaknya punya semacam tanggung jawab etis, bahwa semua ini mesti dilakukan demi suatu kebaikan yang lebih besar, yaitu agar filsafat diterima publik lebih luas. Artinya, para filsuf ini tidak akan berlaku curang atau tiba-tiba meninggalkan tanggung jawab, karena ada ikatan kuat terhadap filsafat yang "membesarkan" kita semua. 

Saya pribadi senang sekali. Sudah lama memang saya ketagihan membuat acara, yang sebagian besar di antaranya adalah acara musik klasik. Tidak jarang saya mengerjakan konser-konser itu dengan tenaga bantuan yang minim, dan ruang lingkupnya luas dari mulai mengerjakan poster, menjadi MC, mengantar jemput pengisi acara, mencari sponsor, hingga dalam beberapa konser malah saya mesti ikutan tampil! Hal-hal yang saya kira tidak akan pernah menjadi apa-apa, kecuali hanya kesenangan (dan kelelahan) pribadi itu, akhirnya menemukan jalannya. Philofest ID bagi saya sendiri, merupakan pencapaian yang hakiki: akumulasi dari berbagai kegiatan yang seringkali dikerjakan dengan susah payah, entah untuk apa, yang penting terus dilakukan saja. 
   

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1