Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Mengenang Romo B. Herry Priyono

MENGENANG ROMO B. HERRY PRIYONO

galau

Hari ini hati begitu mendung, mendengar kabar Romo Herry Priyono, dosen saya di STF Driyarkara, meninggal dunia. Segalanya begitu mendadak, karena baru saja delapan hari lalu, saya melihat Romo bicara di Philofest ID dan seperti biasa, tampak sangat sehat dan bergairah. Perkenalan saya dengan Romo Herry mungkin baru sekitar dua tahun, dan tentu saja banyak yang sudah lebih lama kenal dengan beliau, terutama mereka yang kuliah di STF Driyarkara sejak S1 dan S2 (saya sendiri baru masuk tahun ini di program S3, meski sudah diajar beliau sejak program Matrikulasi). Meski perkenalannya relatif singkat, namun saya merasakan suatu kesedihan sekaligus kehilangan yang amat besar. Saya bertanya-tanya: mengapa bisa seperti itu?

Padahal, di sisi lain, ada sejumlah kenangan kurang enak berkaitan dengan beliau. Misalnya, di kelas pengantar filsafat yang diampu beliau di program Matrikulasi, saya pernah datang terlambat. Beliau melarang saya masuk kelas, meski saya jelaskan bahwa keterlambatan disebabkan oleh penundaan jadwal kereta api yang saya tumpangi dari Bandung. Beliau tidak menerima alasan apapun: terlambat ya terlambat. Akibat keterlambatan itulah, saya jadi harus mengulang program Matrikulasi di semester depannya, yang artinya menyia-nyiakan waktu studi sekitar enam bulan.

Ketika saya sudah lulus program Matrikulasi dan masuk ke studi doktoral, usul saya untuk mengangkat tema demotivasi juga kerap ditanggapi dingin oleh Romo. Romo pernah mengatakan kalau tema demotivasi ini seperti "fiksasi" dalam diri saya, seolah-olah semacam ambisi pribadi yang terbawa-bawa hingga ke toilet dan alam mimpi. Kata Romo, "Ide ini cocoknya untuk pamflet, bukan untuk jadi satu disertasi akademik." Dalam e-mailnya yang terakhir, beliau bahkan mengingatkan secara halus, jika saya meneruskan topik ini, saya bisa jadi bahan tertawaan di antara para ahli.

Pertanyaan kemudian muncul lagi: dengan serangkaian kenangan buruk semacam itu, mengapa saya bisa begitu sedih dan kehilangan?

Ternyata kesan-kesan kurang baik di atas, tidak bisa menutupi kekaguman saya pada disiplin dan kecerdasan seorang Romo Herry. Romo Herry punya kedisiplinan soal waktu, itu jelas, tapi tidak hanya itu: beliau juga sangat disiplin dalam hal berpikir. Saat menerangkan suatu gagasan, Romo Herry selalu rapi dalam menyusun premis-premis hingga sampai pada kesimpulan. Ia juga setia pada keketatan teks, yang membuatnya begitu hati-hati untuk mengeluarkan pendapat sendiri. Sungguh suatu sikap yang langka, ketika orang berbondong-bondong mengumbar opini sesuka hati, dan menganggap tidak perlu untuk mengacu pada pemikiran siapapun. Di sinilah saya mendapat pelajaran luar biasa: Belajar filsafat bisa membawa kita pada sikap rendah hati, karena sadar bahwa jangan-jangan segala sesuatunya, sudah pernah dipikirkan oleh orang lain dan kita hanya bisa meneruskan atau mengembangkan saja.

Selain itu, secara personal, saya yakin, Romo Herry juga mengingat saya tidak selalu dalam konteks yang buruk-buruk amat. Saat e-mail saya tidak dibalas lagi oleh beliau, saya curiga Romo sudah bosan berkomunikasi dengan saya yang keras kepala. Ternyata tidak. Di pertemuan kami yang terakhir di kelas Etika Spesialistik, Romo mengatakan begini, "Maaf Syarif, saya tidak membalas e-mail-mu, karena saya memikirkannya sungguh-sungguh. Saya baru mendapatkan insight untuk memberikanmu satu nama pemikir yang mungkin cocok. Namanya, Thomas Lemke, dia orang Jerman dan masih hidup." Saya, yang menggebu-gebu, langsung merespons seperti ini: "Siap, Romo, saya langsung pesan bukunya." Romo langsung mencegah, "Bukan, bukan seperti itu caranya. Silakan baca-baca dulu dari internet secara perlahan, lalu resapi, baru kamu mulai memesan bukunya. Jangan tergesa-gesa."

Meski perjumpaan kami singkat, masih banyak yang bisa saya ceritakan tentang Romo Herry. Misalnya, saya terkesan dengan gairahnya dalam mengajar. Ia tidak hanya berbicara saja dan diam di satu tempat saat di kelas, melainkan terus bergerak sekaligus bercerita dengan gerak tubuhnya. Romo Herry juga dalam beberapa kesempatan selalu menanyakan apakah saya sudah ada di ruangan Microsoft Teams atau belum - "Apakah si Syarif sudah masuk?" -. Saya tidak tahu mengapa Romo menanyakan saya yang kurang signifikan ini. Mungkin menurut Romo, saya adalah orang yang sangat nakal, yang wajib mendapat tempaan ilmu di kelasnya, agar tidak menjadi pemikir yang salah jalan. Sungguh, apapun maksud beliau menanyakan itu, tidak mencegah saya merenungkan ini: Bahwa kematian seorang manusia yang demikian punya kecintaan total terhadap pengetahuan, adalah kehilangan besar untuk seluruh umat manusia.

Terakhir, dengan segala duka, saya menutup tulisan ini dengan perkataan Romo Herry sendiri: "Tidak ada yang sempurna, selama segala sesuatu itu masih ada di dunia."

Maka itu, selamat mencapai kesempurnaan, Romo. Terima kasih.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1