Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Mengenang Romo B. Herry Priyono

MENGENANG ROMO B. HERRY PRIYONO

galau

Hari ini hati begitu mendung, mendengar kabar Romo Herry Priyono, dosen saya di STF Driyarkara, meninggal dunia. Segalanya begitu mendadak, karena baru saja delapan hari lalu, saya melihat Romo bicara di Philofest ID dan seperti biasa, tampak sangat sehat dan bergairah. Perkenalan saya dengan Romo Herry mungkin baru sekitar dua tahun, dan tentu saja banyak yang sudah lebih lama kenal dengan beliau, terutama mereka yang kuliah di STF Driyarkara sejak S1 dan S2 (saya sendiri baru masuk tahun ini di program S3, meski sudah diajar beliau sejak program Matrikulasi). Meski perkenalannya relatif singkat, namun saya merasakan suatu kesedihan sekaligus kehilangan yang amat besar. Saya bertanya-tanya: mengapa bisa seperti itu?

Padahal, di sisi lain, ada sejumlah kenangan kurang enak berkaitan dengan beliau. Misalnya, di kelas pengantar filsafat yang diampu beliau di program Matrikulasi, saya pernah datang terlambat. Beliau melarang saya masuk kelas, meski saya jelaskan bahwa keterlambatan disebabkan oleh penundaan jadwal kereta api yang saya tumpangi dari Bandung. Beliau tidak menerima alasan apapun: terlambat ya terlambat. Akibat keterlambatan itulah, saya jadi harus mengulang program Matrikulasi di semester depannya, yang artinya menyia-nyiakan waktu studi sekitar enam bulan.

Ketika saya sudah lulus program Matrikulasi dan masuk ke studi doktoral, usul saya untuk mengangkat tema demotivasi juga kerap ditanggapi dingin oleh Romo. Romo pernah mengatakan kalau tema demotivasi ini seperti "fiksasi" dalam diri saya, seolah-olah semacam ambisi pribadi yang terbawa-bawa hingga ke toilet dan alam mimpi. Kata Romo, "Ide ini cocoknya untuk pamflet, bukan untuk jadi satu disertasi akademik." Dalam e-mailnya yang terakhir, beliau bahkan mengingatkan secara halus, jika saya meneruskan topik ini, saya bisa jadi bahan tertawaan di antara para ahli.

Pertanyaan kemudian muncul lagi: dengan serangkaian kenangan buruk semacam itu, mengapa saya bisa begitu sedih dan kehilangan?

Ternyata kesan-kesan kurang baik di atas, tidak bisa menutupi kekaguman saya pada disiplin dan kecerdasan seorang Romo Herry. Romo Herry punya kedisiplinan soal waktu, itu jelas, tapi tidak hanya itu: beliau juga sangat disiplin dalam hal berpikir. Saat menerangkan suatu gagasan, Romo Herry selalu rapi dalam menyusun premis-premis hingga sampai pada kesimpulan. Ia juga setia pada keketatan teks, yang membuatnya begitu hati-hati untuk mengeluarkan pendapat sendiri. Sungguh suatu sikap yang langka, ketika orang berbondong-bondong mengumbar opini sesuka hati, dan menganggap tidak perlu untuk mengacu pada pemikiran siapapun. Di sinilah saya mendapat pelajaran luar biasa: Belajar filsafat bisa membawa kita pada sikap rendah hati, karena sadar bahwa jangan-jangan segala sesuatunya, sudah pernah dipikirkan oleh orang lain dan kita hanya bisa meneruskan atau mengembangkan saja.

Selain itu, secara personal, saya yakin, Romo Herry juga mengingat saya tidak selalu dalam konteks yang buruk-buruk amat. Saat e-mail saya tidak dibalas lagi oleh beliau, saya curiga Romo sudah bosan berkomunikasi dengan saya yang keras kepala. Ternyata tidak. Di pertemuan kami yang terakhir di kelas Etika Spesialistik, Romo mengatakan begini, "Maaf Syarif, saya tidak membalas e-mail-mu, karena saya memikirkannya sungguh-sungguh. Saya baru mendapatkan insight untuk memberikanmu satu nama pemikir yang mungkin cocok. Namanya, Thomas Lemke, dia orang Jerman dan masih hidup." Saya, yang menggebu-gebu, langsung merespons seperti ini: "Siap, Romo, saya langsung pesan bukunya." Romo langsung mencegah, "Bukan, bukan seperti itu caranya. Silakan baca-baca dulu dari internet secara perlahan, lalu resapi, baru kamu mulai memesan bukunya. Jangan tergesa-gesa."

Meski perjumpaan kami singkat, masih banyak yang bisa saya ceritakan tentang Romo Herry. Misalnya, saya terkesan dengan gairahnya dalam mengajar. Ia tidak hanya berbicara saja dan diam di satu tempat saat di kelas, melainkan terus bergerak sekaligus bercerita dengan gerak tubuhnya. Romo Herry juga dalam beberapa kesempatan selalu menanyakan apakah saya sudah ada di ruangan Microsoft Teams atau belum - "Apakah si Syarif sudah masuk?" -. Saya tidak tahu mengapa Romo menanyakan saya yang kurang signifikan ini. Mungkin menurut Romo, saya adalah orang yang sangat nakal, yang wajib mendapat tempaan ilmu di kelasnya, agar tidak menjadi pemikir yang salah jalan. Sungguh, apapun maksud beliau menanyakan itu, tidak mencegah saya merenungkan ini: Bahwa kematian seorang manusia yang demikian punya kecintaan total terhadap pengetahuan, adalah kehilangan besar untuk seluruh umat manusia.

Terakhir, dengan segala duka, saya menutup tulisan ini dengan perkataan Romo Herry sendiri: "Tidak ada yang sempurna, selama segala sesuatu itu masih ada di dunia."

Maka itu, selamat mencapai kesempurnaan, Romo. Terima kasih.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat