Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Drama dan Sepakbola


Saya lupa sejak Piala Dunia kapan, mungkin 2010, tayangan ulang bisa menjadi sangat lambat, sehingga kita benar-benar menikmati momen ketika bulir keringat dari si pemain terlihat jatuh atau muncrat secara perlahan. Efek ini tentu menarik, karena jika saya menonton sejumlah tayangan YouTube dari Piala Dunia yang lalu-lalu, terutama sebelum tahun 1998, penggunaan kamera ini tidak terlalu banyak yang dengan demikian berdampak juga pada minimnya efek pada tayangan ulang. Namun rasanya dimulai dari Piala Dunia 1998 dan sesudah-sesudahnya, kamera di lapangan mulai banyak dan efek tayangan ulangnya pun kian beragam. Kamera, dalam hal ini, telah bertransformasi dari yang tadinya sekadar "memperlihatkan", menjadi "menceritakan". Kamera tidak lagi hanya menayangkan sepakbola, melainkan punya peran menghadirkan "drama sepakbola". Drama ini tidak lagi sekadar "ditemukan" (di dalam pertandingan itu sendiri), tetapi "diciptakan" (oleh beraneka perangkat dan aktor di luar sepakbola). 

Kita tahu, bahwa dalam pengertian formal tentang olahraga sepakbola, drama pertandingan tidak termasuk ke dalamnya. Olahraga sepakbola adalah olahraga yang melibatkan dua kubu dengan masing-masing sebelas pemain dan satu bola, yang bertujuan mencetak gol lebih banyak ke gawang lawan dalam rangka meraih kemenangan. Hal-hal terkait drama dan ketegangan di dalamnya, bukanlah bagian dari pengertian formal olahraga sepakbola dan lebih tepat dikatakan sebagai "ekstra-sepakbola". Kekecewaan dan tangisan sebuah kesebelasan karena gawangnya dijebol di menit-menit akhir pertandingan sehingga mereka harus tersingkir dalam sebuah kompetisi tidak akan membuat wasit menjadi iba sehingga mengubah skor pertandingan. Artinya, jika kita katakan bahwa sepakbola seringkali mengandung drama, penting untuk dijernihkan dulu bahwa drama bukanlah bagian esensial dalam olahraga sepakbola secara formal. 

Namun siapa tidak suka drama? Kita semua suka drama, asalkan bukan yang terjadi pada diri kita. Kita suka menonton drama orang lain, mungkin karena bukan kita yang mengalaminya. Demikian halnya dalam sepakbola. Rasanya tidak menarik jika sepakbola hanya tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah berdasarkan skornya. Kita memerlukan drama seperti kemarahan, kegembiraan, kekecewaan, dan hal-hal yang menunjukkan bahwa sepakbola bukan hanya dimainkan oleh pesepakbola, tetapi juga oleh manusia yang memiliki emosi. Drama itu tentu diperkuat oleh keberadaan penonton sepakbola yang kita tahu, paling ramai ketimbang olahraga lainnya. Tidak seperti tenis yang memerlukan keheningan, penonton sepakbola justru dibiarkan berisik dan bahkan intimidatif. Penonton membuat kalah menang menjadi tidak sekadar urusan skor, tapi berurusan dengan harapan banyak orang. Namun bagaimana dengan mereka yang menonton dari luar stadion atau melalui layar? 

Sebelum penggunaan kamera kian canggih, komentator adalah faktor penting yang membuat tayangan sepakbola dari layar menjadi "cerita". Ia memberikan narasi, ilustrasi, dan konteks tidak hanya tentang pertandingan, tapi juga tentang masing-masing pemain. Mungkin di antara kita ada yang ingat bagaimana komentator asal Islandia, Gudmundur Benediktsson, begitu histeris kala melihat negaranya mengalahkan Inggris di Piala Eropa 2016. Komentator mungkin semestinya "netral" dan hanya berbicara tentang jalannya pertandingan, tetapi ia begitu berpihak: "We are never going home! Never wake me from this amazing dream". Jauh sebelumnya, di Piala Dunia 1986, Victor Hugo Morales memberikan komentar epik atas gol solo run Maradona melawan Inggris, yang memberikan narasi bahwa itu bukan sekadar gol, tapi gol "dari Tuhan". 

Dalam pengertian sinematografi paling mendasar, ciri esensial dari film terletak pada dua hal yakni montage dan mise-en-scène. Montage diartikan sebagai penyuntingan, sementara mise-en-scène secara sederhana diartikan sebagai bagaimana atau dari sudut pandang mana suatu gambar diambil. Dalam tayangan sepakbola, biasanya kita akan diperlihatkan wajah pemain segera setelah peristiwa seperti terjadinya gol atau kegagalan memanfaatkan peluang. Tidak hanya wajah pemain, seringkali kita juga diperlihatkan wajah orang-orang di antara kerumunan penonton. Melalui montage tersebut, kita tidak hanya ingin diperlihatkan suatu fakta dalam sepakbola (gol, kegagalan peluang), tetapi reaksi pemain dan penonton terhadapnya dalam sebuah sekuens. Dengan demikian, terjadi sebuah cerita, sebuah narasi. 

Sementara dalam hal mise-en-scène, saya kerap memperhatikan dalam adu penalti (yang menariknya, kerap disebut dengan "drama adu penalti"). Adu penalti seringkali ditampilkan dari depan gawang atau dari punggung pemain, sehingga kita bisa melihat dengan jelas gestur pemain yang berhadap-hadapan. Bahkan sesaat setelah tendangan dilakukan, kita bisa melihat ekspresi dari kedua pemain sebagai reaksi atas hasil tendangan penaltinya. Setelah itu, kita tahu, kamera akan memperlihatkan wajah dari masing-masing pemain dan bahkan penonton untuk menciptakan "drama". 

Terlebih lagi, dengan olahraga sepakbola hari ini yang menggunakan teknologi VAR, keberadaan kamera yang banyak tidak hanya dalam rangka menghasilkan efek dramatis, tapi juga fakta tentang apa yang terjadi di lapangan. Namun meski banyaknya kamera ini juga bertujuan untuk menambah informasi, tetapi justru dampaknya adalah sekaligus membumbui dramanya: VAR dibuat supaya kita tahu "kejadian yang sebenarnya", dan "kejadian yang sebenarnya" adalah salah satu hal yang diselidiki dalam drama. Atas dasar itu, saat kita sama-sama sedang menyaksikan VAR, kita sedang berada dalam situasi dramatis kala berusaha mengetahui "kejadian yang sebenarnya", seperti kisah cinta dalam sinetron yang begitu menegangkan saat salah satu pasangan mengetahui identitas sebenarnya dari pasangan lainnya. 

Jadi, sepakbola memang sudah bukan sekadar tontonan olahraga. Kita ingin melihat keseluruhan ceritanya, tentang jatuh bangunnya seseorang di dalam satu pertandingan. Kamera membuatnya lebih berharga.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me