Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Fiksi dan Kehidupan Nyata


Tetapi apakah fiksi adalah benar-benar sesuatu yang tidak nyata? Tetapi apa itu kenyataan? Kalau saya mengarang tentang tokoh A dan dia punya perawakan dan sifat yang saya buat sendiri, tidakkah perawakan dan sifat tersebut, sadar tidak sadar, bersumber dari akumulasi pengalaman inderawi saya terhadap sejumlah orang di kehidupan nyata? Jika A adalah seorang pemabuk, tidakkah saya memikirkan seorang atau beberapa pemabuk dalam kehidupan saya? Demikian halnya jika A adalah seorang kutu buku, supir, aktor teater, dan banyak lagi. Maka apa yang dimaksud fiksi mungkin mengandung sosok, tempat, atau waktu yang tidak ada di kenyataan, tetapi kita tidak bisa simpulkan bahwa itu semua tiada hubungannya dengan kenyataan. Itu semua adalah nyata dalam batas tertentu, dan bahkan punya arti bagi kehidupan nyata. 

Lantas bagaimana cara kerja fiksi terhadap kehidupan nyata jika dia bukanlah kehidupan nyata? Mari mengambil contoh tokoh Alexei Fyodorovich Karamazov atau Alyosha dalam The Brothers Karamazov-nya Dostoevsky. Alyosha adalah seorang calon imam. Ditampilkan sebagai anak muda berusia sembilan belas di awal cerita, iman Alyosha kerap dibenturkan dengan kakaknya, Ivan, seorang ateis. Pertama, mungkin umumnya pembaca dapat memahami benturan keyakinan semacam ini, meski Alyosha dan Ivan bukanlah orang yang ada pada kehidupan nyata. Mengapa pembaca dapat mengerti? Bisa jadi: ada bagian dari dirinya yang terepresentasikan dalam Alyosha, ada juga bagian dirinya yang lain yang terepresentasikan dalam Ivan. Atau kalaupun tiada bagian dari dirinya yang ada pada tokoh-tokoh itu, pembaca tahu bahwa hal demikian ada (meski bukan terjadi pada dirinya) atau mungkin ada (akan terjadi pada dirinya atau orang lain). 

Kedua, fiksi menghadirkan suatu kompleksitas nilai yang mungkin dalam kehidupan nyata, bisa jadi terlampau kita simplifikasi. Misalnya, kita adalah seorang religius dan dengan demikian menganggap orang-orang ateis itu adalah kelompok manusia sesat, salah, dan akan disiksa di neraka. Namun apakah kita pernah berbincang dengan para ateis itu dan menanyakan mengapa mereka menjadi ateis? Mungkin tidak berminat. Namun dengan membaca kisah fiksi tentang tokoh Ivan, mungkin dalam arti tertentu kita bisa paham argumentasi para ateis. Pun sebaliknya, jika kita seorang ateis, bisa saja kita memandang orang beragama itu buruk, tetapi melalui pergulatan kita dengan tokoh Alyosha, kita jadi paham mengapa mereka yang religius berpikir demikian. 

Kita bisa beralih ke argumen Kwame Anthony Appiah yang berbicara tentang kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme mengajarkan kita untuk belajar tentang orang lain secara mendalam tanpa mesti setuju. Appiah menyuruh kita untuk membaca salah satunya kisah fiksi sebagai bagian dari usaha melakukan "dialog antar kebudayaan". Bagi mereka yang religius, kita tidak perlu menjadi ateis karena terpikat dengan argumen Ivan, tetapi kita harus tahu mengapa Ivan menjadi ateis. Membaca novel, bagi saya, adalah ibarat mengobrol langsung dengan mereka yang jalan pikirnya kita tidak mengerti. Namun dalam sebuah obrolan, kita diajak untuk memahami lebih dalam terkait sesuatu yang sebelumnya kita tidak mengerti atau kita tidak ingin mengerti. Mengapa bisa demikian? Karena dalam obrolan, sekali lagi, kita bersentuhan dengan kompleksitas, kita bersentuhan dengan narasi, suatu jalan pikir yang melalui sebuah pengembaraan, bukan karena terjadi begitu saja. 

Bahkan dalam diri seorang pembunuh pun, bisa jadi ada hal yang kita tidak mengerti. Bahwa ia telah menghilangkan nyawa seseorang adalah fakta yang tak terbantahkan, tetapi tentu ada hal yang menjadikannya demikian, suatu alasan yang "membenarkannya" meski setitik saja. Kita belum tentu punya nyali untuk mewawancarai pembunuh atau mengajaknya minum kopi demi memahami alasannya, tetapi kita punya novel, kita punya film, berbagai cerita fiksi yang membuat kita punya "ruang aman" untuk memahami jalan pikir si pembunuh. 

Dengan demikian, perkaranya menjadi bisa diubah bukan tentang benar atau salahnya seseorang, melainkan apakah kita mau mengerti narasi hidupnya atau tidak. Sudah ada kisah fiksi, kita bisa membaca apapun di sana. Tetapi ya harus diakui, usia kita tidak cukup panjang untuk mengerti semuanya. Terkadang lebih mudah menerima segala sesuatu sebagai salah atau benar. Kompleksitas adalah neraka.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat