Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Hidup Bukanlah Permainan


Dalam bukunya yang berjudul Games: Agency as Art (2020), C. Thi Nguyen mengurai tentang hakikat game, kegunaan-kegunaannya, termasuk juga problem yang ditimbulkannya. Sebagai permulaan, C. Thi Nguyen membandingkan antara game dan kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pada umumnya mencari sarana demi mencapai sebuah tujuan. Sebaliknya, dalam game, kita justru menikmati sarananya. Dengan demikian, terjadi motivasi yang berkebalikan (motivational inversion) antara game dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita mesti terus menyesuaikan dengan apapun bentuk ketidakpastian atau kemungkinan yang dilemparkan pada kita. Sementara pada game, kita tinggal menyesuaikan dengan aturan yang dirancang oleh desainer. Dalam kehidupan sehari-hari, lanjut C. Thi Nguyen, prinsip-prinsip tertentu sukar diubah (seperti misalnya fokus saya terhadap filsafat dan seni), sementara dalam game, segala sesuatu berlangsung lebih cair, kita cenderung dapat menjadi apapun dan menganut pandangan apapun. Hal terakhir inilah yang disebut C. Thi Nguyen sebagai agential fluidity

Lantas, apa yang dimaksud dengan game itu sendiri? C. Thi Nguyen kemudian mengutip Bernard Suits yang menuliskan bahwa bermain game adalah usaha sukarela untuk mengatasi hambatan yang tidak penting ("... voluntary attempt to overcome unnecessary obstacles"). Istilah "hambatan yang tidak penting" ini menarik. Sebagai contoh, kita tidak akan menggunakan tangga untuk memasukkan bola ke dalam keranjang pada permainan basket. Kita malah menerima "hambatan yang tidak penting" dengan mau bersusah-payah mendribel bola dan memasukkannya ke dalam keranjang dengan cara dilemparkan. Contoh lainnya adalah game lari maraton. Para peserta bersedia untuk lari menuju finis, padahal mereka bisa saja menggunakan taksi supaya sampai. Artinya, sebagaimana telah disinggung, tujuan game kadang tidak penting karena yang lebih difokuskan adalah soal bagaimana kita mencapai tujuan itu, tentang sarananya, tentang alatnya. 

C. Thi Nguyen bergerak lebih jauh dengan membedakan antara tujuan di dalam game dan tujuan bermain game. Tujuan di dalam game adalah gol yang kita tuju di dalam game itu sendiri, sementara tujuan bermain game bisa bermacam-macam, bisa untuk bersenang-senang, berlatih, melepas stress, mengembangkan kemampuan teknis, mengalahkan lawan, mengatasi tugas sulit, dan lainnya. Berangkat dari pembedaan tujuan tersebut, C. Thi Nguyen membedakan antara achievement play, yang tujuan game dan tujuan bermainnya cenderung selaras (main poker untuk mendapatkan uang, atlet olimpiade mengincar kemenangan untuk mendapatkan kehormatan) dan striving play, yang tujuan game dan tujuan bermainnya tidak selalu selaras (tidak apa-apa kalah, yang penting mendapat keseruan). 

Terhadap dua jenis permainan tersebut, bagaimana posisi C. Thi Nguyen? Posisi C. Thi Nguyen adalah membela striving play sebagai bentuk permainan yang lebih hakiki, yang lebih fokus pada sarana ketimbang tujuannya. Dalam striving play, menurut C. Thi Nguyen, kita selalu berusaha sekuat tenaga untuk menang, tetapi kita akan senantiasa "memanipulasi kemampuan kita untuk menang" demi keseruan permainan. Sebagai contoh, saya adalah seorang atlet tenis dan dalam suatu acara keluarga, saya harus main melawan saudara saya yang baru belajar tenis. Bisa saja saya memenangkan permainan dengan mudah tanpa memberinya kesempatan, tetapi jika saya mengincar keseruan, saya akan pura-pura menjadi pemula supaya game menjadi lebih imbang. C. Thi Nguyen membuktikan pentingnya striving play ini lewat keberadaan permainan yang disebut sebagai "stupid games". 

Stupid games adalah permainan yang menyenangkan karena para pemainnya mengejar kemenangan, tetapi bagian menyenangkannya justru ketika para pemainnya gagal mencapai kemenangan. C. Thi Nguyen memberikan beberapa contoh, tetapi rasanya lebih relevan jika saya memberi contoh permainan 17 Agustusan. Panjat pinang misalnya, memang punya tujuan untuk mengambil hadiah yang digantung di puncak pohon pinang, tetapi bagian lucunya justru jika banyak orang terpeleset saat memanjat pohon tersebut. Demikian halnya dengan lomba balap karung dan lomba makan kerupuk. 

Masuk pada topik lain dari game, lalu, apa sebenarnya fungsi dari bermain game? Game, dalam pengertian C. Thi Nguyen, adalah "crystallization of practicality". Kita bisa memahami suatu tindakan praktis melalui simulasi dalam game. Selain itu, game juga merupakan semacam metode untuk menangkap bentuk-bentuk agensi. Kita bisa memahami beraneka agensi dalam dunia melalui game. Sebagai contoh, dalam game tentang manajer restoran, kita berusaha menangkap agensi di dalam kerja sebuah restoran dan memahami tindakan-tindakan praktis apa saja yang terlibat di dalamnya (distribusi bahan, proses memasak, proses menyajikan, membuat daftar pesanan, dan sebagainya). 

Selain itu, game dengan artifisialitasnya juga menimbulkan fungsi yang lain. Game adalah sekaligus tempat pengungsian dari dunia nyata yang kejam. Dunia nyata adalah dunia yang seolah sudah paten dan diri kitalah yang mesti menyesuaikan diri untuk mencapai tujuan dalam dunia (misalnya, supaya bisa bekerja, kita harus sekolah). Sementara dalam game, kemampuan kita sudah disesuaikan dengan tujuan-tujuan dalam game (misalnya, bisa berkelahi, bisa lompat tinggi, bisa menembakkan senjata tanpa perlu benar-benar terlatih sebelumnya). Hal tersebut adalah bagian menyenangkan dalam game tetapi sekaligus artifisial: pada game, nilai-nilai disederhanakan, dibuat singular (siapa yang jahat, siapa yang baik; tidak peduli latar belakang pemain, kita hanya mengincar poin). Di sini C. Thi Nguyen kemudian masuk pada bahaya dari game. Game, menurut C. Thi Nguyen, mengancam kita dengan fantasi tentang kejelasan moral. 

Game melakukan simplifikasi nilai dalam kehidupan nyata, seolah-olah dunia nyata itu sejelas dan setunggal seperti dalam game. Selain itu, game juga berpotensi membuat kita melakukan gamifikasi terhadap kehidupan nyata: seolah-olah ukuran-ukuran dalam kehidupan nyata adalah seperti dalam game yang mudah diukur ("easily commensurable"). Selain itu, meski game adalah dunia artifisial, tetapi game tetap menawarkan separuh kenyataan. Saat kita mengalahkan teman kita dalam sebuah permainan, memang teman kita itu tidak terluka secara fisik, tetapi tetap kita merasakan bahwa kita lebih baik dari dirinya dalam beberapa hal. Terakhir, meski C. Thi Nguyen membela striving play dalam bukunya tersebut, ia tetap berhati-hati untuk melihat striving play sebagai sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, memperlakukan hidup seperti sebuah striving play justru berbahaya, seolah-olah setiap orang bisa dilihat sebagai alat pemuas kebutuhan kita sendiri. Simpulan C. Thi Nguyen cukup menarik: life is not a game.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1