Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Hidup Bukanlah Permainan


Dalam bukunya yang berjudul Games: Agency as Art (2020), C. Thi Nguyen mengurai tentang hakikat game, kegunaan-kegunaannya, termasuk juga problem yang ditimbulkannya. Sebagai permulaan, C. Thi Nguyen membandingkan antara game dan kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pada umumnya mencari sarana demi mencapai sebuah tujuan. Sebaliknya, dalam game, kita justru menikmati sarananya. Dengan demikian, terjadi motivasi yang berkebalikan (motivational inversion) antara game dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita mesti terus menyesuaikan dengan apapun bentuk ketidakpastian atau kemungkinan yang dilemparkan pada kita. Sementara pada game, kita tinggal menyesuaikan dengan aturan yang dirancang oleh desainer. Dalam kehidupan sehari-hari, lanjut C. Thi Nguyen, prinsip-prinsip tertentu sukar diubah (seperti misalnya fokus saya terhadap filsafat dan seni), sementara dalam game, segala sesuatu berlangsung lebih cair, kita cenderung dapat menjadi apapun dan menganut pandangan apapun. Hal terakhir inilah yang disebut C. Thi Nguyen sebagai agential fluidity

Lantas, apa yang dimaksud dengan game itu sendiri? C. Thi Nguyen kemudian mengutip Bernard Suits yang menuliskan bahwa bermain game adalah usaha sukarela untuk mengatasi hambatan yang tidak penting ("... voluntary attempt to overcome unnecessary obstacles"). Istilah "hambatan yang tidak penting" ini menarik. Sebagai contoh, kita tidak akan menggunakan tangga untuk memasukkan bola ke dalam keranjang pada permainan basket. Kita malah menerima "hambatan yang tidak penting" dengan mau bersusah-payah mendribel bola dan memasukkannya ke dalam keranjang dengan cara dilemparkan. Contoh lainnya adalah game lari maraton. Para peserta bersedia untuk lari menuju finis, padahal mereka bisa saja menggunakan taksi supaya sampai. Artinya, sebagaimana telah disinggung, tujuan game kadang tidak penting karena yang lebih difokuskan adalah soal bagaimana kita mencapai tujuan itu, tentang sarananya, tentang alatnya. 

C. Thi Nguyen bergerak lebih jauh dengan membedakan antara tujuan di dalam game dan tujuan bermain game. Tujuan di dalam game adalah gol yang kita tuju di dalam game itu sendiri, sementara tujuan bermain game bisa bermacam-macam, bisa untuk bersenang-senang, berlatih, melepas stress, mengembangkan kemampuan teknis, mengalahkan lawan, mengatasi tugas sulit, dan lainnya. Berangkat dari pembedaan tujuan tersebut, C. Thi Nguyen membedakan antara achievement play, yang tujuan game dan tujuan bermainnya cenderung selaras (main poker untuk mendapatkan uang, atlet olimpiade mengincar kemenangan untuk mendapatkan kehormatan) dan striving play, yang tujuan game dan tujuan bermainnya tidak selalu selaras (tidak apa-apa kalah, yang penting mendapat keseruan). 

Terhadap dua jenis permainan tersebut, bagaimana posisi C. Thi Nguyen? Posisi C. Thi Nguyen adalah membela striving play sebagai bentuk permainan yang lebih hakiki, yang lebih fokus pada sarana ketimbang tujuannya. Dalam striving play, menurut C. Thi Nguyen, kita selalu berusaha sekuat tenaga untuk menang, tetapi kita akan senantiasa "memanipulasi kemampuan kita untuk menang" demi keseruan permainan. Sebagai contoh, saya adalah seorang atlet tenis dan dalam suatu acara keluarga, saya harus main melawan saudara saya yang baru belajar tenis. Bisa saja saya memenangkan permainan dengan mudah tanpa memberinya kesempatan, tetapi jika saya mengincar keseruan, saya akan pura-pura menjadi pemula supaya game menjadi lebih imbang. C. Thi Nguyen membuktikan pentingnya striving play ini lewat keberadaan permainan yang disebut sebagai "stupid games". 

Stupid games adalah permainan yang menyenangkan karena para pemainnya mengejar kemenangan, tetapi bagian menyenangkannya justru ketika para pemainnya gagal mencapai kemenangan. C. Thi Nguyen memberikan beberapa contoh, tetapi rasanya lebih relevan jika saya memberi contoh permainan 17 Agustusan. Panjat pinang misalnya, memang punya tujuan untuk mengambil hadiah yang digantung di puncak pohon pinang, tetapi bagian lucunya justru jika banyak orang terpeleset saat memanjat pohon tersebut. Demikian halnya dengan lomba balap karung dan lomba makan kerupuk. 

Masuk pada topik lain dari game, lalu, apa sebenarnya fungsi dari bermain game? Game, dalam pengertian C. Thi Nguyen, adalah "crystallization of practicality". Kita bisa memahami suatu tindakan praktis melalui simulasi dalam game. Selain itu, game juga merupakan semacam metode untuk menangkap bentuk-bentuk agensi. Kita bisa memahami beraneka agensi dalam dunia melalui game. Sebagai contoh, dalam game tentang manajer restoran, kita berusaha menangkap agensi di dalam kerja sebuah restoran dan memahami tindakan-tindakan praktis apa saja yang terlibat di dalamnya (distribusi bahan, proses memasak, proses menyajikan, membuat daftar pesanan, dan sebagainya). 

Selain itu, game dengan artifisialitasnya juga menimbulkan fungsi yang lain. Game adalah sekaligus tempat pengungsian dari dunia nyata yang kejam. Dunia nyata adalah dunia yang seolah sudah paten dan diri kitalah yang mesti menyesuaikan diri untuk mencapai tujuan dalam dunia (misalnya, supaya bisa bekerja, kita harus sekolah). Sementara dalam game, kemampuan kita sudah disesuaikan dengan tujuan-tujuan dalam game (misalnya, bisa berkelahi, bisa lompat tinggi, bisa menembakkan senjata tanpa perlu benar-benar terlatih sebelumnya). Hal tersebut adalah bagian menyenangkan dalam game tetapi sekaligus artifisial: pada game, nilai-nilai disederhanakan, dibuat singular (siapa yang jahat, siapa yang baik; tidak peduli latar belakang pemain, kita hanya mengincar poin). Di sini C. Thi Nguyen kemudian masuk pada bahaya dari game. Game, menurut C. Thi Nguyen, mengancam kita dengan fantasi tentang kejelasan moral. 

Game melakukan simplifikasi nilai dalam kehidupan nyata, seolah-olah dunia nyata itu sejelas dan setunggal seperti dalam game. Selain itu, game juga berpotensi membuat kita melakukan gamifikasi terhadap kehidupan nyata: seolah-olah ukuran-ukuran dalam kehidupan nyata adalah seperti dalam game yang mudah diukur ("easily commensurable"). Selain itu, meski game adalah dunia artifisial, tetapi game tetap menawarkan separuh kenyataan. Saat kita mengalahkan teman kita dalam sebuah permainan, memang teman kita itu tidak terluka secara fisik, tetapi tetap kita merasakan bahwa kita lebih baik dari dirinya dalam beberapa hal. Terakhir, meski C. Thi Nguyen membela striving play dalam bukunya tersebut, ia tetap berhati-hati untuk melihat striving play sebagai sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, memperlakukan hidup seperti sebuah striving play justru berbahaya, seolah-olah setiap orang bisa dilihat sebagai alat pemuas kebutuhan kita sendiri. Simpulan C. Thi Nguyen cukup menarik: life is not a game.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me