Philofest, festival filsafat yang edisi perdananya dimulai bulan Desember 2020, ternyata berlanjut hingga edisi ketiga. Edisi ketiga ini istimewa karena untuk pertama kalinya digelar secara hibrid atau gabungan antara luring dan daring. Luringnya berlokasi di Pontianak dan beberapa orang, termasuk saya, diterbangkan ke sana oleh panitia, diketuai oleh Trio Kurniawan, yang entah punya uang darimana. Namun kami tidak ambil pusing karena kami pun tidak bermewah-mewah dengan hotel dan maskapai, bahkan konsumsi pun banyaknya beli sendiri. Artinya, meski punya uang untuk membelikan kami tiket pesawat, hal tersebut tidak serta merta membuat Philofest dapat dilabeli festival yang banyak uang. Mungkin lebih tepatnya: semakin punya uang, meski belum masuk kategori kaya raya. Hal yang lebih penting adalah kami, para pegiat filsafat yang selama ini hanya bertemu secara daring, akhirnya berkesempatan untuk bertemu muka.
Sejak momen pertama kami saling jumpa, hal yang pertama dilakukan adalah berdiskusi. Berdiskusi soal apa saja. Namun banyaknya, tentu, soal filsafat. Oh ya, di Philofest 2022 ini, saya diplot untuk berdebat dengan kawan dari filsafat UGM, Taufiqurrahman, tentang perbedaan pendekatan dalam ilmu sosial. Bung Taufiq membela naturalisme, sementara saya membela interpretivisme. Harus diakui bahwa teman-teman dari UGM sangat mendominasi Philofest kali ini. Mungkin ada sekitar delapan hingga sembilan orang berasal dari kampus tersebut. Fenomena apakah ini? Entah, yang pasti kampus dengan tradisi filsafat yang tak kalah kental seperti UI dan STF Driyarkara hanya sedikit menyumbangkan perwakilannya. Bahkan STF Driyarkara, tempat saya studi doktoral, diwakili oleh paling sedikit orang ketimbang dua pagelaran Philofest sebelumnya.
Iya, sepanjang dua malam saya berada di Pontianak, hal yang kami lakukan hanyalah berdiskusi dan berdiskusi. Di sana ada di antaranya: Sosiawan, Gema, Ainu, Rangga, Dimas, Derry, Amadea, dan orang-orang lainnya, yang selama ini cuma bisa berinteraksi via daring. Perjumpaan riil ini membuat suasana festival makin terasa, terlebih lagi Bung Trio selaku ketua panitia dapat dengan jeli menggabungkan debat-debat filsafat (yang menyeramkan itu) dengan bazaar dan kegiatan mahasiswa lainnya. Jadilah Philofest edisi ketiga menghadirkan suatu esensi dari festival, yakni "pesta" (yang tidak terlalu terasa di dua edisi sebelumnya akibat diselenggarakan secara daring).
Meski mata acaranya seru seperti biasanya, saya tidak akan menceritakan hal tersebut karena semuanya dapat ditonton di YouTube Philofest. Hal yang lebih penting untuk ditulis, bagi saya, adalah kenyataan bahwa festival filsafat yang tadinya diselenggarakan begitu saja atas inisiasi kawan-kawan komunitas secara non-profit dan pada pertamanya cuma mengandalkan uang donasi gereja, ternyata bisa terselenggara sampai tiga tahun berturut-turut. Tetap terjadinya kegiatan ini secara berkala menunjukkan masih antusiasnya para pegiat dan pembelajar filsafat. Kita mesti berterima kasih pada pandemi yang membuat orang-orang filsafat yang tadinya tersembunyi di balik tembok kampus atau tembok kamar, menampakkan dirinya lewat saluran daring yang begitu mudah diakses tidak hanya oleh orang-orang di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.
Philofest berikutnya rencananya akan digelar di Palembang. Jika benar-benar terjadi, tidakkah ini suatu kebanggaan tersendiri karena Philofest menjadi festival yang berhasil melewati "angka keramat" tiga kali penyelenggaraan? Terlebih lagi, acara ini tidak komersil dan tidak menarik minat sponsor-sponsor serius. Kalaupun kelak mulai dilirik sponsor-sponsor besar, kita berharap agar Philofest tidak kehilangan tajinya sebagai festival filsafat yang tidak kaleng-kaleng, melainkan tetap menampilkan tema-tema yang bikin berkerut-kerut dan sukar dimengerti. Bukan artinya Philofest adalah forum langitan dan menara gading, tetapi tidakkah kita perlu juga sesekali menantang kapasitas nalar untuk tidak sekadar berpikir hal-hal praktis? Setidaknya sekali dalam setahun, kita berpesta, merayakan metafisika.
Comments
Post a Comment