Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Philofest Luring Pertama


Philofest, festival filsafat yang edisi perdananya dimulai bulan Desember 2020, ternyata berlanjut hingga edisi ketiga. Edisi ketiga ini istimewa karena untuk pertama kalinya digelar secara hibrid atau gabungan antara luring dan daring. Luringnya berlokasi di Pontianak dan beberapa orang, termasuk saya, diterbangkan ke sana oleh panitia, diketuai oleh Trio Kurniawan, yang entah punya uang darimana. Namun kami tidak ambil pusing karena kami pun tidak bermewah-mewah dengan hotel dan maskapai, bahkan konsumsi pun banyaknya beli sendiri. Artinya, meski punya uang untuk membelikan kami tiket pesawat, hal tersebut tidak serta merta membuat Philofest dapat dilabeli festival yang banyak uang. Mungkin lebih tepatnya: semakin punya uang, meski belum masuk kategori kaya raya. Hal yang lebih penting adalah kami, para pegiat filsafat yang selama ini hanya bertemu secara daring, akhirnya berkesempatan untuk bertemu muka.

Sejak momen pertama kami saling jumpa, hal yang pertama dilakukan adalah berdiskusi. Berdiskusi soal apa saja. Namun banyaknya, tentu, soal filsafat. Oh ya, di Philofest 2022 ini, saya diplot untuk berdebat dengan kawan dari filsafat UGM, Taufiqurrahman, tentang perbedaan pendekatan dalam ilmu sosial. Bung Taufiq membela naturalisme, sementara saya membela interpretivisme. Harus diakui bahwa teman-teman dari UGM sangat mendominasi Philofest kali ini. Mungkin ada sekitar delapan hingga sembilan orang berasal dari kampus tersebut. Fenomena apakah ini? Entah, yang pasti kampus dengan tradisi filsafat yang tak kalah kental seperti UI dan STF Driyarkara hanya sedikit menyumbangkan perwakilannya. Bahkan STF Driyarkara, tempat saya studi doktoral, diwakili oleh paling sedikit orang ketimbang dua pagelaran Philofest sebelumnya. 

Iya, sepanjang dua malam saya berada di Pontianak, hal yang kami lakukan hanyalah berdiskusi dan berdiskusi. Di sana ada di antaranya: Sosiawan, Gema, Ainu, Rangga, Dimas, Derry, Amadea, dan orang-orang lainnya, yang selama ini cuma bisa berinteraksi via daring. Perjumpaan riil ini membuat suasana festival makin terasa, terlebih lagi Bung Trio selaku ketua panitia dapat dengan jeli menggabungkan debat-debat filsafat (yang menyeramkan itu) dengan bazaar dan kegiatan mahasiswa lainnya. Jadilah Philofest edisi ketiga menghadirkan suatu esensi dari festival, yakni "pesta" (yang tidak terlalu terasa di dua edisi sebelumnya akibat diselenggarakan secara daring). 

Meski mata acaranya seru seperti biasanya, saya tidak akan menceritakan hal tersebut karena semuanya dapat ditonton di YouTube Philofest. Hal yang lebih penting untuk ditulis, bagi saya, adalah kenyataan bahwa festival filsafat yang tadinya diselenggarakan begitu saja atas inisiasi kawan-kawan komunitas secara non-profit dan pada pertamanya cuma mengandalkan uang donasi gereja, ternyata bisa terselenggara sampai tiga tahun berturut-turut. Tetap terjadinya kegiatan ini secara berkala menunjukkan masih antusiasnya para pegiat dan pembelajar filsafat. Kita mesti berterima kasih pada pandemi yang membuat orang-orang filsafat yang tadinya tersembunyi di balik tembok kampus atau tembok kamar, menampakkan dirinya lewat saluran daring yang begitu mudah diakses tidak hanya oleh orang-orang di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. 

Philofest berikutnya rencananya akan digelar di Palembang. Jika benar-benar terjadi, tidakkah ini suatu kebanggaan tersendiri karena Philofest menjadi festival yang berhasil melewati "angka keramat" tiga kali penyelenggaraan? Terlebih lagi, acara ini tidak komersil dan tidak menarik minat sponsor-sponsor serius. Kalaupun kelak mulai dilirik sponsor-sponsor besar, kita berharap agar Philofest tidak kehilangan tajinya sebagai festival filsafat yang tidak kaleng-kaleng, melainkan tetap menampilkan tema-tema yang bikin berkerut-kerut dan sukar dimengerti. Bukan artinya Philofest adalah forum langitan dan menara gading, tetapi tidakkah kita perlu juga sesekali menantang kapasitas nalar untuk tidak sekadar berpikir hal-hal praktis? Setidaknya sekali dalam setahun, kita berpesta, merayakan metafisika.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1