Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Festivalisme



Saya agak labil jika mesti mengomentari festival secara umum karena pertama, festival tentu ada banyak dan beragam sehingga tidak bisa dipukul rata. Kedua, saya pernah diberi kesempatan untuk mencicipi beberapa posisi dalam festival mulai dari kurator, direktur artistik, jurnalis, pengunjung sampai kita sebut saja, inisiator, sehingga mesti menentukan sudut pandang terlebih dahulu sebelum mengutarakan pendapat. Sebagai titik berangkat, kita bisa mendefinisikan apa itu festival terlebih dahulu dan apa yang menjadi cirinya. Festival berkaitan dengan "pesta" atau "perayaan" yang melibatkan banyak orang. Orang banyak tentu biasa berkumpul dalam berbagai momen, tetapi dalam festival, orang-orang yang berkumpul tersebut dikondisikan, dibuat datang untuk sebuah tujuan yang tentunya bergantung dari tema festival itu sendiri. Dalam festival jazz, orang banyak dikondisikan untuk datang dan menikmati musik jazz; dalam festival film, orang banyak dikondisikan untuk datang dan menonton film; dalam festival keagamaan, orang banyak dikondisikan untuk datang dan menghayati upacara keagamaan. 

Namun justru karena banyak orang itulah, festival juga sekaligus menghadirkan berbagai kemungkinan. Meski judulnya festival film, orang bisa saja datang mencari makanan, mencari jodoh, mencari teman baru untuk berjejaring, dan bahkan tidak peduli dengan film yang diputar. Tapi kan, orang mencari makanan, jodoh, dan teman baru itu bisa saja dilakukan bukan dalam momen festival? Iya, tetapi dalam festival, semua kegiatan tersebut seolah bisa dijalankan tanpa banyak basa basi, karena dalam festival, kita sekaligus diandaikan berada di depan etalase. Etalase yang isinya tidak hanya tentang ragam film, ragam penampil jazz, ragam karya seni, tetapi juga ragam relasi sosial dan produk kebudayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin sukar bagi kita untuk langsung berkenalan dengan orang yang menarik perhatian, tetapi dalam festival, kita cenderung bisa langsung berkenalan karena diandaikan bahwa setidaknya orang yang diajak berkenalan tersebut sudah mempunyai satu kesamaan dengan kita, yaitu ya, ketertarikan akan festival. Selain itu, pengandaian lainnya, bahwa dalam festival, semua orang sedang bergembira dan mungkin sedang enggan untuk berurusan dengan rutinitasnya sehingga perasaannya tengah terbuka untuk berbagai kemungkinan baru. Artinya, festival juga punya kaitan erat dengan pengalaman yang berbeda dari biasanya. Mungkin di situlah salah satu letak "perayaan" dalam festival: perayaan akan pengalaman yang berbeda, bertemu banyak orang dengan segala kemungkinannya, melihat-lihat etalase dan "membeli" jika tertarik. 

Namun sekali lagi, festival punya banyak ragam dan sekarang ini apa-apa bisa disebut festival supaya bisa menarik minat pengunjung dan juga sponsor. Pengunjung tertarik pada istilah "festival" karena mengandaikan bisa bertemu banyak orang dengan segala kemungkinannya; sponsor tertarik pada istilah "festival" dengan alasan yang sama, yang dengan alasan tersebut ia berharap bahwa dari orang yang banyak itu, sebagian besar di antaranya menjadi terpapar informasi tentang produknya dan syukur-syukur menjadi konsumennya. Dalam pengertian demikian, festival juga menjadi lekat dengan transaksi ekonomi. Ada perputaran uang besar di sana. Oh ya, para pengisi acara juga sebagian mungkin senang terlibat dalam apa yang disebut "festival" karena itu artinya ia bisa berada dalam etalase, ia bisa masuk katalog, yang dengan itu ia punya kemungkinan lebih besar untuk "dibeli" baik dengan cara ditonton oleh audiens atau disponsori kelak oleh perusahaan tertentu. 

Apa yang bisa dikritik dari keceriaan semacam ini, yang punya tujuan mulia yakni membuat sebanyak mungkin orang senang? Festival, sekali lagi, banyak menyuguhkan hal baik: di sana ada banyak orang, ada transaksi ekonomi, ada relasi sosial, ada produk kebudayaan, ada etalase penampilan, ada aneka kemungkinan dan banyak lagi. Lantas, bagaimana kita bisa mengritiknya? Bukankah festival, dalam arti tertentu, justru bisa dianggap sebagai kulminasi aktivitas manusia? Manusia berlomba-lomba untuk berkarya supaya diapresiasi orang-orang, lalu dalam festival, mereka menemukan panggungnya, membuat orang bertemu satu sama lain: bertransaksi, bercinta, membangun koalisi, dan lainnya dalam suasana penuh keceriaan. 

Festival tentu saja punya usaha untuk menggaet sebanyak mungkin orang, sebanyak mungkin penampil atau pengisi acara, sebanyak mungkin sponsor, dan "sebanyak mungkin" lainnya karena di situlah sumber keceriaannya. Bukan festival namanya jika pengisi acaranya tunggal atau orang yang datang cuma belasan. Namun usaha menggaet "sebanyak mungkin" dihadapkan dengan kenyataan bahwa festival juga mengeksklusi yang lain melalui proses seleksi dan kurasi. Artinya, selalu ada yang tidak diajak, selalu ada yang dianggap tidak kompeten untuk menjadi bagian dari festival. Wajar? Tentu saja. Dalam festival film pendek, film berdurasi panjang tidak bisa diikutsertakan; dalam festival musik metal, band-band pop tidak bisa diikutsertakan; dalam festival seni kontemporer, seni-seni dengan gaya yang sudah usang tidak bisa diikutsertakan. Hal demikian adalah sesuatu yang lumrah karena festival adalah sekaligus juga festival-dengan-tema sehingga mereka yang di luar tema ya tidak usah ikut-ikutan. 

Namun dalam tema yang sama sekalipun, pengeksklusian tetap terjadi. Tidak semua film pendek dapat disertakan dalam festival film pendek; tidak semua seni kontemporer dapat disertakan dalam festival seni kontemporer, dan seterusnya. Mengapa tidak bisa semua disertakan? Karena itu tadi, ada kurasi dan seleksi, juga faktor keterbatasan durasi, faktor finansial, faktor tempat yang terbatas, sehingga mau tidak mau, mereka yang ikut haruslah dipilih atau terpilih. Bagaimana jika kita andaikan durasi yang panjang, finansial yang leluasa, tempat yang besar, apakah semua anggota yang berada di bawah tema tertentu dapat disertakan? Kelihatannya tidak juga, karena ujung-ujungnya, festival bukan semata-mata tentang kuantitas, tapi juga kualitas. Perlu ada orang yang punya kekuatan untuk menjadi "algojo" tentang siapa yang berhak mendapat panggung dan siapa yang tidak. "Algojo" tersebut umumnya tidak hanya berhadapan dengan pertimbangan estetik, tapi juga ekonomi, publik, dan bahkan moral (seperti faktor kedekatan dan balas budi). 

Inilah mungkin yang disebut sebagai "festivalisme", suatu keadaan yang membuat proyek keceriaan besar-besaran, ternyata memerlukan eksklusi besar-besaran juga. Artinya, untuk menampilkan keceriaan, kita memerlukan orang-orang yang tidak ceria, yang terlempar dari etalase karena dianggap tidak layak oleh sebagian "algojo". Bahkan hal yang lebih buruk dari festivalisme, adalah keceriaan yang tidak ditumpahkan untuk banyak orang itu, melainkan ujung-ujungnya hanya pada segelintir orang, yang mendapat lebih, dan pada akhirnya cuma menampilkan pada publik: serpihan-serpihannya, kesan-kesannya, agar seolah-olah meriah dan menyenangkan, padahal cuma tempelan, cuma proyeksi dari keceriaan. Pada titik itu, festivalisme adalah modus yang menjadikan banyak orang bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai alat: "Bikin festival gede-gedean yu, undang ini, undang itu, nanti sponsor pada mau, blablabla.." Suatu perputaran uang yang disitu-situ juga, dengan bumbu "nilai-nilai" luhur seperti budaya, kemanusiaan, kesenian, dan lain-lain supaya festival terlihat sebagai produk peradaban yang dahsyat. Festival tertentu mungkin benar adanya demikian, tetapi banyak festival lainnya cuma sekadar "kembang api" yang megah lalu selesai. Ketika pesta usai, sebagian orang tinggal menggondol uangnya, orang banyak kembali hidup dalam kesenyapan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me