Pada bulan September, saya mendapat undangan untuk mengisi forum di Kota Pekalongan, tepatnya dari kawan-kawan Lingkar Kajian Kota Pekalongan. Forum tersebut tadinya diselenggarakan bulan Januari 2023, tetapi tiba-tiba dimajukan ke tanggal 11 Desember 2022. Alasannya entah kenapa, mungkin supaya dipaskan dengan penutupan (baca: penghabisan) tahun anggaran (karena acara tersebut juga ternyata bekerjasama dengan DPRD Kota Pekalongan). Tidak masalah. Puspa (istri) dan saya memutuskan pergi bersama, hitung-hitung liburan. Judul forumnya adalah Anak Muda, Sains, dan Pembangunan Berkelanjutan. Saya menyiapkan materi tentang filsafat lingkungan serta memasukkan beberapa poin pemikiran Bruno Latour (kebetulan, karena saya baru saja membaca intens pemikiran Bruno Latour untuk forum lainnya).
Menyesuaikan dengan jadwal klinik Puspa, kami berangkat Sabtu malam dengan kereta dari stasiun Bandung. Sampai Pekalongan sekitar pukul dua pagi, panitia sudah menanti di stasiun dan siap mengantarkan kami ke penginapan. Lucu sekali, tidak lama setelah kami masuk mobil dengan disuguhi lagu Tompi, satu menit kemudian kami sudah sampai! (Tompi baru sampai menyanyikan bagian verse). Rupanya memang hotel tempat kami menginap berada hampir di seberang stasiun. Mungkin panitia serba salah. Mau dibiarkan, takut nyasar. Mau disuruh nyebrang sendiri, tidak enak. Akhirnya mereka rela menjemput, meski saya yakin mereka juga malas mesti bangun tengah malam. Namun biarlah, mungkin mereka dibayar.
Jam sembilan keesokan paginya, kami sarapan di hotel sebelum memberikan materi di ballroom yang juga berada di hotel yang sama. Siapa pesertanya? Ternyata ramai sekali. Mungkin ada dua ratusan anak-anak SMA dan kuliah tingkat awal. Mereka tampak antusias mengikuti acara, meskipun mungkin tidak paham-paham amat dengan apa yang saya paparkan (saya sudah biasa). Namun dugaan saya tidak sepenuhnya benar karena beberapa anak ternyata mengajukan pertanyaan yang lumayan menantang. Mereka tertarik dengan filsafat, dengan isu lingkungan dari sudut pandang filsafat, sehingga saya berpikir cukup keras untuk menjawabnya. Singkat cerita, forum terlewati dengan lancar, kami kembali ke kamar hotel untuk beristirahat sejenak, walau kemudian kebablasan hingga sore. Karena Puspa sudah harus masuk klinik keesokan harinya, malam itu juga kami menjadwalkan pulang naik kereta ke Bandung.
Ada waktu sekitar empat jam, kami bingung hendak ke mana untuk dapat dikatakan "telah mengunjungi Kota Pekalongan". Bagi kami berdua, ini adalah kunjungan pertama kali dan kami tidak mempunyai ide harus kemana untuk membeli oleh-oleh atau berfoto. Hampir seluruh waktu kami di Pekalongan hanya dihabiskan di hotel dan hotel, meski berada di Pekalongan, jelas tidak bisa dikatakan Pekalongan. Mengapa? Karena hotel diasumsikan adalah tempat menginap dengan citarasa yang "universal". Kalaupun ada nuansa kedaerahan, tetap saja hal demikian hanyalah pemanis supaya tamu-tamu merasa tetap berada di Pekalongan. Namun selebihnya: interior, makanan, perabotan, kasur, gaya keramahan, adalah hal yang nyaris sama saja di manapun.
Karena kami terlalu lelah, kami memutuskan untuk tidak ke mana-mana dan hanya makan di seberang hotel. Kebetulan di depan hotel ada makanan yang katanya khas Pekalongan, yakni nasi megono. Kami menyantapnya bersama mangut dan yah, karena itu satu-satunya "serpihan Pekalongan" yang bisa kami rasakan, kami harus bersikap kagum ("wah enak, beda banget"). Sampai pukul sembilan, tidak ada hal Pekalongan lain yang bisa kami cicipi dan akhirnya kami pulang naik kereta ke Bandung, menjalani suasana yang juga "universal", kereta yang tidak Pekalongan, tidak juga Bandung, tetapi kereta yang dibuat kurang lebih sama dengan kereta manapun di Indonesia (saya tidak berani menyebut dunia).
Meski waktunya singkat, perjalanan ini cukup berkesan bagi saya karena akhirnya bisa mengisi forum luring di daerah cukup jauh pasca pandemi. Dalam forum yang punya kaitan dengan pemerintah itu juga, saya punya kesempatan untuk memaparkan materi filsafat yang nyaris tidak dibuat terlalu mudah. Ini juga suatu kemewahan, karena itu artinya panitia tidak keberatan jika saya menyampaikan hal yang mengawang-awang. Hal berkesan lainnya adalah karena hubungan kami sedang dalam cobaan. Kepergian ke Pekalongan ini berharga karena kami akhirnya punya waktu berkualitas untuk berbincang secara intens. Pada akhirnya ini semua bukan tentang Pekalongan, tetapi tentang tempat yang lebih berharga, di hati manusia.
Comments
Post a Comment