Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Pekalongan


Pada bulan September, saya mendapat undangan untuk mengisi forum di Kota Pekalongan, tepatnya dari kawan-kawan Lingkar Kajian Kota Pekalongan. Forum tersebut tadinya diselenggarakan bulan Januari 2023, tetapi tiba-tiba dimajukan ke tanggal 11 Desember 2022. Alasannya entah kenapa, mungkin supaya dipaskan dengan penutupan (baca: penghabisan) tahun anggaran (karena acara tersebut juga ternyata bekerjasama dengan DPRD Kota Pekalongan). Tidak masalah. Puspa (istri) dan saya memutuskan pergi bersama, hitung-hitung liburan. Judul forumnya adalah Anak Muda, Sains, dan Pembangunan Berkelanjutan. Saya menyiapkan materi tentang filsafat lingkungan serta memasukkan beberapa poin pemikiran Bruno Latour (kebetulan, karena saya baru saja membaca intens pemikiran Bruno Latour untuk forum lainnya). 

Menyesuaikan dengan jadwal klinik Puspa, kami berangkat Sabtu malam dengan kereta dari stasiun Bandung. Sampai Pekalongan sekitar pukul dua pagi, panitia sudah menanti di stasiun dan siap mengantarkan kami ke penginapan. Lucu sekali, tidak lama setelah kami masuk mobil dengan disuguhi lagu Tompi, satu menit kemudian kami sudah sampai! (Tompi baru sampai menyanyikan bagian verse). Rupanya memang hotel tempat kami menginap berada hampir di seberang stasiun. Mungkin panitia serba salah. Mau dibiarkan, takut nyasar. Mau disuruh nyebrang sendiri, tidak enak. Akhirnya mereka rela menjemput, meski saya yakin mereka juga malas mesti bangun tengah malam. Namun biarlah, mungkin mereka dibayar. 

Jam sembilan keesokan paginya, kami sarapan di hotel sebelum memberikan materi di ballroom yang juga berada di hotel yang sama. Siapa pesertanya? Ternyata ramai sekali. Mungkin ada dua ratusan anak-anak SMA dan kuliah tingkat awal. Mereka tampak antusias mengikuti acara, meskipun mungkin tidak paham-paham amat dengan apa yang saya paparkan (saya sudah biasa). Namun dugaan saya tidak sepenuhnya benar karena beberapa anak ternyata mengajukan pertanyaan yang lumayan menantang. Mereka tertarik dengan filsafat, dengan isu lingkungan dari sudut pandang filsafat, sehingga saya berpikir cukup keras untuk menjawabnya. Singkat cerita, forum terlewati dengan lancar, kami kembali ke kamar hotel untuk beristirahat sejenak, walau kemudian kebablasan hingga sore. Karena Puspa sudah harus masuk klinik keesokan harinya, malam itu juga kami menjadwalkan pulang naik kereta ke Bandung. 

Ada waktu sekitar empat jam, kami bingung hendak ke mana untuk dapat dikatakan "telah mengunjungi Kota Pekalongan". Bagi kami berdua, ini adalah kunjungan pertama kali dan kami tidak mempunyai ide harus kemana untuk membeli oleh-oleh atau berfoto. Hampir seluruh waktu kami di Pekalongan hanya dihabiskan di hotel dan hotel, meski berada di Pekalongan, jelas tidak bisa dikatakan Pekalongan. Mengapa? Karena hotel diasumsikan adalah tempat menginap dengan citarasa yang "universal". Kalaupun ada nuansa kedaerahan, tetap saja hal demikian hanyalah pemanis supaya tamu-tamu merasa tetap berada di Pekalongan. Namun selebihnya: interior, makanan, perabotan, kasur, gaya keramahan, adalah hal yang nyaris sama saja di manapun. 

Karena kami terlalu lelah, kami memutuskan untuk tidak ke mana-mana dan hanya makan di seberang hotel. Kebetulan di depan hotel ada makanan yang katanya khas Pekalongan, yakni nasi megono. Kami menyantapnya bersama mangut dan yah, karena itu satu-satunya "serpihan Pekalongan" yang bisa kami rasakan, kami harus bersikap kagum ("wah enak, beda banget"). Sampai pukul sembilan, tidak ada hal Pekalongan lain yang bisa kami cicipi dan akhirnya kami pulang naik kereta ke Bandung, menjalani suasana yang juga "universal", kereta yang tidak Pekalongan, tidak juga Bandung, tetapi kereta yang dibuat kurang lebih sama dengan kereta manapun di Indonesia (saya tidak berani menyebut dunia). 

Meski waktunya singkat, perjalanan ini cukup berkesan bagi saya karena akhirnya bisa mengisi forum luring di daerah cukup jauh pasca pandemi. Dalam forum yang punya kaitan dengan pemerintah itu juga, saya punya kesempatan untuk memaparkan materi filsafat yang nyaris tidak dibuat terlalu mudah. Ini juga suatu kemewahan, karena itu artinya panitia tidak keberatan jika saya menyampaikan hal yang mengawang-awang. Hal berkesan lainnya adalah karena hubungan kami sedang dalam cobaan. Kepergian ke Pekalongan ini berharga karena kami akhirnya punya waktu berkualitas untuk berbincang secara intens. Pada akhirnya ini semua bukan tentang Pekalongan, tetapi tentang tempat yang lebih berharga, di hati manusia.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1