Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Argentina


Piala Dunia Qatar 2022 berakhir. Argentina juara dengan cara yang sangat dramatis. Messi mendapatkan keadilannya sebagai pemain terbaik dengan gelar terbaik. Saya bukan pendukung Argentina, tetapi inilah tim terbaik yang bisa saya dukung ketika Italia tidak lolos Piala Dunia. Alasannya tentu Messi dan Barcelona. Hari-hari saya di masa tahun-tahun 2010-an banyak dihibur oleh Barcelona dengan tiki taka-nya sehingga saya berterima kasih pada mereka. Tentu saja yang paling besar pada Messi. Messi sudah tidak di Barcelona, tetapi ia, bagi saya, selalu identik dengan Barcelona. 

Piala Dunia (dan juga Piala Eropa) bagi saya adalah penanda. Penanda berapa lama saya telah hidup dan mengingat suatu momen besar di dunia. Piala Dunia pertama yang saya ingat adalah AS 1994, itupun hanya momen melambungnya tendangan penalti Roberto Baggio di final. Piala Dunia 1994 tidak membuat saya menyukai sepakbola. Barulah pada Piala Eropa 1996, saya mulai sedikit-sedikit memperhatikan sepakbola dan menjatuhkan pilihan pada Italia sebagai tim favorit. Tidak ada alasan yang benar-benar rasional terkait mengapa saya memilih Italia sebagai tim kesukaan. Padahal di perhelatan tersebut, Italia tersingkir akibat tidak mampu menundukkan Jerman di partai terakhir grup C. Sejak momen itu, saya selalu menantikan momen empat tahunan yakni Piala Eropa dan Piala Dunia, menjadikannya (harus) sebagai pengalaman yang berkesan. 

Argentina, sekali lagi, bukanlah tim kesayangan saya. Tapi saya mendadak teringat sesuatu: saya selalu punya keberpihakan pada tim Tango, terutama jika menghadapi Brasil yang menurut saya terlalu kuat, terlalu dominan. Argentina juga kuat, tetapi mereka tidak seberuntung Brasil dalam mengoleksi gelar juara dunia. Juga saya terbayang momen Piala Dunia 2002, saat mereka gagal lolos fase grup akibat seri dengan Swedia. Waktu itu saya berusia 17 tahun dan mengingat bagaimana televisi menayangkan suasana kesedihan yang melanda warga Argentina: mereka tampak menjadikan sepakbola sebagai harapan, sebagai pelipur lara bagi kehidupan sehari-harinya yang mungkin berat. Kehidupan di Brasil juga tentu berat, tetapi tim sepakbolanya selalu mampu menghibur warga. Terlebih lagi di tahun 2002 itu, mereka menjadi juara di Korea dan Jepang. 

Jauh sebelum Messi, ada Maradona. Ia tidak hanya diidolakan, tapi juga di-Tuhan-kan. Mudah untuk dimengerti mengapa ia di-Tuhan-kan bagi warga Argentina dan juga Napoli: karena ia memberi kegembiraan dan harapan. Namun belakangan saya ketahui bahwa bukan cuma itu. Maradona juga punya keberpihakan. Mengapa ia memilih pindah ke Napoli (tim yang waktu itu tidak terlalu dominan) ketimbang Milan, Juventus, atau Inter, adalah karena Napoli adalah klub kebanggaan kelas pekerja dan Maradona punya keberpihakan pada kelas pekerja. Iya, Maradona bukan sekadar pemain sepakbola. Ia juga punya sikap. Punya keberpihakan. Maradona juga dikenal punya kedekatan dengan tokoh-tokoh sosialis seperti Fidel Casro, Evo Morales, dan Hugo Chavez. Maradona sempat bersuara pada beberapa peristiwa politik seperti kecamannya terhadap serangan militer Israel terhadap warga Palestina di jalur Gaza tahun 2014 dan jauh sebelumnya, ia melancarkan protes terhadap invasi AS di Irak tahun 2004. 

Atas alasan itu, Argentina patut dicintai. Messi tidak terdengar kiri seperti halnya Diego, tetapi Messi berada di Barcelona, yang secara ideologis berseberangan dengan "pusat" yakni Real Madrid. Barcelona adalah representasi wilayah Catalunya, sebagai wilayah yang ingin memerdekakan diri sejak lama dari Spanyol. Meski belum tentu Messi punya keberpihakan terhadap separatisme, tetapi ia membela tim tersebut dan turut membesarkannya. Menjadi momok bagi Real Madrid yang dilindung sang raja. 

Mungkin inilah yang disebut sebagai rasionalisasi. Saya berusaha mencari pembenaran mengapa saya boleh ikut gembira bersama Argentina. Mengapa saya boleh jatuh cinta pada Messi dan Barcelona. Karena mereka ada unsur kekirian, meski mungkin saya juga mengeliminasi fakta lain yang sebenarnya menunjukkan bahwa mereka tidak kiri-kiri amat. Bahkan saya juga mengabaikan fakta bahwa sepakbola telah berkembang menjadi industri raksasa yang hanya menguntungkan segelintir klub kaya. Sepakbola, tidak dapat dipungkiri, adalah olahraga yang paling laku diperdagangkan. Membuat tontonannya dikomodifikasi, para pemainnya menjadi tidak lebih dari mesin penghasil uang yang bisa dibuang kapan saja saat semakin aus. Mungkin saya hanya suka tim-tim itu tanpa sebab, tetapi kemudian menambahkan ideologi di baliknya, supaya sahih, supaya bermartabat. Padahal saya cuma penggemar fanatik pada umumnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat