Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Argentina


Piala Dunia Qatar 2022 berakhir. Argentina juara dengan cara yang sangat dramatis. Messi mendapatkan keadilannya sebagai pemain terbaik dengan gelar terbaik. Saya bukan pendukung Argentina, tetapi inilah tim terbaik yang bisa saya dukung ketika Italia tidak lolos Piala Dunia. Alasannya tentu Messi dan Barcelona. Hari-hari saya di masa tahun-tahun 2010-an banyak dihibur oleh Barcelona dengan tiki taka-nya sehingga saya berterima kasih pada mereka. Tentu saja yang paling besar pada Messi. Messi sudah tidak di Barcelona, tetapi ia, bagi saya, selalu identik dengan Barcelona. 

Piala Dunia (dan juga Piala Eropa) bagi saya adalah penanda. Penanda berapa lama saya telah hidup dan mengingat suatu momen besar di dunia. Piala Dunia pertama yang saya ingat adalah AS 1994, itupun hanya momen melambungnya tendangan penalti Roberto Baggio di final. Piala Dunia 1994 tidak membuat saya menyukai sepakbola. Barulah pada Piala Eropa 1996, saya mulai sedikit-sedikit memperhatikan sepakbola dan menjatuhkan pilihan pada Italia sebagai tim favorit. Tidak ada alasan yang benar-benar rasional terkait mengapa saya memilih Italia sebagai tim kesukaan. Padahal di perhelatan tersebut, Italia tersingkir akibat tidak mampu menundukkan Jerman di partai terakhir grup C. Sejak momen itu, saya selalu menantikan momen empat tahunan yakni Piala Eropa dan Piala Dunia, menjadikannya (harus) sebagai pengalaman yang berkesan. 

Argentina, sekali lagi, bukanlah tim kesayangan saya. Tapi saya mendadak teringat sesuatu: saya selalu punya keberpihakan pada tim Tango, terutama jika menghadapi Brasil yang menurut saya terlalu kuat, terlalu dominan. Argentina juga kuat, tetapi mereka tidak seberuntung Brasil dalam mengoleksi gelar juara dunia. Juga saya terbayang momen Piala Dunia 2002, saat mereka gagal lolos fase grup akibat seri dengan Swedia. Waktu itu saya berusia 17 tahun dan mengingat bagaimana televisi menayangkan suasana kesedihan yang melanda warga Argentina: mereka tampak menjadikan sepakbola sebagai harapan, sebagai pelipur lara bagi kehidupan sehari-harinya yang mungkin berat. Kehidupan di Brasil juga tentu berat, tetapi tim sepakbolanya selalu mampu menghibur warga. Terlebih lagi di tahun 2002 itu, mereka menjadi juara di Korea dan Jepang. 

Jauh sebelum Messi, ada Maradona. Ia tidak hanya diidolakan, tapi juga di-Tuhan-kan. Mudah untuk dimengerti mengapa ia di-Tuhan-kan bagi warga Argentina dan juga Napoli: karena ia memberi kegembiraan dan harapan. Namun belakangan saya ketahui bahwa bukan cuma itu. Maradona juga punya keberpihakan. Mengapa ia memilih pindah ke Napoli (tim yang waktu itu tidak terlalu dominan) ketimbang Milan, Juventus, atau Inter, adalah karena Napoli adalah klub kebanggaan kelas pekerja dan Maradona punya keberpihakan pada kelas pekerja. Iya, Maradona bukan sekadar pemain sepakbola. Ia juga punya sikap. Punya keberpihakan. Maradona juga dikenal punya kedekatan dengan tokoh-tokoh sosialis seperti Fidel Casro, Evo Morales, dan Hugo Chavez. Maradona sempat bersuara pada beberapa peristiwa politik seperti kecamannya terhadap serangan militer Israel terhadap warga Palestina di jalur Gaza tahun 2014 dan jauh sebelumnya, ia melancarkan protes terhadap invasi AS di Irak tahun 2004. 

Atas alasan itu, Argentina patut dicintai. Messi tidak terdengar kiri seperti halnya Diego, tetapi Messi berada di Barcelona, yang secara ideologis berseberangan dengan "pusat" yakni Real Madrid. Barcelona adalah representasi wilayah Catalunya, sebagai wilayah yang ingin memerdekakan diri sejak lama dari Spanyol. Meski belum tentu Messi punya keberpihakan terhadap separatisme, tetapi ia membela tim tersebut dan turut membesarkannya. Menjadi momok bagi Real Madrid yang dilindung sang raja. 

Mungkin inilah yang disebut sebagai rasionalisasi. Saya berusaha mencari pembenaran mengapa saya boleh ikut gembira bersama Argentina. Mengapa saya boleh jatuh cinta pada Messi dan Barcelona. Karena mereka ada unsur kekirian, meski mungkin saya juga mengeliminasi fakta lain yang sebenarnya menunjukkan bahwa mereka tidak kiri-kiri amat. Bahkan saya juga mengabaikan fakta bahwa sepakbola telah berkembang menjadi industri raksasa yang hanya menguntungkan segelintir klub kaya. Sepakbola, tidak dapat dipungkiri, adalah olahraga yang paling laku diperdagangkan. Membuat tontonannya dikomodifikasi, para pemainnya menjadi tidak lebih dari mesin penghasil uang yang bisa dibuang kapan saja saat semakin aus. Mungkin saya hanya suka tim-tim itu tanpa sebab, tetapi kemudian menambahkan ideologi di baliknya, supaya sahih, supaya bermartabat. Padahal saya cuma penggemar fanatik pada umumnya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1