Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Idealisme


Mungkin saya termasuk orang yang masih melakukan hal yang kurang lebih sama dengan sepuluh sampai lima belas tahun lalu: berfilsafat, bermusik, dan menulis (meski soal bermusik sudah tidak lagi seintens dulu). Apakah boleh bangga dengan hal demikian? Bisa iya, karena artinya saya berhasil mempertahankan apa yang disebut sebagai "idealisme" atau sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang ideal sedari dulu; namun bisa juga tidak, karena dari sudut pandang lain, saya terlihat "di situ-situ saja", tidak berkembang, enggan mencoba sesuatu yang baru. Saya sejujurnya tidak peduli dengan sudut pandang manapun itu karena hal yang lebih penting sekarang bukan lagi terlihat keren dengan idealisme tersebut, tetapi apakah yang saya kerjakan ini dapat menghidupi diri sendiri atau tidak (soal kebermanfaatan bagi banyak orang, jujur, saya kian tidak percaya dengan "idealisme" semacam itu). 

Namun saya melihat sekeliling, pada beberapa teman, yang tidak lagi menganggap idealisme sebagai hal yang krusial lagi - idealisme sebagaimana dipahami sebagai "cita-cita ideal dari masa silam". Di antara mereka, ada yang dulunya senang bermain musik eksperimental dan tidak peduli sama sekali apakah orang lain mau dengar atau tidak; ada yang fokus pada kesufian, menolak duniawi dan mempraktikkan kezuhudan; ada yang dulunya pembaca sastra yang hebat, segala buku dilahap; ada juga mereka yang tadinya penekun filsafat, ikut banyak kelas dan selalu bicara filsafat. Sekarang? Banyak di antara mereka sudah tidak berada di wilayah tersebut dan bahkan menganggap kegiatan demikian sudah menjadi asing. Asing dari kehidupannya dan telah tertimbun menjadi kenangan masa silam. Sejumlah teman saya sudah terlalu sibuk mencari uang dan bahkan rela menjadi budak kapital. 

Tentu saja saya oke-oke saja dengan hal tersebut. Tidak juga menganggap apa yang saya lakukan adalah hal yang lebih baik ketimbang mereka. Justru saya "menyalahkan" kondisi keseluruhan, mengapa dunia ini begitu tidak ramah pada idealisme? Mengapa sistem selalu membuat orang kehilangan apa yang menjadi minatnya yang terdalam, sehingga harus tunduk pada sikap yang disebut sebagai "realistis"? Apakah memang segala hal yang menjadi cita-cita kita di masa lampau, memang pada akhirnya hanya akan menjadi kenangan dan hanya segelintir orang saja yang kelak mampu mewujudkannya? Atau sebenarnya tidak ada yang benar-benar hilang, melainkan menjadi suatu apalah yang dinamakan soft skill yang sadar tidak sadar, tetap terpakai dalam menjalani kehidupan "nyata"? Atau jangan-jangan, setiap orang tetap menjalani idealismenya, tetapi bersalin rupa menjadi "keluarga" atau "bertahan hidup"? 

Namun apa yang pernah menjadi idealisme tersebut, rasanya tidak bisa dikatakan lenyap begitu saja meski orang-orang tersebut sudah demikian sibuk ditelan rutinitas. Idealisme yang pernah dikejar di masa lampau, tetap berharga, dan berharganya itu justru bisa jadi karena tidak tercapai! Mengapa demikian? Mungkin, ini hanya mungkin, bahwa idealisme yang telah tercapai, kadang malah begitu bertentangan dengan bayangan kita sebelumnya. Misalnya, saya tidak menyangka bahwa menjadi penulis itu ternyata juga semacam penderitaan karena didesak untuk memiliki inspirasi setiap harinya. Dulu saya kira menjadi penulis itu keren-keren saja: nulis, nongkrong di kafe, menikmati senja, sambil menanti inspirasi. Dalam beberapa hal ada benarnya, tetapi hal buruknya ternyata lebih banyak: dikejar-kejar klien, kadang tidak ada honornya, royalti kecil dan entah dibayar kapan, dan banyak lagi. 

Jadi, apa yang membuat idealisme yang tidak tercapai itu berharga? Karena ya itu, karena tidak tercapai itulah! Ketidaktercapaian akan suatu cita-cita adalah hal yang juga hidup bersama kita, mungkin diturunkan pada anak-anak kita kelak, mungkin diajarkan pada murid-murid kita nanti, atau dihidupi bersama dalam suatu kenangan yang panjang dan mendalam, menciptakan perandai-andaian yang menghantui kita, tapi juga sekaligus menemani.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me