Mungkin saya termasuk orang yang masih melakukan hal yang kurang lebih sama dengan sepuluh sampai lima belas tahun lalu: berfilsafat, bermusik, dan menulis (meski soal bermusik sudah tidak lagi seintens dulu). Apakah boleh bangga dengan hal demikian? Bisa iya, karena artinya saya berhasil mempertahankan apa yang disebut sebagai "idealisme" atau sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang ideal sedari dulu; namun bisa juga tidak, karena dari sudut pandang lain, saya terlihat "di situ-situ saja", tidak berkembang, enggan mencoba sesuatu yang baru. Saya sejujurnya tidak peduli dengan sudut pandang manapun itu karena hal yang lebih penting sekarang bukan lagi terlihat keren dengan idealisme tersebut, tetapi apakah yang saya kerjakan ini dapat menghidupi diri sendiri atau tidak (soal kebermanfaatan bagi banyak orang, jujur, saya kian tidak percaya dengan "idealisme" semacam itu).
Namun saya melihat sekeliling, pada beberapa teman, yang tidak lagi menganggap idealisme sebagai hal yang krusial lagi - idealisme sebagaimana dipahami sebagai "cita-cita ideal dari masa silam". Di antara mereka, ada yang dulunya senang bermain musik eksperimental dan tidak peduli sama sekali apakah orang lain mau dengar atau tidak; ada yang fokus pada kesufian, menolak duniawi dan mempraktikkan kezuhudan; ada yang dulunya pembaca sastra yang hebat, segala buku dilahap; ada juga mereka yang tadinya penekun filsafat, ikut banyak kelas dan selalu bicara filsafat. Sekarang? Banyak di antara mereka sudah tidak berada di wilayah tersebut dan bahkan menganggap kegiatan demikian sudah menjadi asing. Asing dari kehidupannya dan telah tertimbun menjadi kenangan masa silam. Sejumlah teman saya sudah terlalu sibuk mencari uang dan bahkan rela menjadi budak kapital.
Tentu saja saya oke-oke saja dengan hal tersebut. Tidak juga menganggap apa yang saya lakukan adalah hal yang lebih baik ketimbang mereka. Justru saya "menyalahkan" kondisi keseluruhan, mengapa dunia ini begitu tidak ramah pada idealisme? Mengapa sistem selalu membuat orang kehilangan apa yang menjadi minatnya yang terdalam, sehingga harus tunduk pada sikap yang disebut sebagai "realistis"? Apakah memang segala hal yang menjadi cita-cita kita di masa lampau, memang pada akhirnya hanya akan menjadi kenangan dan hanya segelintir orang saja yang kelak mampu mewujudkannya? Atau sebenarnya tidak ada yang benar-benar hilang, melainkan menjadi suatu apalah yang dinamakan soft skill yang sadar tidak sadar, tetap terpakai dalam menjalani kehidupan "nyata"? Atau jangan-jangan, setiap orang tetap menjalani idealismenya, tetapi bersalin rupa menjadi "keluarga" atau "bertahan hidup"?
Namun apa yang pernah menjadi idealisme tersebut, rasanya tidak bisa dikatakan lenyap begitu saja meski orang-orang tersebut sudah demikian sibuk ditelan rutinitas. Idealisme yang pernah dikejar di masa lampau, tetap berharga, dan berharganya itu justru bisa jadi karena tidak tercapai! Mengapa demikian? Mungkin, ini hanya mungkin, bahwa idealisme yang telah tercapai, kadang malah begitu bertentangan dengan bayangan kita sebelumnya. Misalnya, saya tidak menyangka bahwa menjadi penulis itu ternyata juga semacam penderitaan karena didesak untuk memiliki inspirasi setiap harinya. Dulu saya kira menjadi penulis itu keren-keren saja: nulis, nongkrong di kafe, menikmati senja, sambil menanti inspirasi. Dalam beberapa hal ada benarnya, tetapi hal buruknya ternyata lebih banyak: dikejar-kejar klien, kadang tidak ada honornya, royalti kecil dan entah dibayar kapan, dan banyak lagi.
Jadi, apa yang membuat idealisme yang tidak tercapai itu berharga? Karena ya itu, karena tidak tercapai itulah! Ketidaktercapaian akan suatu cita-cita adalah hal yang juga hidup bersama kita, mungkin diturunkan pada anak-anak kita kelak, mungkin diajarkan pada murid-murid kita nanti, atau dihidupi bersama dalam suatu kenangan yang panjang dan mendalam, menciptakan perandai-andaian yang menghantui kita, tapi juga sekaligus menemani.
Comments
Post a Comment