Sudah tiga bulan berlalu dari masalah itu, bagaimana kabarmu?
Baik, membaik, tentu saja perasaan kadang masih saja naik turun. Sesekali saya merasa terpuruk, tapi tak sesering dulu, pas awal-awal kejadian.
Apa yang kamu lihat sekarang?
Saya kehilangan banyak hal, tentu saja, tapi saya juga mendapatkan banyak hal sekaligus.
Apa misalnya?
Orang-orang. Saya kira kehidupan saya menjadi terbuka terhadap berbagai macam orang. Dulu saya punya pikiran begini: karena saya menganut ideologi A, maka saya tak bisa bergaul dengan orang-orang di luar ideologi A itu. Mungkin saya bisa saja ngobrol-ngobrol bersama mereka, tetapi tak bisa berlama-lama dan seringkali merasa terpaksa. Sekarang saya merasa senang bisa ngobrol dengan orang-orang yang dulu mungkin tak terpikirkan seperti kyai di pesantren, anggota ormas, tukang ubi, penjual nasi kuning dan lain-lain. Bukan artinya dulu saya tidak bisa ngobrol dengan mereka, tetapi sekarang saya ngobrol dengan rasa kagum dan keinginan belajar yang tinggi. Dari hati yang terdalam, saya benar-benar mengagumi mereka, karena saya tak bisa seperti mereka.
Kalau dulu memang kamu seperti apa?
Yah, mungkin saya ngobrol dengan anggota ormas, pernah, tetapi dengan mental nge-judge, meski dalam hati saja. Atau saya ngobrol dengan para pedagang tiap pagi, sambil sarapan, tapi obrolan-obrolan itu hanya basa basi saja, karena mungkin saya ingin terkesan hangat dan ramah, atau ingin menjadikan mereka sebagai bahan cerita di kelas atau tulisan, "Tadi saya bertemu tukang nasi goreng, lalu...".
Jadi, bagaimana pertemananmu sekarang?
Secara kuantitas tentu tidak sebanyak dulu, tetapi saya merasa bahwa sedikit teman tapi bermutu itu jauh lebih berharga. Saat saya memiliki reputasi baik, ternyata banyak orang merapat untuk menjadi teman. Namun saat saya terpuruk, baru terlihat mana teman sejati. Mereka kadang hadir dari latar belakang yang tak disangka-sangka.
Bagaimana pandanganmu tentang filsafat sekarang?
Jujur, ketertarikan saya terhadapnya menjadi jauh menurun, bahkan kadang malas sekali untuk mengingat-ngingatnya. Alasannya, saya sedang menjalani filsafat sekarang, meresapinya pada tubuh dan tindakan. Membicarakannya malah membuat filsafat menjadi terpisah. Dengan saya menghayatinya dalam tubuh dan tindakan, saya menjadi sadar bahwa setiap orang pada dasarnya berfilsafat.
Bagaimana pandanganmu tentang dunia akademik sekarang?
Sedari dulu saya tak punya kekaguman berlebihan terhadap dunia akademik. Itu hanya perhiasan saja supaya kita punya kedudukan yang lumayan di masyarakat. Padahal biasa-biasa saja. Mau dia itu doktor, profesor dalam bidang bisnis, belum tentu dia bisa berdagang sate di pinggir jalan. Kita bisa bilang, "Kan level doktor dan profesor itu sudah konseptual, bukan lagi berkutat di dunia materi dengan melayani pembeli." Saya pikir pandangan demikian keliru, karena tukang sate itu juga berpikir konseptual. Bedanya, dia memikirkannya sambil bertindak dan sepaket dengan tindakannya.
Apa yang kamu rancang untuk hari-hari ke depan?
Saya mulai menikmati hidup sebagai pebisnis. Hal yang sulit pada awalnya adalah memindahkan pikiran, tetapi yang jauh lebih rumit sekarang adalah mengubah kebiasaan tubuh. Tubuh pebisnis adalah tubuh yang selalu berada dalam risiko dan ketidakpastian. Hari ini bisa laku, besoknya bisa zonk sama sekali. Mungkin mirip seperti saya dulu yang juga bekerja sebagai freelancer. Tapi pebisnis sekaligus menanggung hal-hal seperti upah kerja, biaya sewa, dan lain-lain yang bikin saya harus berpikir lebih sering dari sebelumnya. Untuk saat ini, saya tak berpikir apapun tentang bagaimana hidup ke depan. Berjuang saja sebisa-bisa setiap harinya.
Comments
Post a Comment