Skip to main content

Tembakan

The Shot atau Tembakan adalah cerpen karya Aleksandr Pushkin yang dipublikasikan tahun 1831. Saya tahu cerpen tersebut dari wawancara dengan eksil bernama Pak Awal Uzhara yang tinggal di Uni Soviet/ Rusia selama lebih dari lima puluh tahun dan tidak bisa pulang karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia (akibat alasan politik dan ideologis). Cerita Tembakan bagi saya begitu menarik sampai-sampai saya jadikan naskah teater (atas inspirasi dari Pak Awal juga) dan dipentaskan di beberapa kegiatan kampus.  Tembakan bercerita tentang Silvio, pensiunan tentara yang memiliki hutang duel dengan seseorang yang disebut sebagai Pangeran (" the Count "). Kilas balik ke beberapa tahun silam, Silvio pernah melakukan duel adu tembak dengan Pangeran karena suatu permasalahan. Duel adu tembak ini berlangsung dengan cara diundi siapa yang menembak duluan untuk kemudian bergantian (jika tembakan pertama tidak berhasil mematikan lawan). Pangeran mendapat giliran pertama dan tembaka

Dwilogi Novel Padang Bulan: Sastra Motivasi dan Tampak Keren


Setelah tandas membaca Taiko yang tebalnya 1140 halaman, saya coba cari novel yang sekiranya tidak terlalu berat untuk diselesaikan. Akhirnya saya temukan novel ini: Dwilogi Padang Bulan karya penulis Andrea Hirata yang naik daun oleh sebab Laskar Pelangi-nya. Saya belum membaca novel dia yang manapun. Ini adalah yang perdana.

Hanya dua hari saya perlukan untuk menyelesaikan kedua buku yang terkemas dalam dwilogi Padang Bulan yaitu Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Tidak ada kerut kening atau membulak-balik halaman ke belakang untuk menyusun kepingan memori karena tertumpuk alur atau penokohan yang kompleks. Teknik bercerita Andrea sangat mengalir, ringan, dan tak jarang membuat saya menyunggingkan senyuman. Senyum ini bisa disebabkan oleh hal yang memang mengandung kejenakaan, bisa juga karena saya tak habis pikir: Mengapa bisa tulisan semacam ini jadi seperti apa yang dicapkan di sampul depannya: Mega Bestseller -Terjual 25.000 eksemplar dalam 2 minggu. Pertanyaan kemudian muncul: Orang banyak yang tidak paham sastra, atau malah saya?

Tentu saja saya punya sejumlah argumen mengapa novel Andrea Hirata ini tidak pantas disejajarkan dengan penulis Indonesia lain sekelas Ayu Utami atau Nukila Amal misalnya. Pertama, adalah bagaimana Andrea begitu gatal ingin memamerkan sejumlah referensi "tampak keren" agar dirinya terlihat mempunyai wawasan yang melimpah. Berikut contoh uraiannya:

1) Kini ia duduk di depanku, sesosok perempuan perkasa, dengan lengan lebih besar dari lenganku. Dua orang petinju kulihat telah menguasai perempuan itu: Sugar Ray Leonard di lehernya, Thomas Hearns di bahunya. Kakinya kukuh seperti rusa Thomson.

2) Tujuh pionnya yang tersisa menjelma menjadi tujuh samurai: Kambei Shimada, Katsushiro, Kyuzo, Gorobei, Shichiroji, Heihachi, dan Kikuchiyo. 
Ketujuh samurai berjibaku secara kesatria walau kekuatan tak berimbang. Shichiroji tewas. Sisa enam pasukan Maryamah menjelma menjadi The Braveheart -WilliamWalace- dan lima pembebas Skotlandia sampai William Wallace mangkat. 
Lima warrior Skotlandia yang tersisa langsung berubah menjadi Power Rangers. Mereka berperang tak kenal takut. Menteri Syamsuri Abidin yang keji menghabisi Ranger Pink. Penonton berulang kali mengejek Maryamah agar meletakkan pedangnya di tanah, namun perempuan itu bertekad untuk membela kehormatannya sampai titik darah penghabisan.
Empat pion terakhir Maryamah mengubah dirinya menjadi Kura-Kura Ninja. Pertempuran sengit meletus sampai kura-kura Donatello mengembuskan napas yang terakhir. Tiga prajurit tersisa dengan cepat menjelma menjadi The Three Musketeers. Dalam sebuah penyergapan, D'Artagnan, salah satu dari Musketeers menjadi almarhum lantaran dibunuh luncus Syamsuri Abidin.

Dari segelintir paragraf yang diuraikan di atas, simak bagaimana penulis begitu ingin memperlihatkan keluasan wawasannya akan budaya pop dan pengetahuan umum. Hal tersebut tidak berlangsung dalam sedikit halaman, melainkan mendominasi seisi buku. Mungkin bagi sebagian pembaca, hal ini amat terpuji. Namun bagi pembaca yang sudah biasa membaca novel-novel berbobot yang ditulis oleh penulis berwawasan betul-betul luas, mungkin akan merasa upayanya ini justru menunjukkan kekurangan wawasan -ketidakpercayadirian akut sehingga harus mencomot istilah-istilah yang "tampak keren"-.

Pertanyaan berikutnya adalah: Mengapa harus dijadikan dwilogi? Jujur, saya baru mendengar istilah dwilogi. Yang lebih umum barangkali trilogi ataupun -belakangan- tetralogi. Jika mau dibagi berdasarkan tema ataupun penokohan, baik Padang Bulan maupun Cinta di Dalam Gelas bisa dibilang mirip-mirip. Keduanya masih berpusat pada dua orang tokoh utama yaitu Ikal dan Maryamah. Bahasa gampangnya: Buku ini tidak perlu diberi label dwilogi, atau malah tak perlu dibagi dalam dua buku. Satu buku saja sudah cukup. Kecurigaan saya, diberi istilah dwilogi, lagi-lagi, demi teknik pemasaran yang berbasiskan istilah-istilah "tampak keren".

Terakhir, soal makna. Novel ini -salah, dwilogi novel ini- barangkali bertemakan sesuatu yang sedang digandrungi oleh masyarakat kita. Temanya sangat memotivasi: Perjuangan Maryamah yang kehilangan ayah sejak kecil, untuk kemudian berjuang mencari pekerjaan, sampai akhirnya menjadi perempuan pendulang timah pertama di dunia. Belum habis sampai situ, Maryamah melanjutkan perjuangannya dengan mengalahkan mantan suaminya, Matarom, di pertandingan catur. Yang mengharukan tentu saja sisi dimana Maryamah yang tadinya tidak bisa bermain catur, menjadi bisa oleh suatu perjuangan yang keras dan menjadi pesan cukup jelas: "Kita semua bisa jika semangat dan bersungguh-sungguh!". 

Ikal pun tak kalah menunjukkan perjuangannya -saya curiga Ikal ini adalah Ikal yang sama dengan yang ada di Laskar Pelangi. Ikal adalah panggilan lain dari sang penulis, Andrea Hirata. Berarti, buku-buku Andrea adalah selalu menceritakan dirinya yang penuh motivasi-. Ia mengejar cintanya, A Ling, dengan tekad yang kuat meski dirinya serba berkekurangan dibanding sang rival, Zinar. Di buku Cinta di Dalam Gelas, Ikal menjadi penjaga warung kopi, dimana ia diam-diam mencatat segala gerak-gerik para peminum kopi sehingga karakternya dan mood-nya bisa ditelaah satu persatu. Bagian pembukuan gerak-gerik peminum kopi ini, bagi saya, cukup menyelamatkan buku ini dari tuduhan dangkal total. Meski ditulis dengan gaya ringan dan jenaka, namun Andrea sepertinya melakukan survey yang cukup untuk ini -nah, kita bisa tahu bahwa tulisan ringan pun bisa kelihatan pintar walaupun tidak ditonjol-tonjolkan-. 

Buku ini menegaskan satu mitos yang diungkap oleh kawan saya, Pirhot Nababan, "Penulis Indonesia rata-rata memforsir diri untuk buku pertama. Setelah itu ia kehabisan tenaga." Betul, dwilogi novel Padang Bulan adalah contoh betapa Andrea kehabisan inspirasi sehabis dimabuk kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi. Ia berupaya membubuhkan disana-sini tambahan topik-topik kecil agar novelnya tampak tebal. Namun itu tidak membuat  novel tersebut menjadi punya bobot. 

Comments

  1. Tulisan yg berisi ulasan terburuk yang pernah saya baca; dangkal dan nyinyir. Silahkan terbitkan satu buku tulisan anda terlebih dahulu -tak usah "mega bestseller" pun tak apa- biar ada sedikit kepantasan yg bisa dilihat dari yg biasa melahap buku2 'berat' dan tebal "1140" halaman seperti anda, dan biar tak ada juga tuduhan menulis tulisan diatas sebagai yg hanya ingin "tampak keren" saja..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1