Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tembakan

The Shot atau Tembakan adalah cerpen karya Aleksandr Pushkin yang dipublikasikan tahun 1831. Saya tahu cerpen tersebut dari wawancara dengan eksil bernama Pak Awal Uzhara yang tinggal di Uni Soviet/ Rusia selama lebih dari lima puluh tahun dan tidak bisa pulang karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia (akibat alasan politik dan ideologis). Cerita Tembakan bagi saya begitu menarik sampai-sampai saya jadikan naskah teater (atas inspirasi dari Pak Awal juga) dan dipentaskan di beberapa kegiatan kampus. 

Tembakan bercerita tentang Silvio, pensiunan tentara yang memiliki hutang duel dengan seseorang yang disebut sebagai Pangeran ("the Count"). Kilas balik ke beberapa tahun silam, Silvio pernah melakukan duel adu tembak dengan Pangeran karena suatu permasalahan. Duel adu tembak ini berlangsung dengan cara diundi siapa yang menembak duluan untuk kemudian bergantian (jika tembakan pertama tidak berhasil mematikan lawan). Pangeran mendapat giliran pertama dan tembakannya meleset. Sekarang giliran Silvio menembak dan Pangeran malah bersantai sambil makan buah ceri. Silvio heran dengan perilaku Pangeran tersebut sehingga memutuskan tidak jadi untuk menembaknya. Alasan Silvio, dia tidak akan menembak orang yang tidak menghargai hidupnya sendiri. Dengan membatalkan tembakan tersebut, Silvio merasa punya hutang: dia tidak mau duel dengan siapapun hingga urusannya dengan Pangeran selesai. 

Singkat cerita, selang beberapa tahun, Silvio mendengar kabar bahwa Pangeran telah menikah dan hidup di sebuah rumah yang nyaman. Silvio langsung mendatangi rumah si Pangeran dan menyatakan ingin menuntaskan hutang lamanya terkait duel adu tembak. Silvio memberi kesempatan pada Pangeran untuk menembak duluan. Lagi-lagi meleset. Saat tiba giliran Silvio, Pangeran, berbeda dengan duel sebelumnya, sekarang tampak ketakutan dan memelas supaya tidak ditembak. Silvio, melihat hal demikian, tetap memutuskan menembakkan peluru, tetapi sengaja dibuat meleset. Alasannya, Silvio melihat si Pangeran sudah bisa menghargai hidupnya sendiri. 

Seperti biasa, umumnya karya sastra Rusia tidak secara eksplisit menawarkan pesan moral tertentu. Namun kita bisa lihat bahwa ada perbedaan antara sikap Pangeran menghadapi balasan Silvio di duel pertama dan sikapnya pada duel kedua. Pada duel yang pertama, Pangeran dengan tenang makan buah ceri, mungkin karena waktu itu usianya masih lebih muda dan tidak banyak hal berharga yang dipunyainya. Dia hanya punya kepercayaan diri dan jiwa yang meledak-ledak saja. Sementara itu, pada duel yang kedua, dia baru saja menikah, yang membuat hidupnya tampak lebih berharga. Pada titik itu, Pangeran jadi takut mati, takut kehilangan dunia yang dicintainya. Begitulah mengacu pada duel pertama, kita bisa lihat: orang yang tak punya apa-apa, tak takut kehilangan apa-apa.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me