Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Honest Review


Istilah "honest review" atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan "honest review" jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam "honest review", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement. Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu dilabeli dengan "honest review" karena artinya si pengulas itu kemungkinan besar tidak disponsori siapapun. 

Pertanyaannya, adakah yang dikatakan "honest review", jika "honest" diartikan sebagai "apa adanya", "terbuka", atau "adil dalam pikiran"? Ketika seseorang merasakan makanan yang tidak enak, maka perasaan itu kita sebut saja sebuah kejujuran. Namun saat memilih ekspresi bagaimana "ketidakenakan" itu disampaikan, tidakkah ada sejumlah pertimbangan, yang membuat ulasan itu tidak sepenuhnya jujur? Sebagai contoh, katakanlah makanan itu memang tidak enak. Kita diberi beberapa pilihan ekspresi mulai dari berkata "tidak enak", "pengen muntah", atau misalnya, "kurang garem dikit". Pilihan-pilihan ekspresi tersebut dapat dikaitkan dengan hal lain, seperti medium yang digunakan untuk menyampaikan ulasan (TikTok, X, blog, dan lain-lain) serta ini yang terpenting: motif dalam menulis ulasan. 

Kita bahas dulu dari persoalan medium. Menulis ulasan di blog dengan merekam konten untuk diunggah di TikTok tentu memiliki ekspresi yang berbeda. Ulasan yang ditulis di blog biasanya lebih tertata, setidaknya terikat kaidah bahasa, dan bisa lebih berpanjang-panjang ketimbang TikTok yang memang ditujukan untuk audiens yang enggan melihat sesuatu yang bertele-tele. Meski tidak terlalu valid, tapi bayangan saya, orang lebih mudah untuk berkata "jujur" via TikTok ketimbang di blog, karena alasan durasi dan "ketertontonan" tadi. Karena waktunya pendek, orang ingin langsung pada pokoknya: enak atau nggak, bagus atau nggak. Sementara menulis di blog, karena bisa berpanjang-panjang, si pengulas memiliki kesempatan untuk menyusun argumen dan menjabarkan alasan mengapa suatu produk itu bagus atau tidak bagus, enak atau tidak enak. Namun poinnya, "kejujuran" bukan semata-mata tentang "kesinambungan antara apa yang dirasakan dan apa yang dikatakan", melainkan juga dideterminasi oleh hal lain, dalam hal ini terkait lewat medium mana ulasan tersebut disampaikan. 

Berikutnya, perkara motif. Dalam melakukan ulasan, saya pikir tidak ada orang yang begitu murni ingin mengulas demi ulasan itu sendiri. Pasti ada motif-motif lain di baliknya. Minimal, si pengulas punya konten, konten itu untuk dibaca/ ditonton orang. Kalau bacaan atau tontonan itu belum bisa menghasilkan uang (monetisasi), maka setidaknya si pengulas mendapat pengakuan, "Oh dia bisa menulis", "Oh dia punya selera", "Oh dia membaca buku itu", dan sebagainya. Itulah motif kepentingan diri yang bisa dikatakan cukup mendasar. Lainnya, ada motif terkait "caper". Bisa jadi si pengulas ingin di-notice oleh penulis atau pemilik restoran atau pihak produsen. Dengan memberikan ulasan baik atau membangun misalnya, si pengulas ingin mendapatkan kredit, pujian, atau bahkan ganjaran. Maka itu, ulasan "jujur"-nya bisa dibumbui segala macam fitur bombastis supaya keren dan "menjual". Apakah itu masih bisa dikatakan jujur? Saya mulai ragu. 

Lainnya, bisa juga si pengulas punya motif menghancurkan produk dan produsennya, dengan cara mengulas dalam versi "jujur" yang mengarah pada ulasan buruk. Atas motif yang demikian, ekspresi pun bisa jadi diubah. Tidak perlu komentar-komentar membangun atau menunjukkan sisi positifnya terlebih dahulu. Ulasan bisa di-framing seolah-olah produk dan produsennya serba buruk. Gaya ekspresi pun kadang-kadang bisa kasar sekalian. Jika niat menghancurkan dianggap terlalu keras, bisa juga niat ini berasal dari hal lain, misalnya perbedaan pandangan atau ideologi antara si pengulas dan yang diulas. Si pengulas misalnya, adalah seorang sosialis, tapi ideologi yang ada pada produk yang diulas, bermuatan liberal. Si pengulas bisa mengkritik dari sudut pandangnya, yang malah jatuh pada penghakiman ideologis (padahal mungkin secara tulisan baik-baik saja). Dalam konteks makanan, si pengulas adalah orang yang berpegang teguh bahwa serabi hanya dua macam yaitu oncom dan kinca, sementara makanan yang diulasnya melebarkan varian serabi pada coklat, keju, dan lain-lain, bisa saja berpengaruh pada hasil ulasannya. 

Pada pokoknya, "honest review" adalah istilah yang rancu, menempatkan pengulas pada posisi yang "tak bersalah", seolah-olah "aku kan udah jujur, apa adanya, ya kalau orang gak terima, itu masalah dia". Dengan demikian, si pengulas, atas nama kejujurannya, memposisikan si produsen sebagai anti kritik. Namun perlu diingat, bahwa "honest review" juga dilatari oleh hal-hal lain yang mungkin bersifat tak netral atau malah politis, sehingga apa yang dimaksud "jujur", bisa jadi tidak jujur-jujur amat. Seseorang yang marah akibat diulas buruk belum tentu bisa langsung dicap anti kritik. Mungkin ia hanya mencoba menerka maksud politis di balik si pengulas. Meski demikian, apapun ulasannya, meski bermuatan politis, pihak yang diulas seyogianya tetap melakukan evaluasi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me