Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Ada suatu rumus yang tidak ilmiah, tapi tingkat kebenarannya bisa diuji lewat pengamatan. Kita bisa mengetahui nilai-nilai apa yang dianggap normal oleh masyarakat, berdasarkan elit-elit politik yang sedang berkuasa atau berupaya naik ke tampuk kekuasaan.
Contoh mudahnya adalah dalam artikel berjudul "Bila Prabowo Presiden 2014, Siapa Ibu Negara?" ini. Bercerainya Prabowo dengan Siti Hediati Haryadi dianggap suatu problem. Terutama kenyataan bahwa jika ia menjadi presiden, maka sungguh tidak patut jika Prabowo berstatus single. Apa artinya? Artinya, seorang elit kekuasaan dianggap normal jika ia menikah, dengan lawan jenis tentunya -kita membayangkan demonstrasi yang masif jika seorang calon presiden ternyata gay-. Lebih lengkap lagi jika ia mempunyai keluarga utuh. Punya anak hasil dari pernikahannya yang monogamistik.
Di Indonesia, nilai-nilai yang dianggap benar oleh masyarakat luas adalah agama (baca: Islam). Kita belum menemukan ada seorang non-muslim yang maju sebagai presiden di Indonesia karena tahu popularitasnya mungkin tidak akan sementereng mereka yang menyimpan gelar haji di depan namanya. Lainnya lagi adalah gelar akademik. Bukan rahasia lagi jika para pejabat berlomba-lomba untuk menambahkan gelar akademik di belakang namanya untuk menguatkan kans dalam pemilihan. Menikah, heteroseksual, monogami, punya anak, beragama Islam apalagi haji, sekolah yang tinggi, tidakkah sesuatu yang ideal bagi masyarakat Indonesia? Ah iya, satu lagi, ia tidak boleh punya keterkaitan dengan apapun yang berbau komunis.
Di Prancis, pemimpin sekarang yakni François Hollande, ia punya partner yang tidak dinikahinya. Sekarang, partner yang sudah memberinya empat anak tersebut, namanya Ségolène Royal, di-"cerai"-kannya. Namun masyarakat Prancis sepertinya tidak fokus pada hal-hal pribadi semacam itu. Mereka hanya konsentrasi terhadap kebijakan-kebijakan apa yang dikeluarkan oleh Hollande -Tidak serta merta menulis artikel berjudul "Royal Pergi, Siapa Ibu Negara Prancis?"-
Tentu saja keterkaitan elit politik dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dilepaskan. Seseorang yang ingin naik ke tampuk kekuasaan lewat jalur pemilihan umum -kecuali jika ia turun temurun seperti kerajaan- haruslah mempertimbangkan apa yang pada umumnya disukai masyarakat. Mereka bahkan perlu menarik artis-artis lokal mulai dari penyanyi dangdut dan artis sinetron karena tahu rating pemirsa di Indonesia sangat tinggi untuk dua hal tersebut. Hanya saja, ini sekadar tips, jika ingin datang ke suatu negara yang kamu pikir masih asing bagimu sendiri mengenai seluk beluk masyarakatnya, bisa dicoba dengan terlebih dahulu menelaah pencitraan elit politiknya.
Tentu saja keterkaitan elit politik dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dilepaskan. Seseorang yang ingin naik ke tampuk kekuasaan lewat jalur pemilihan umum -kecuali jika ia turun temurun seperti kerajaan- haruslah mempertimbangkan apa yang pada umumnya disukai masyarakat. Mereka bahkan perlu menarik artis-artis lokal mulai dari penyanyi dangdut dan artis sinetron karena tahu rating pemirsa di Indonesia sangat tinggi untuk dua hal tersebut. Hanya saja, ini sekadar tips, jika ingin datang ke suatu negara yang kamu pikir masih asing bagimu sendiri mengenai seluk beluk masyarakatnya, bisa dicoba dengan terlebih dahulu menelaah pencitraan elit politiknya.
Comments
Post a Comment