Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Politik dan Normalitas

 
Ada suatu rumus yang tidak ilmiah, tapi tingkat kebenarannya bisa diuji lewat pengamatan. Kita bisa mengetahui nilai-nilai apa yang dianggap normal oleh masyarakat, berdasarkan elit-elit politik yang sedang berkuasa atau berupaya naik ke tampuk kekuasaan.

Contoh mudahnya adalah dalam artikel berjudul "Bila Prabowo Presiden 2014, Siapa Ibu Negara?" ini. Bercerainya Prabowo dengan Siti Hediati Haryadi dianggap suatu problem. Terutama kenyataan bahwa jika ia menjadi presiden, maka sungguh tidak patut jika Prabowo berstatus single. Apa artinya? Artinya, seorang elit kekuasaan dianggap normal jika ia menikah, dengan lawan jenis tentunya -kita membayangkan demonstrasi yang masif jika seorang calon presiden ternyata gay-. Lebih lengkap lagi jika ia mempunyai keluarga utuh. Punya anak hasil dari pernikahannya yang monogamistik.

Di Indonesia, nilai-nilai yang dianggap benar oleh masyarakat luas adalah agama (baca: Islam). Kita belum menemukan ada seorang non-muslim yang maju sebagai presiden di Indonesia karena tahu popularitasnya mungkin tidak akan sementereng mereka yang menyimpan gelar haji di depan namanya. Lainnya lagi adalah gelar akademik. Bukan rahasia lagi jika para pejabat berlomba-lomba untuk menambahkan gelar akademik di belakang namanya untuk menguatkan kans dalam pemilihan. Menikah, heteroseksual, monogami, punya anak, beragama Islam apalagi haji, sekolah yang tinggi, tidakkah sesuatu yang ideal bagi masyarakat Indonesia? Ah iya, satu lagi, ia tidak boleh punya keterkaitan dengan apapun yang berbau komunis. 

Di Prancis, pemimpin sekarang yakni François Hollande, ia punya partner yang tidak dinikahinya. Sekarang, partner yang sudah memberinya empat anak tersebut, namanya Ségolène Royal, di-"cerai"-kannya. Namun masyarakat Prancis sepertinya tidak fokus pada hal-hal pribadi semacam itu. Mereka hanya konsentrasi terhadap kebijakan-kebijakan apa yang dikeluarkan oleh Hollande -Tidak serta merta menulis artikel berjudul "Royal Pergi, Siapa Ibu Negara Prancis?"-

Tentu saja keterkaitan elit politik dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tidak bisa dilepaskan. Seseorang yang ingin naik ke tampuk kekuasaan lewat jalur pemilihan umum -kecuali jika ia turun temurun seperti kerajaan- haruslah mempertimbangkan apa yang pada umumnya disukai masyarakat. Mereka bahkan perlu menarik artis-artis lokal mulai dari penyanyi dangdut dan artis sinetron karena tahu rating pemirsa di Indonesia sangat tinggi untuk dua hal tersebut. Hanya saja, ini sekadar tips, jika ingin datang ke suatu negara yang kamu pikir masih asing bagimu sendiri mengenai seluk beluk masyarakatnya, bisa dicoba dengan terlebih dahulu menelaah pencitraan elit politiknya. 


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1