Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi. Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan. Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb
Baru saja saya mendatangi rumah tetangga yang anaknya meninggal. Bukan meninggalnya anak tersebut -yang notabene adalah teman kecil yang saya sendiri lupa-lupa ingat- yang membuat saya sedih. Melainkan membayangkan perasaan orangtua yang ditinggal anaknya.
Namun dalam kekosongan pandangan sang ibu yang menyalami tamu satu per satu, terselip satu ucapan dari seorang bapak-bapak yang sepertinya ahli agama. Katanya, "Tabah ya, Bu, karena ia bukanlah punya kita." Suatu ucapan yang klise, yang dulu sering saya olok-olok sebagai "kepasrahan spiritual yang lemah", tapi sekarang saya sadari sebagai -jangan-jangan itulah- solusi satu-satunya untuk meredakan kesedihan sang ibu yang pastinya sangat mendalam. Kasus "kepasrahan spiritual yang lemah" ini pernah saya temukan juga di kelas Extension Course Filsafat UNPAR ketika Pak Bambang Sugiharto selaku pembicara tengah membahas problem lingkungan yang makin lama makin parah dan mengarah pada kehancuran secara global. Seorang bapak kemudian tunjuk jari untuk mengemukakan pendapatnya. Kalimat klise bernada religius itu lagi-lagi keluar, "Bagi orang beragama, lantas kenapa kalau dunia ini hancur? Ya sudah."
Agama, sebagai institusi yang katanya punya legitimasi terhadap spiritualitas, posisinya tergerus pelan-pelan oleh pengetahuan ilmiah. Mungkin ada masa keduanya punya posisi saling mendukung seperti misalnya pada masa Abad Pertengahan -terutama di kalangan umat Islam. Karena di Eropa, masa tersebut justru sering disindir sebagai kekalahan sains atas agama-. Namun seperti yang dicita-citakan oleh Auguste Comte, ia ingin masyarakat yang kelak secara total menanggalkan tahap teologis dan tahap metafisis dan menggantikan sepenuhnya kedua pengetahuan purba tersebut menjadi pengetahuan positif. Apa itu pengetahuan positif? Yakni pengetahuan yang mengandalkan observasi, hipotesis, dan verifikasi yang ketat sehingga tidak ada lagi celah bagi hal-hal mistis untuk tampil menyeruak menjawab misteri-misteri kehidupan. "Segalanya bisa dijelaskan, segalanya bisa dikendalikan," demikian kira-kira semboyan saintis pada umumnya yang sekaligus meruntuhkan dogma agama bahwa segala-gala ini ada yang mengatur yakni Tuhan.
Ketika segalanya bisa dikendalikan, memang perasaan-perasaan transenden itu hilang seiring dengan kemampuan manusia dalam "menarik" alam semesta ke dalam keinginan-keinginannya. Misalnya, tak perlu kita memohon dewa hujan untuk menurunkan hujan di musim kemarau, selama untuk membeli minum kita bisa pergi ke Alfamart yang jaraknya hanya seratus meter -selama pipa-pipa masih mengalirkan air ke keran rumah kita untuk mandi-. Tak perlu juga kita memohon pada dewa badai untuk menghentikan angin ribut selama rumah kita kokoh ataupun ikan bisa kita peroleh di pasar esok pagi -sedangkan jika badai, nelayan akan menghentikan pelayarannya-. Tak perlu predikat orang sakti untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh dalam waktu singkat selama kita mengerti cara membeli tiket pesawat. Singkatnya, tak perlu Tuhan, tak perlu dewa-dewi selama segalanya bisa masuk dalam logika materialisme.
Namun demikianlah, menilik pada peristiwa yang menimpa tetangga saya tersebut. Ternyata ada suatu penderitaan, suatu bencana, suatu masalah yang tak terperi besarnya, hingga pada akhirnya hanya pendapat-pendapat klise agama yang justru bisa diterima oleh akalnya. Hal-hal yang secara epistemologis tak sanggup dijangkau oleh pengetahuan ilmiah seperti kematian (bukan penyebabnya, melainkan kematian itu sendiri) dan bencana alam besar (bukan penyebabnya, melainkan bencana itu sendiri) membuat manusia seringkali lebih merasa tenang jika pertanyaan-pertanyaan eksistensialnya dijawab dengan hal-hal yang justru mistis-spiritual.
Seorang ibu yang kehilangan anaknya tidak akan puas oleh penjelasan-penjelasan ilmiah seperti kanker otak ataupun kecelakaan tunggal -puas mungkin, pada level tertentu-. Ia akan mencari ketenangan oleh apa yang disebut Aristoteles sebagai causa prima alias sebab final, atau sebab-untuk. Kata Aristoteles, jika kita mencari sebab material dari hujan, maka kita akan menjawab air laut yang menguap. Tapi ada sebab yang lebih luhur, yakni kenapa terjadi hujan? Karena tumbuh-tumbuhan membutuhkannnya. Sama dengan menjawab mengapa anak sang ibu mengalami kematian, berdasarkan causa prima seorang bapak itu menjawab, "Karena ya, ia bukanlah milik kita." Mistis? Spiritual? Ya, tapi terkadang yang demikian bisa menjadi solusi bagi batas-batas pengetahuan kita.
Comments
Post a Comment