Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Agama dan Solusi Epistemologis


Baru saja saya mendatangi rumah tetangga yang anaknya meninggal. Bukan meninggalnya anak tersebut -yang notabene adalah teman kecil yang saya sendiri lupa-lupa ingat- yang membuat saya sedih. Melainkan membayangkan perasaan orangtua yang ditinggal anaknya.

Namun dalam kekosongan pandangan sang ibu yang menyalami tamu satu per satu, terselip satu ucapan dari seorang bapak-bapak yang sepertinya ahli agama. Katanya, "Tabah ya, Bu, karena ia bukanlah punya kita." Suatu ucapan yang klise, yang dulu sering saya olok-olok sebagai "kepasrahan spiritual yang lemah", tapi sekarang saya sadari sebagai -jangan-jangan itulah- solusi satu-satunya untuk meredakan kesedihan sang ibu yang pastinya sangat mendalam. Kasus "kepasrahan spiritual yang lemah" ini pernah saya temukan juga di kelas Extension Course Filsafat UNPAR ketika Pak Bambang Sugiharto selaku pembicara tengah membahas problem lingkungan yang makin lama makin parah dan mengarah pada kehancuran secara global. Seorang bapak kemudian tunjuk jari untuk mengemukakan pendapatnya. Kalimat klise bernada religius itu lagi-lagi keluar, "Bagi orang beragama, lantas kenapa kalau dunia ini hancur? Ya sudah."

Agama, sebagai institusi yang katanya punya legitimasi terhadap spiritualitas, posisinya tergerus pelan-pelan oleh pengetahuan ilmiah. Mungkin ada masa keduanya punya posisi saling mendukung seperti misalnya pada masa Abad Pertengahan -terutama di kalangan umat Islam. Karena di Eropa, masa tersebut justru sering disindir sebagai kekalahan sains atas agama-. Namun seperti yang dicita-citakan oleh Auguste Comte, ia ingin masyarakat yang kelak secara total menanggalkan tahap teologis dan tahap metafisis dan menggantikan sepenuhnya kedua pengetahuan purba tersebut menjadi pengetahuan positif. Apa itu pengetahuan positif? Yakni pengetahuan yang mengandalkan observasi, hipotesis, dan verifikasi yang ketat sehingga tidak ada lagi celah bagi hal-hal mistis untuk tampil menyeruak menjawab misteri-misteri kehidupan. "Segalanya bisa dijelaskan, segalanya bisa dikendalikan," demikian kira-kira semboyan saintis pada umumnya yang sekaligus meruntuhkan dogma agama bahwa segala-gala ini ada yang mengatur yakni Tuhan. 

Ketika segalanya bisa dikendalikan, memang perasaan-perasaan transenden itu hilang seiring dengan kemampuan manusia dalam "menarik" alam semesta ke dalam keinginan-keinginannya. Misalnya, tak perlu kita memohon dewa hujan untuk menurunkan hujan di musim kemarau, selama untuk membeli minum kita bisa pergi ke Alfamart yang jaraknya hanya seratus meter -selama pipa-pipa masih mengalirkan air ke keran rumah kita untuk mandi-. Tak perlu juga kita memohon pada dewa badai untuk menghentikan angin ribut selama rumah kita kokoh ataupun ikan bisa kita peroleh di pasar esok pagi -sedangkan jika badai, nelayan akan menghentikan pelayarannya-. Tak perlu predikat orang sakti untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh dalam waktu singkat selama kita mengerti cara membeli tiket pesawat. Singkatnya, tak perlu Tuhan, tak perlu dewa-dewi selama segalanya bisa masuk dalam logika materialisme. 

Namun demikianlah, menilik pada peristiwa yang menimpa tetangga saya tersebut. Ternyata ada suatu penderitaan, suatu bencana, suatu masalah yang tak terperi besarnya, hingga pada akhirnya hanya pendapat-pendapat klise agama yang justru bisa diterima oleh akalnya. Hal-hal yang secara epistemologis tak sanggup dijangkau oleh pengetahuan ilmiah seperti kematian (bukan penyebabnya, melainkan kematian itu sendiri) dan bencana alam besar (bukan penyebabnya, melainkan bencana itu sendiri) membuat manusia seringkali lebih merasa tenang jika pertanyaan-pertanyaan eksistensialnya dijawab dengan hal-hal yang justru mistis-spiritual. 

Seorang ibu yang kehilangan anaknya tidak akan puas oleh penjelasan-penjelasan ilmiah seperti kanker otak ataupun kecelakaan tunggal -puas mungkin, pada level tertentu-. Ia akan mencari ketenangan oleh apa yang disebut Aristoteles sebagai causa prima alias sebab final, atau sebab-untuk. Kata Aristoteles, jika kita mencari sebab material dari hujan, maka kita akan menjawab air laut yang menguap. Tapi ada sebab yang lebih luhur, yakni kenapa terjadi hujan? Karena tumbuh-tumbuhan membutuhkannnya. Sama dengan menjawab mengapa anak sang ibu mengalami kematian, berdasarkan causa prima seorang bapak itu menjawab, "Karena ya, ia bukanlah milik kita." Mistis? Spiritual? Ya, tapi terkadang yang demikian bisa menjadi solusi bagi batas-batas pengetahuan kita. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me