Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

The Act of Killing (2012): Rekonstruksi Sejarah oleh Para Eksekutor



Sebenarnya saya bukanlah orang yang menaruh perhatian serius pada sejarah negeri sendiri -sangat menyedihkan!-. Setidaknya belum, sampai saya menonton film dokumenter berjudul Jagal yang judul aslinya adalah The Act of Killing. Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang Anwar Congo dan Herman Koto, dua eks preman bioskop yang direkrut oleh pemerintah untuk menumpas orang-orang yang dituding sebagai komunis. Latar belakang penumpasan ini ditengarai bernuansa politis sebagai bentuk penggulingan terhadap rezim pemerintahan sebelumnya, Soekarno, yang memang dekat dengan petinggi-petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Anwar dan Herman, kemudian diminta untuk menceritakan bagaimana pengalamannya dalam melenyapkan orang-orang yang dituduh komunis tersebut -tidak hanya diceritakan, tapi juga direkonstruksi ulang sedetail mungkin-. Yang menarik, keduanya boleh merekonstruksi ulang kejadiannya dengan caranya sendiri. Dalam arti kata lain, mereka boleh meniru adegan dari film-film favorit mereka -yang kemudian difasilitasi tentunya-. Ada film koboi, film gangster, hingga film horor mereka jadikan latar untuk meniru pembunuhan yang dilakukan oleh mereka. Anwar dan Herman, sebagaimana dituliskan dalam narasi awal film, memang terlihat sangat bangga dengan apa-apa yang sudah mereka lakukan. Dalam film ini juga dilibatkan rekan-rekan Anwar dan Herman sesama kontra revolusi seperti Ibrahim Sinik dan Safit Pardede. 

Proses rekonstruksi ini ternyata tidak memuaskan hati Anwar Congo pada akhirnya. Justru lama kelamaan ia merasa bahwa apa yang ia lakukan selama ini ternyata tidak benar. Artinya, film itu sendiri menjadi katalisator hati nurani Anwar yang sejak awal sangat bangga akan prestasinya dalam membunuhi ribuan tertuduh komunis -ia bahkan dianggap pahlawan oleh masyarakat sekitar-. Bagian ini menjadi sisi yang "melegakan" ketika sepanjang film berdurasi nyaris dua setengah jam saya dilanda perasaan campur aduk antara benci, mual, kesal, hingga bingung. Bingung karena bagaimana mungkin hal yang segamblang ini -tentang fakta bahwa perilaku mereka yang kontra-revolusi ternyata jauh lebih kejam dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang lebih masif daripada apa yang dituduhkan terhadap PKI- tidak terpaparkan secara terbuka dalam wacana sejarah kita.

Dalam ulasan yang ditulis oleh Peter Debruge di salah satu situs, film Jagal adalah film yang esensial untuk ditonton, tapi tidak untuk ditonton kembali. Saya pribadi merasa terganggu beberapa hari setelah menyaksikannya. Memang sulit membayangkan bagaimana seorang yang begitu menikmati banyak pembunuhan hidup secara nyata dalam masyarakat kita. Ia merasa perbuatannya benar oleh sebab propaganda demi propaganda yang dilancarkan dan akhirnya tertanam dalam pikirannya. Ditambah lagi, suatu penyebab tribal menjadi dasar bagi pembantaian. Katanya, sebagai eks preman bioskop, "Karena orang-orang komunis ini menghasut rakyat agar tidak nonton film Hollywood. Padahal penghasilan kami kan dari orang-orang yang nonton film Barat." 

Sejarah, pada akhirnya selalu berupa rekonstruksi dari sejumlah interpretasi. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me