Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

The Act of Killing (2012): Rekonstruksi Sejarah oleh Para Eksekutor



Sebenarnya saya bukanlah orang yang menaruh perhatian serius pada sejarah negeri sendiri -sangat menyedihkan!-. Setidaknya belum, sampai saya menonton film dokumenter berjudul Jagal yang judul aslinya adalah The Act of Killing. Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang Anwar Congo dan Herman Koto, dua eks preman bioskop yang direkrut oleh pemerintah untuk menumpas orang-orang yang dituding sebagai komunis. Latar belakang penumpasan ini ditengarai bernuansa politis sebagai bentuk penggulingan terhadap rezim pemerintahan sebelumnya, Soekarno, yang memang dekat dengan petinggi-petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Anwar dan Herman, kemudian diminta untuk menceritakan bagaimana pengalamannya dalam melenyapkan orang-orang yang dituduh komunis tersebut -tidak hanya diceritakan, tapi juga direkonstruksi ulang sedetail mungkin-. Yang menarik, keduanya boleh merekonstruksi ulang kejadiannya dengan caranya sendiri. Dalam arti kata lain, mereka boleh meniru adegan dari film-film favorit mereka -yang kemudian difasilitasi tentunya-. Ada film koboi, film gangster, hingga film horor mereka jadikan latar untuk meniru pembunuhan yang dilakukan oleh mereka. Anwar dan Herman, sebagaimana dituliskan dalam narasi awal film, memang terlihat sangat bangga dengan apa-apa yang sudah mereka lakukan. Dalam film ini juga dilibatkan rekan-rekan Anwar dan Herman sesama kontra revolusi seperti Ibrahim Sinik dan Safit Pardede. 

Proses rekonstruksi ini ternyata tidak memuaskan hati Anwar Congo pada akhirnya. Justru lama kelamaan ia merasa bahwa apa yang ia lakukan selama ini ternyata tidak benar. Artinya, film itu sendiri menjadi katalisator hati nurani Anwar yang sejak awal sangat bangga akan prestasinya dalam membunuhi ribuan tertuduh komunis -ia bahkan dianggap pahlawan oleh masyarakat sekitar-. Bagian ini menjadi sisi yang "melegakan" ketika sepanjang film berdurasi nyaris dua setengah jam saya dilanda perasaan campur aduk antara benci, mual, kesal, hingga bingung. Bingung karena bagaimana mungkin hal yang segamblang ini -tentang fakta bahwa perilaku mereka yang kontra-revolusi ternyata jauh lebih kejam dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang lebih masif daripada apa yang dituduhkan terhadap PKI- tidak terpaparkan secara terbuka dalam wacana sejarah kita.

Dalam ulasan yang ditulis oleh Peter Debruge di salah satu situs, film Jagal adalah film yang esensial untuk ditonton, tapi tidak untuk ditonton kembali. Saya pribadi merasa terganggu beberapa hari setelah menyaksikannya. Memang sulit membayangkan bagaimana seorang yang begitu menikmati banyak pembunuhan hidup secara nyata dalam masyarakat kita. Ia merasa perbuatannya benar oleh sebab propaganda demi propaganda yang dilancarkan dan akhirnya tertanam dalam pikirannya. Ditambah lagi, suatu penyebab tribal menjadi dasar bagi pembantaian. Katanya, sebagai eks preman bioskop, "Karena orang-orang komunis ini menghasut rakyat agar tidak nonton film Hollywood. Padahal penghasilan kami kan dari orang-orang yang nonton film Barat." 

Sejarah, pada akhirnya selalu berupa rekonstruksi dari sejumlah interpretasi. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat